Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menapak Mesin Waktu Stasiun Kota Tua dan Stasiun Tanjung Priuk

25 November 2024   17:24 Diperbarui: 25 November 2024   17:35 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit-langit yang tinggi pada Stasiun Tanjung Priuk I Sumber Foto : Dokpri

Hari itu di pagi yang cerah yang rada gerah, Daku (saya ) memutuskan untuk menjelajahi sisi lain Jakarta yang penuh dengan sejarah, cerita masa lalu, dan nostalgia.

Di tengah kesibukan kota 24 jam yang tak kunjung tidur, Daku ingin sekali merasakan atmosfer zaman kolonial. Target utama pertama ku adalah Stasiun Kota Tua, yang terletak di kawasan Kota Tua Jakarta dan Stasiun Tanjung Priuk. 

Sudah puluhan kali Daku Menginjakkan Kaki di  Kota Tua, tapi baru kali ini Daku bisa menapak di Stasiun Kota Tua dan menyentuh rasa di dalam Stasiun Tanjung Priuk.

Time Traveler menjelajah Stasiun tempo dulu I Sumber Foto : UPK Kota Tua
Time Traveler menjelajah Stasiun tempo dulu I Sumber Foto : UPK Kota Tua

Intelektual ku dibisikkan dan terpanggil ketika UPK Kota Tua mengadakan trip bertajuk "Jelajah Stasiun Tempo Dulu", Minggu 24 November 2024.

Ini menjadi kali kedua Daku ikutan trip yang diadakan oleh UPK Kota Tua, dimana sebelumnya mengikuti trip menapaki sisa-sisa tembok kota tua Batavia di bulan februari 2024.

Pagi itu, cuaca cukup cerah saat Daku tiba di Stasiun Kota Tua. Begitu turun dari KRL Nambo - Kota, Daku langsung disambut oleh bangunan antik bergaya kolonial yang tampak kokoh, meski usianya sudah lansia lebih dari seabad. 

Stasiun Jakarta Kota ini, bergaya arsitektur art deco yang elegan, seakan mengajak Daku untuk berimajinasi berkelana dalam waktu, kembali ke masa ketika kereta api adalah sarana transportasi utama. 

Memang tidak mudah mengembalikan bayangan masa lalu dengan bangunan yang sudah teracuni masa kini, namun aku berusaha menjadi time traveler.

Arsitektur bagian dalam kota tua dengan kaca patri nya I Sumber Foto : dokpri
Arsitektur bagian dalam kota tua dengan kaca patri nya I Sumber Foto : dokpri
Setiap sudut bangunan ini seperti menyimpan berbagai cerita. Dinding batu alam berwarna kelabu dan coklat, kaca-kaca patri nan indah, dan langit-langit tinggi seolah berbicara "ada cerita di sini". 

Daku duduk sejenak di bangku panjang yang ada di ruang tunggu menatap kereta KRL yang terparkir, membayangkan bagaimana kehidupan di sini ratusan tahun silam. 

Pasti ramai, dengan orang-orang yang hilir mudik, seiring deru kereta yang mengangkut barang dan manusia, bahkan mungkin juga ayam, bebek, kambing, dan bisa saja anak harimau. 

Aroma nya tentu tidak sama dengan hari ini, saat ku duduk menatap besi-besi penahan beban atap, dan pria - pria ber vest kuning bertuliskan security.

Mengambil langkah ke luar Stasium, Daku melangkahkan kaki menyusuri koridor jalan menuju kawasan Kota Tua yang terletak tak jauh dari stasiun. 

Di sana, tertampak bangunan-bangunan bersejarah dengan anggun berdiri tegak, seolah bersedia menjadi saksi bisu perkembangan Jakarta. 

Disamping Museum Fatahillah itu titik kumpul kami para time traveler yang berjumlah sekitar tiga puluhan manusia. Tiga orang bervest hijau (Gilang, Haedar dan Laura) dari UPK Kota Tua, dan sepasang mahasiswa Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto (Rahmania dan Fabiano) berwajah gen Z  menyapa kami.

Lalu, segerombolan busana bernuansa putih berjejer berjalan berantakan, kembali lagi membawa daku ke Stasiun Jakarta Kota, melewati kerumunan dagangan pinggir jalan.

Gilang guide dari UPT Kota Tua sedang menjelaskan peta kota tua Batavia I Sumber Foto : dokpri
Gilang guide dari UPT Kota Tua sedang menjelaskan peta kota tua Batavia I Sumber Foto : dokpri

Lembar-lembar sejarah dibuka kembali oleh  Gilang, ia mengungkapkan penyebutan kata Plaza BEOS untuk Stasiun Jakarta Kota kurang tepat, sebetulnya penyebutannya BOS (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij atau Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur) saja. Gilang memperkirakan pada masa itu, warga lokal lebih enak / nyaman menyebutkan kata BEOS.

Stasiun Jakarta Kota mulanya dibangun sekitar 1870, kemudian tahun 1914 dibangun kembali dengan struktur / bangunan lebih besar. Itu tertanda dalam prasasti yang tertempel di dinding dekat area pemberangkatan kereta.

Bila dilihat dari atas, struktur Stasiun Jakarta Kota seperti huruf kapital T. Secara arsitektur Stasiun Jakarta Kota masih tetap terjaga kecuali lantainya.

Tegel dan hiasan ukiran di dinding masih juga masih terawat, langit-langit tinggi dengan kaca patri masih menghiasi. Plafon yang  tinggi berguna untuk mendinginkan ruangan, sebagai bagian dari sirkulasi udara.

Hiasan kaca patri merupakan hal yang umum digunakan pada beberapa gedung-gedung Pemerintah Hindia Belanda. Terdapat 12 jalur kereta di Stasiun Jakarta Kota berjajar berdampingan. Tangga besi panjang menemani kereta yang datang, agar para penumpang memudakan turun dari kereta.

Cerita Gilang, transportasi amat penting bagi Pemerintah Hindia Belanda bersamaan revolusi industri, saat Napoleon Bonaparte berkuasa. Napoleon Bonaparte menunjuk adiknya Louis Bonaparte sebagai Raja di Belanda.

Herman Willem Daendels dikirim ke Hindia Belanda untuk menjadi Gubernur Jenderal di nusantara pada tahun 1808. Pengiriman Daendels merupakan usulan dari Napoleon Bonaparte, penguasa Prancis, yang pada tahun 1806 mengangkat adiknya, Louis Bonaparte, menjadi penguasa di Belanda.

Dimasa kepemimpinan Deadles transportasi publik mengalami perkembangan, berkat penemuan mesin uap juga dikembangkan transportasi lainnya.

Gilang menunjukkan prasasti pemugaran Stasiun Jakarta Kota di tahun 1914 I Sumber Foto : dokpri
Gilang menunjukkan prasasti pemugaran Stasiun Jakarta Kota di tahun 1914 I Sumber Foto : dokpri

Di sebuah sudut Stasiun Jakarta Kota terdapat sebuah prasasti yang menunjukkan tahun 1914 sebagai tahun ground breaking pembangunan pengembangan Stasiun Jakarta Kota, yang diresmikan 8 oktober 1929

Tertulis juga Stasiun Jakarta Kota merupakan karya dari arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, tahun 1882, yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels. 

Terdapat galeri MRT didalam Stasiun Jakarta Kota, didalam ruangan yang bernuansa putih nan sejuk. 

Diorama jalur pembangunan MRT Jakarta Kota I Sumber Foto : dokpri
Diorama jalur pembangunan MRT Jakarta Kota I Sumber Foto : dokpri

Kita pengunjung dapat melihat diorama rancangan jalur MRT yang berakhir di sebrang pintu utama Stasiun Jakarta Kota, hasil temuan arkeologi, dan informasi mengenai rancangan dan perkembangan bangunan MRT.

Setelah puas mengagumi pesona Stasiun Jakarta Kota, perjalanan saya berlanjut ke Pelabuhan Tanjung Priok, sebuah lokasi yang juga memiliki cerita panjang dalam sejarah Jakarta. 

Lokomotif di Stasiun Tanjung Priuk I Sumber Foto : dokpri
Lokomotif di Stasiun Tanjung Priuk I Sumber Foto : dokpri

Momen menembus waktu dilanjutkan dengan menaiki KRL Stasiun Jakarta Kota - Stasiun Tanjung Priuk. Setibanya di sana, entah kenapa Daku lebih merasakan suasana yang lebih sejuk dan tenang dibandingkan dengan Stasiun Jakarta Kota. Padahal disana lebih panas daripada Kota Tua Jakarta.

Penyampaian Gilang, Stasiun Tanjung Priok dibangun pada tahun 1914 semasa pemerintahan Gubernur Jenderal A. F. W. Idenburg dan merupakan karya C. W. Koch, arsitek dari Staats Spoorwegen (SS) perusahaan kereta api (KA) Hindia Belanda kala itu.

Pembangunan stasiun ini berkaitan dengan gerbang pelabuhan tanjung Priuk, ini dahulu Stasiun kereta ini berfungsi sebagai angkutan barang dan penumpang. Karena pelabuhan semakin besar, maka pada saat itu diputuskan untuk meluaskan Stasiun Tanjung Priuk yang terbilang kecil. 

Langit-langit yang tinggi pada Stasiun Tanjung Priuk I Sumber Foto : Dokpri
Langit-langit yang tinggi pada Stasiun Tanjung Priuk I Sumber Foto : Dokpri

Secara arsitektur, Stasiun Tanjung Priuk begitu mirip dengan Museum Bank Mandiri, tetapi desain interior amat mirip dengan Stasiun Jakarta Kota yang memiliki langit-langit yang tinggi, karena arsitek Belanda tau ini daerah tropis.

Namun seperti ada yang kurang !! karena Stasiun Tanjung Priuk ini merupakan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda, tidak ditemukan ornamen atau logo dari penguasa masa lalu. Bisa jadi sudah dihapus, atau dicopot pada masa setelah Pemerintah Indonesia hadir.

Tapi masih ada ornamen-ornamen yang masih dipertahankan, loket tiket, tegel- tegel di dinding, sedangkan kaca patri sudah diganti, kemungkinan karena usang. Yang unik terdapat jam di depan stasiun bermerk Seiko yang kacanya sudah menguning. Bahkan ada ruang bawah tanah. 

Namun, di balik perjalanan menembus waktu ini, Daku menemukan sisi lain dari kesibukan kota yang tak pernah tidur ini. Petualangan Daku hari itu di Stasiun Kota Tua dan Tanjung Priok mengajarkan banyak hal. 

Dua tempat yang tampaknya mirip tapi berbeda ini, satu dengan suasananya yg terlihat sibuk, dan yang satu lagi terasa begitu tenang dan syahdu. Tapi ternyata saling melengkapi dan memberi gambaran yang lebih lengkap tentang sejarah Stasiun Tempo Dulu di Jakarta.

Saya merasa seperti sedang berjalan menelusuri lorong waktu, dari zaman kolonial yang terlihat di Stasiun Jakarta Kota dan Tanjung Priuk, Setiap sudut kota ini menyimpan cerita yang sangat berharga. Dan hari itu, saya berhasil mengungkap sebagian dari cerita tersebut, yang akan selalu saya kenang.

....

Salam hangat, Blogger Udik dari Cikeas,

Bro Agan aka Andri Mastiyanto

Threads @andrie_gan I Tiktok @andriegan I Twitter @andriegan I Instagram @andrie_gan I Blog - kompasiana.com/rakyatjelata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun