Sepuluh tahun, dua puluh tahun atau tiga puluh lalu masyarakat yang percaya "orang pintar" takut kena santet, teluh atau diguna-guna. Tapi semenjak pesulap merah viral, masyarakat yang percaya orang pintar lebih takut dengan kejahatan siber.
Mendengar maraknya kejahatan siber, daku (saya) pun mencari tau. Berdasarkan informasi data dari databoks (DI SINI) selama lima tahun terakhir, Internet Crime Complaint Center (IC3) telah menerima rata-rata 552 ribu pengaduan per tahun. Â Banyak sekali yaaa...
Ternyata pengaduan yang begitu banyak itu telah memakan korban di seluruh dunia berupa kejahatan di dunia internet. Tidak main-main nilai kerugiannya mencapai US$6,9 miliar pada 2021. Bahkan peningkatan nilai kerugian akibat kejahatan dunia maya tercatat rata-rata sebesar 51,7% per tahun.
Daku (saya) mengetahui salah-satu bank yakni BRI sedang giat-giatnya mendorong Penyuluh Digital dan BRI yang memiliki salah-satu peran nya mensosialisasikan dan mengajari masyarakat untuk mengamankan rekeningnya dari kejahatan-kejahatan digital.Â
Bila kita memegang smartphone sering kali mbah Google menampilkan artikel menyangkut kejahatan siber di perbankan. Mau tidak mau individu di masa kini sudah tidak lepas dari layanan perbankan.
Daku juga menemukan sebuah artikel yang dipublish dua tahun lalu (2020) di website Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang membahas kejahatan siber (DI SINI)
Dua tahun lalu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Ikut bagian dalam mengamini pembentukan Komite Kerja Cyber Security oleh Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) di Jakarta.
Bahkan di tahun 2022 ini, BRI sudah melangkah lebih jauh dengan telah memanfaatkan teknologi guna mengelola risiko kejahatan siber yang kian hari makin marak dan beragam.
BRI telah menggunakan AI (artificial intelligence) yang berguna untuk mengetahui pola-pola fraud & threat yang sedang terjadi. Tentunya tidak banyak individu yang memahami vulnerability yang dipakai, pola dan tren apa yang dilakukan oleh fraudster dalam aksinya mengadali nasabah perbankan.