Apakah cukup Hari Film Nasional (30 Maret 2022) diperingati dan dimeriahkan dengan menonton film saja? Ternyata bisa juga tuh dengan melakukan kegiatan asyik lainnya.
Ternyata kegiatan asyik ini dicontohkan oleh Museum Penerangan dan KOMIK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub). Keduanya berkolaborasi membuat sebuah acara yang bisa daku (saya) bilang menarik, menambah pengetahuan, tidak membosankan, dan tentunya asyik.
Apa saja sih yang bikin asyik?
1. Tur Keliling Museum Penerangan dengan Pemandu Wisata
Daku dan saudara dari Sulawesi pada hari Sabtu, 18 Maret 2022, berkunjung ke Museum Nasional (Museum Gajah). Saat berkunjung kesana daku hanya melihat-lihat benda sejarah, tanpa mengerti itu apa.
Ujung-ujungnya hanya menjadi lokasi foto-foto dan menikmati suasana yang instagramable. Kenapa bisa menjadi seperti itu? Mungkin karena saat itu daku tidak menggunakan pemandu museum.
Tapi yang daku rasakan kunjungan ke Museum Penerangan terasa berbeda. Daku memperoleh informasi mengenai museum dan benda sejarah yang terdapat didalamnya dipandu oleh seorang pemandu museum yang bernama Deyan Muhammad Aji.
Museum Penerangan dan KOMIK berkolaborasi menyambut Hari Film Nasional (30 Maret) mengadakan tur keliling museum, nonton film Darah dan Doa, dan diskusi film bersama keluarga Usmar Ismail plus Mimin KOMIK. Kegiatan yang terbilang asyik ini diselenggarakan pada hari Sabtu, 26 Maret 2022 bersama dua puluh kompasianers yang hadir.
Pemandu museum yang mengajak kami keliling museum termasuk orang yang humoris, sehingga kami para kompasianers yang tergabung dalam KOMIK tidak jenuh melihat benda-benda tua, diorama, patung-patung, dan benda museum lainnya.
Dirinya menjelaskan kepada kami bahwa Museum Penerangan berdiri pada tahun 1993 yang diprakarsai oleh Presiden RI ke 2 Bapak Soeharto dan Ibu Tien Soeharto.
Jumlah koleksi museum penerangan berdasarkan keterangan Deyan sekitar 400 lebih koleksi. Benda-benda sejarah di Museum ini terdiri dari 5 unsur; bidang film, bidang penerangan umum, bidang pers dan grafika, dan bidang televisi.
Museum Penerangan ternyata jauh berbeda dengan apa yang daku pikirkan. Banyak museum yang pernah daku kunjungi memberi kesan tua, angker, seram, dan nuansanya suram. Daku sebagai keturunan Dalang, tidak merasakan aura mistis di museum ini.
Memang stereotipe museum masih seperti itu, Museum Penerangan pada saat daku kesana tidak ada kesan itu, bahkan terkesan sama seperti Museum Bank Indonesia di Kota Tua yang instagramable, modern, dan menyenangkan.
2. Nonton Film Pertama Indonesia Darah dan Doa
Daku merasakan sensasi kembali bagaimana menonton film seperti ala layar tancep. Namun bedanya ini tidak dilapangan terbuka dan ketika terjadi gerimis atau hujan, tidak bubar.
Menonton film kali ini di Museum Penerangan bertempat di auditorium atau ruang konfrensi. Walaupun tidak seperti nonton di bioskop, yang terpenting kami tidak kehujanan dan kepanasan. Bukan kebetulan saat kami menonton film pukul 10.15 WIB di luar sana sedang terjadi hujan.
Film yang kami tonton berjudul Darah dan Doa atau The Long March [of Siliwangi] yang merupakan film Indonesia pertama karya pahlawan nasional Usmar Ismail yang diproduksi pada tahun 1950.
Bila menilik ke belakang, film ini merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh Indonesia sebagai sebuah negara (setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan Indonesia 1949).
Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini) yang memproduksi film ini dan tanggal syuting pertama film, 30 Maret 1950, kemudian dirayakan sebagai Hari Film Nasional berdasarkan Keppres Nomor 25/1999.
Darah dan Doa mengisahkan perjalanan panjang (long March) prajurit Divisi Siliwangi RI, yang diperintahkan kembali dari Yogyakarta ke Jawa Barat.
Rombongan hijrah prajurit dan keluarga ini dipimpin Kepten Sudarto (Del Juzar). Perjalanan ini diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh melalui Konfrensi Meja Bundar.
Film ini lebih difokuskan pada Kapten Sudarto yang dikisahkan bukan hanya sebagai tentara tetapi juga sebagai mahluk yang punya rasa dan acapkali khilaf yaitu manusia.
Walaupun sudah beristri selama di Yogyakarta, tapi dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis (1 gadis Blasteran Jerman-Sunda dan 1 gadis lokal) dan seorang Janda beranak satu. Bisa dibilang Sudarto merupakan playboy kabel bersaudara atau don juan pada masanya.
Pada saat Indonesia menjelang de facto diakui sebagai sebuah negara, ia malah tertangkap oleh pihak Belanda. Kesialannya tidak hanya itu saja, setelah keluar dari penjara ia harus menjalani penyelidikan oleh TNI, karena adanya laporan dari anak buahnya, yang dianggap dirinya tidak menjalankan tugas dengan baik sehingga mencelakakan pasukan yang dipimpinnya.
Film ini memberi kesan kepada para kompasianers yang menonton film ini. Ternyata film pertama Indonesia ini mengangkat isu atau kisah perselingkuhan, cinta segitiga seperti web series Layangan Putus sudah menjadi daya tarik di tahun 1950 bagi sineas pembuat film.
Bahkan, sebelum Danar peserta X-Factor pencipta lagu 'DULU' yang begitu identik dengan anak senja, masih kalah duluan dengan Usmar Ismail yang tergambarkan dalam bait-bait puisi yang dinarasikan dalam script di film ini.
3. Diskusi Bersama Keluarga Usmar Ismail dan Mimin KOMIKÂ
Menyambut Hari Film Nasional tidak selalu harus nonton film saja, tapi kalau ditambah dengan diskusi pastinya lebih bergizi. Itu yang dibawa oleh Museum Penerangan dan KOMIK dengan menghadirkan keluarga Usmar Ismail, yakni Nureddin Ismail (Anak) dan Badai Saelan (Cucu).
Tentunya bagi kami yang berada di ekosistem film, mencintai film tidak hanya sekadar menonton saja. Mengenal sosok para sineas dan apa yang melatarbelakangi sebuah film merupakan sesuatu yang menarik.
Hadirnya kedua sosok tersebut mengkisahkan bagaimana kehidupan Usmar Ismail (Bapak Perfilman Indonesia), tentunya sesuatu yang amat spesial. Pahlawan Nasional Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 20 Maret 1921 dan tutup usia terbilang muda menurut keterangan sang putra, Nureddin di tanggal 2 januari 1971.
Bagi anak-anaknya menurut cerita Nureddin, sosok Bapaknya merupakan pria yang bertanggung jawab dan sayang keluarga. Dalam beberapa kali pembuatan film, anak-anaknya sering diajak ikut hanya untuk liburan.
Tambahnya, Usmar Ismail saat masih tinggal di Sumatra sudah terlihat mencintai film, hampir setiap akhir pekan dirinya menonton film. Dari hobinya ini, berujung dirinya menjadi seorang yang berkarya di industri perfilman.
Saat berkarya di film Darah dan Doa bukan tanpa halangan, biaya menjadi salah-satu faktor utama. Selain itu, isu yang diangkat dalam film Darah dan Doa mengenai seorang tentara yang melakukan perselingkuhan menjadi pro dan kontra dan buah bibir di era itu. Perselingkuhan merupakan masih sesuatu yang tabu untuk diumbar.
Ada hal yang menarik dikisahkan Nureddin bahwa tentara aktif (masih bertugas) dilibatkan dalam pembuatan film ini. Bahkan senjata dan alutsista yang digunakan bukanlah replika tapi senjata asli.
Turut hadir Mimin KOMIK yang menceritakan sejarah, capaian dan penghargaan, apa yang telah dilakukan, dan rencana ke depan serta produk dari KOMIK salah-satunya buku Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema.Â
Mimin KOMIK diwakili oleh Ahmad Humaedi (Meidi) sedangkan Mimin yang lain (Dewi Puspa, Linda Erlina dan Valka) memperhatikan, melongo, tersenyum dan terlihat bangga melihat bagaimana Meidi mempresentasikan tentang KOMIK begitu informatif.
Salam Hangat Blogger Udik dari Cikeas
Andri Mastiyanto
twitter @andriegan I Instagram : @andrie_gan I mastiyan@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H