Bahasa diplomatik amat berbeda dengan bahasa verbal antar manusia. Ketika terjadi krisis bahasa diplomasi juga mengandung simbol-simbol. Memang, pengertian bahasa adalah suatu simbol. Apa yang ditampilkan simbol-simbol tersebut memiliki makna bahkan pesan. Bahasa menjadi sesuatu yang paling penting dalam diplomasi, karena menentukan berhasil atau tidaknya diplomasi tersebut.Â
Natuna memanas, nelayan dan kapal penjaga pantai Tiongkok dengan berani memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna Utara. Kejadian ini bahkan membuat Presiden RI, Joko Widodo mengunjungi Kepulauan Natuna pada rabu, 8 Januari 2020.Â
Apa yang dilakukan Presiden RI merupakan bahasa diplomatik yang memiliki pesan tersirat kepada Pemerintah Tiongkok dimana sebelumnya melalui menteri luar negeri nya mengakui kawasan ZEE Indonesia sebagai wilayah historis. Pesan Presiden RI tersebut ditanggapi dengan menyingkirnya kapal penjaga pantai Tiongkok.
Dilansir dari kompas.com (DI SINI) reaksi keras pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran perbatasan di perairan Natuna tampaknya masih ada saja kapal ikan asing (KIA) yang menghiraukan.Â
Pasalnya, pasca kunjungan Presiden RI Joko Widodo dan gelar pasukan TNI di Pulau Natuna, keberadaan KIA di perairan tersebut masih terdeteksi. Hal tersebut terbukti dari pantauan udara, sabtu, 11 Januari 2020 yang dilakukan TNI menggunakan pesawat intai maritim Boeing 737 AI-7301.
Dari pemantauan pesawai intai tersebut masih ditemukan sekitar 30 KIA yang masih berlayar di Laut Natuna bagian utara. Mengetahui ada temuan itu, Panglima Komando Gabungan Wilayah I (Pangkogabwilhan I) Laksdya TNI Yudho Margono langsung menginstruksikan tiga kapal perang, yaitu KRI Karel Satsuit Tubun (KST) 356, KRI Usman Harun (USH) 359 dan KRI Jhon Lie 358 untuk melakukan upaya pengusiran.
Berbarengan dengan krisis Natuna, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Senin (30/12/2020) mengeluarkan purwarupa drone militer pertama buatan anak bangsa yang diproduksi di Bandung, Jawa Barat. Apakah ini juga merupakan pesan tersirat / sinyal bagi pelanggar perbatasan laut Natuna Utara ?
Drone militer dalam beberapa hari terakhir menjadi perbincangan setelah tragedi penyerangan pesawat tanpa awak (drone UAV militer) USA yang berakibat terbunuhnya Jenderal Iran Qasem Suleimani dalam konfoi kendaraan pasukan elit Iran.Â
Teknologi pesawat tanpa awak militer saat ini dikembangkan oleh beberapa negara termasuk Indonesia. Saat ini Indonesia sedang mengembangkan drone pengintai militer sama dengan yang digunakan USA, Rusia, Cina, Turki, dan negara besar lainnya.
Drone ini dikembangkan konsorsium yang terdiri dari BPPT, Kemenhan, TNI AU, PT DI, PT Len, dan ITB sudah mampu membuat prototipe pesawat drone bertipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) bernama 'Black Engle' atau Elang Hitam. Rencananya, seluruh uji kelaikan dan proses sertifikasi akan selesai pada 2023.
Program MALE adalah program berdasarkan Permen Ristek DIKTI no 38 Tahun 2019, BPPT merupakan Koordinator Program MALE yang memimpin sebagai koordinator Program dan Anggaran kegiatan tersebut dalam program Konsorsium PRN 2020-2024, beranggotakan 7 K/L dibawah koordinasi BPPT.