Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Kartini Membuka Kotak Pandora

26 April 2017   16:05 Diperbarui: 27 April 2017   04:00 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 Ia tak pernah langsung membahas poligami ayahnya. Tetapi ia melawannya: “Satu-satunya yang boleh kami mimpikan ialah: hari ini atau besok menjadi isteri yang kesekian bagi salah seorang laki-laki. Saya menantang mereka yang dapat menunjukkan ketidakbenaran hal ini” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).

 Baginya pemingitan adalah pengurungan dalam kotak dan pemutusan dari dunia luar: “Pada umur 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk ‘kotak’ … Empat tahun yang berlangsung sangat lama itu saya habiskan di antara empat dinding tebal, tanpa pernah melihat sesuatu pun dari dunia luar” (surat ke Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899). Namun, ia tak sungguh terasing. Ia jadikan berbagai bacaan Belandanya sebagai jalan ke dunia luar.

 Kartini pun sebal pada unggah-ungguh Jawa: “Sungguh keterlaluan adat sopan-santun pada kami .. Adik saya baik laki-laki atau perempuan tidak boleh beraku-engkau kepada saya dan hanya dalam bahasa Jawa kromo mereka boleh menegur saya; dan setelah kalimat selesai mereka ucapkan, mereka harus menyembah kepada saya” (surat ke Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899).

 Kartini menyadari keburukan kolonialisme. Tetapi, baginya, pengetahuan dan modernitas Baratlah yang dibawa oleh Kolonialis Belanda itu yang bisa menghapuskan tradisionalisme Jawa dan membebaskan wanita Jawa: “Orang menganggap penuh ‘omong-kosong’ terhadap buku-buku yang datang dari Barat .. Pendapat orang tadi tidak seluruhnya betul. Bukan hanya buku-buku yang membuat anak gadis itu .. benci akan keadaan yang sejak zaman dahulu kala telah ada dan merupakan azab bagi semua kaum yang bernama perempuan. Keinginan terhadap kebebasan, berdiri sendiri dan kemerdekaan, bukan baru-baru saja .. Keadaan dalam lingkungan yang langsung dan tidak langsunglah yang menumbuhkannya” (surat ke ny. Abendanon, Agustus 1900).

 Maka, Kartini menghidupi dan hidup di dua ruang. Dalam banyak waktu, rumahnya, Kadipaten itu, adalah ruang dengan relasi-relasi kuasa tradisional Jawa (unggah-ungguh hirarkis dan poligami). Kedua hal itu, setidaknya, telah mendisiplinkan pikiran, tutur dan tindakannya. Tetapi, beranda dan ruang makan, saat ayahnya menerima dan menjamu para pejabat Belanda, berubah menjadi ruang yang kritis terhadap tradisionalisme Jawa. Sebab saat itu ia bisa bertukar pikir dengan mereka. Bahkan kamar tidurnya yang sempit juga merupakan ruang yang kritis. Di situ ia bisa membaca berbagai buku atau majalah Barat, dan juga menulis surat-surat yang mempersoalkan tradisionalisme priyayi Jawa sambil sekaligus memuji modernitas Barat.

 Maka, dengan mengutip Michel Foucault, saya menganggap Kadipaten, bagi Kartini, adalah sebuah heterotopia (ruang lain), yakni sebuah ruang yang menghidupi dua narasi yang bertentangan: tradisionalisme Jawa yang menindas perempuan dan modernitas Barat yang menjanjikan emansipasi perempuan dan manusia. Ia rawat narasi-narasi tentang Kadipaten itu dalam surat-suratnya.

 Itu sebabnya Kartini senantiasa hidup dalam ambiguitas. Ia ambigu bukan hanya dalam kekagumannya pada berbagai karya seni adiluhung (seni yang penuh dengan nilai-nilai keutamaan) Jawa (batik, wayang, gamelan dan ukiran), tapi juga kegeramannya pada tata krama adiluhung Jawa yang menindas perempuan. Ia pun memandang ayahnya secara ambigu, yaitu sebagai representasi tradisionalisme Jawa yang menindas, tapi juga pemberi orientasi pada modernitas Barat. Maka dalam suratnya kepada Stella ia menulis, bahwa ia tak akan mampu melawan seandainya ayahnya memintanya untuk menikah: “Kamu selalu mempertentangkan ‘harus’ dengan ‘saya mau’. Terhadap orang lain, saya pasti akan berbuat demikian juga, tetapi terhadap Ayah, saya tidak akan sanggup, lebih-lebih sekarang. Apa yang harus saya lakukan tidak saya pandang sebagai suatu ‘keharusan’, tetapi sebagai sesuatu yang dengan sukarela saya tanggung untuk ‘beliau’. Saya mengarang, melukis dan mengerjakan semuanya, karena Ayah menyenangi hal seperti itu. … Kasih sayang saya pada Ayah tak terkatakan! Saya akan teramat susah, kalau sekiranya Ayah menahan cita-cita saya untuk bebas. Tetapi akan lebih tak terhingga lagi sedih hati saya, jika keinginan saya yang sungguh-sungguh dipenuhi, tetapi saya harus kehilangan cinta kasih Ayah” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).

 Berbagai bentuk relasi kuasa di ruang-ruang itu mendisiplinkan pikiran dan strateginya saat melawan tradisionalisme Jawa. Perlawanannya itu tak konfrontatif, tetapi subversif (merongrong). Ia terima keberatan ayahnya, lewat Abendanon, untuk tak studi di Belanda. Ia terima lamaran Bupati Rembang. Namun, semuanya dengan syarat ia boleh mendirikan sekolah perempuan, tak melakukan bentuk-bentuk tertentu upacara nikah, dan suaminya tak menikah lagi. Ambiguitas dan kesubversifan ini, saya kira, salah satu sumbangan terbesarnya bagi gerakan perempuan. Pada akhirnya Kartini kalah, tapi ia tetap secara radikal melawan.

 Maka, saya setuju Goenawan Mohamad yang mengajak kita untuk tidak melihat heroisme Kartini. Karena Kartini memang melawan dalam ambiguitasnya. Tapi saya tak setuju dengan Goenawan Mohamad yang cenderung tak mengakui perlawanannya selain kekalahan tragisnya atas berbagai harapan yang ia lontarkan dalam surat-suratnya:

 "Maka, kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas suara generasi muda — tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya. … Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil “Ibu kita”, bukan “sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi. … Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya" (Catatan Pinggir, Tempo, , edisi. 44/XXXV/25 - 31 Desember 2006).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun