Apabila seseorang bertanya kepada daku apa yg dipikiran mu menyangkut kata Kompasiana, ada 3 hal bagi daku "Nangkring, Social Media Blog dan Pepih Nugraha". Pepih Nugraha bagaikan icon di Kompasiana seperti Andrew Darwis (Mimin) yang merupakan icon dari Kaskus. Tetapi dalam perjalanannya Kang Pepih seperti Ken yang membuat Kaskus memiliki nama besar dan Kaskus berandil balik membesarkan namanya, lalu kemudian pamit.
Sambil duduk, daku pun lanjut berbincang ringan dengan Kang Pepih menyangkut blogging dan perkembangan para blogger diluar sana. Sempat keluar sebuah kata dari bibirnya "Mas Andri, Blog membuat orang bebas menulis atau merdeka. Tetapi menurut saya blogger harus berani menampilkan nama aslinya", jleb dalam hati dan terbentuklah kata DAKU dalam embrio pemikiran ini dan hadirnya bibit Blogger Rusuh sebagai identitas personal brand dan Andri Mastiyanto nama sang Blogger yang dimunculkan kedepan. Akhirnya keputusan yang daku ambil tepat sebelumnya ketika nama yang ditampilkan bukan lagi Rakyat Jelata sebagai identitas Kompasianers walaupun akun kompasiana daku masih ini.
Kebetulan daku bersama Tauhid Bule mendapatkan mandat dari bos madyang Kompasianers Pecinta Kuliner (KPK) Rahab Ganindra menjadi penjaga stand KPK. Daku pun menawarkan makanan yang daku bawa. Ia hanya menjawab "saya nanti saja nyobanya saat mengunjungi stand KPK". Satu-persatu kompasianers menghampiri Kang Pepih dan salah satu petinggi Kompas.com mengajak mengobrol serius dengannya. Daku pun sadar diri bahwa Kang Pepih yang punya gawe maka daku pun ijin ke stand KPK.
Itulah pertama kali daku bisa berbicara banyak dengan Kang Pepih Nugraha dimana sebelum-sebelumnya daku hanya menyapa saja di acara Nangkring Kompasiana. Beliau cendrung lebih sebagai pendengar yang baik dengan tidak memotong daku yang sedang bicara. Sikap yang ditunjukkan kepada daku membuka mata sepertinya ia tidak ingin dikenal sebagai penggede Kompasiana ataupun seleb blog. Rendah hati, penuh senyum, tidak angkuh dan membuat daku berbicara dengannya seperti teman blogger saja.
Kang Pepih ketika ngobrol ringan menyangkut dunia blogging tidak keluar ucapan si itu Blogger Hatters, adanya Blogger Rempeyek, Blogger Buble, Blogger Remehan dan Blogger apalah-apalah. Tidak ada meremehkan blogger lainnya. Mungkin yg terjadi saat ini bagaimana blogger bagaikan jamur di musim hujan dan istilah-istilah itu merupakan sebuah proses kehidupan. Menurut daku ini yang membuat dirinya begitu disegani dan dihormati dikalangan blogger yang daku kenal.
Memang dalam perbincangan tersebut Kang Pepih tidak mengungkapkan Blogging is Free Writing, tetapi daku menangkap itu tersirat dalam ucapannya. Dalam sebuah status yang dia buat di akun Facebook "Nulis Bareng Pepih" ia pun pernah berstatus "Kemerdekaan dalam Menulis dilakukan oleh pewarta warga,"
Pepih Nugraha
Sejatinya sebelum tulisan ini daku buat, tidak begitu mengetahui latar belakang dan profil dari Kang Pepih Nugraha. Daku pun mengobrak-abrik search engine menyangkut tentang dirinya dan akhirnya daku dapatkan di buku.kompas.com . Pepih Nugraha, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1964, adalah wartawan Harian Kompas sejak 1990. Sejak kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, menjadi reporter untuk sebuah mingguan yang terbit di Yogyakarta selain menulis fiksi berupa cerita pendek dan novel. Fiksi antara lain dimuat di Femina, Hai, Gadis, Nova, Bobo, Anita Cemerlang, dan majalah berbahasa Sunda, Mangle. Sedangkan tulisan feature dimuat di Majalah Intisari. Sejak 2005 mendalami social media dengan membuat personal blog dan mempraktikkan citizen journalism dengan membangun social blog Kompasiana.
Gemar membaca sejak kelas tiga sekolah dasar, terutama bacaan yang berkaitan dengan fiksi dan ilmu pengetahuan. Menggeluti dunia perbukuan dengan menjadi editor untuk beberapa buku di tahun 1994. Pernah bertugas di Indonesia Timur sebagai Kepala Biro berbasis di Makassar, 2002-2004 sebelum kemudian dipindah ke Surabaya. Menangani Kompas Update tahun 2008 dan setelah Harian Kompas yang terbit siang itu dihentikan penerbitannya, dipercaya menangani komuniti di Kompas.com dengan jabatan Redaktur Pelaksana Komuniti sampai buku kedua ini diterbitkan.
Dari beberapa penulis Kompasiana, ia menjadi editor untuk beberapa buku seperti Cat Rambut Orang Yahudi, Intelijen Bertawaf, dan ”pentalogi” Pak Beye dan Istananya yang mencatat sukses dari sisi penjualan. Buku pertamanya adalah Citizen Journalism; Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman. Sedangkan Menulis Sosok adalah buku keduanya. Di luar kegiatan sebagai jurnalis, menjadi pembicara mengenai kepenulisan dan social media blogging di dalam dan di luar negeri.