Mohon tunggu...
Nandita Sulandari
Nandita Sulandari Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Independen

Tinggal di Ubud Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kisah di Balik Dukungan Megawati Kepada Ahok

27 September 2016   18:28 Diperbarui: 29 September 2016   13:14 23071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati dan Ahok (Sumber Foto : Kompas)

Terpilihnya Ahok oleh PDIP memang amat mengejutkan, karena sejak bulan Maret 2016, Ahok seolah menjadi musuh besar PDIP setelah menyatakan akan maju dari jalur politik independen, dan uniknya dalam proses jalur itu, statemen-statemen dari kelompok Ahok justru menyerang PDIP.

Serangan pihak Ahok pada PDIP utamanya saat kubu Ahok meminta Djarot maju lewat jalur independen, namun hal ini ditolak Djarot mentah-mentah bahkan dengan nada patriotik Djarot berkata "saya sejak awal PDIP, jatuh bangun saya dengan PDIP, kalaulah maju dalam berpolitik ya harus dengan PDIP" loyalitas Djarot teruji saat itu ketika kekuasaan melambai-lambai padanya, dia masih bertahan di PDIP, lalu ada isu deparpolisasi setelah Prasetyo melaporkan perkembangan keadaan kepada Megawati. 

Antara Maret-September 2016, seluruh perhatian soal Pilkada DKI terpusat tarik menarik antara Ahok dan Penggede-penggede PDIP. Sementara Megawati cenderung diam dan memperhatikan keadaan. 

Sejak awal Megawati tidak pernah mundur dari sikapnya untuk berpihak pada Ahok. Menurut beberapa orang dalam PDIP yang sempat berseteru dengan kubu Ahok kerap berkata "Ya susah, Ibu masih sayang banget sama Ahok". Bahkan dalam perseteruan paling keras di bulan Maret 2016, Megawati yang ingin mengundang Ahok dalam acara peluncuran buku "Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat", saat itu beberapa orang di ring satu PDIP, menyatakan "jangan sampai Ahok diundang", tapi Megawati bilang "Ahok harus kamu undang, aku ingin dia orang pertama menerima buku-ku, agar dia tau jejak sejarah perjuangan kita semua, kita besar karena perjuangan ini, dan ini harus diteruskan oleh orang yang paham landasan dasar perjuangan kita", saat itu banyak orang termasuk dalam ring satu PDIP belum paham apa yang dimaksud Megawati, dan ternyata jawabannya itu terjadi pada 18 September 2016 di Bali. 

Dengan menggunakan caping, di sebuah areal persawahan dan duduk di dangau, Megawati berkumpul bersama ring satu PDIP yang membawa laporan soal perkembangan pilkada DKI, ada beberapa poin perkembangan pilkada, namun poin paling pentingnya adalah "mulai dimainkannya politik beda agama dan politik sentimen suku", laporan itu menyarankan agar calon lain saja yang maju diluar Ahok untuk menghindari konflik inilah yang membuat Megawati tersentak dan kemudian menerawang melihat hamparan sawah, agak lama Megawati terdiam. 

"Bapakku dulu berjuang untuk sebuah negara. Kita tak pernah bisa menentukan siapa yang melahirkan kita, agama juga adalah jalan hidup manusia tapi janganlah ketika kau beragama malah kau saling gesek dan tidak menghargai kemanusiaan, mencintai Indonesia adalah buah kehidupan dari kesadaran itu sendiri, menjadi orang Indonesia adalah nasib yang diperjuangkan, mencintai Indonesia adalah komitmen manusia Indonesia dan tanah airnya, jadi bagaimana bisa kalau kalian berpolitik tapi tak mengindahkan watak paling dasar bangsa ini yaitu: Pancasila, bagaimana kalian bisa menjadi orang Indonesia, sesungguhnya orang Indonesia"

Semua yang hadir terdiam. Saat itulah Ahok dipilih Megawati.

Megawati sendiri tak pernah mundur dalam meyakini Ahok-lah yang bisa memegang kendali Jakarta, keterpesonaan Megawati ketika Ahok berhadapan dengan arus besar soal Lurah Susan, disini sebenarnya terjadi situasi dramatis soal kesadaran konstitusi dan Ahok juga Jokowi saat itu memenangkan konstitusional diatas kepentingan politik. Pertemuan Desember 2013 menjadi titik penting jalinan politik yang kuat antara Mega dan Ahok. 

Jakarta adalah sebuah melting pot, sebuah kota yang sepenuhnya tumbuh dalam situasi plural. Tapi kemudian muncul sebuah tren dalam memainkan politik perbedaan agama, politik perbedaan suku dan segala bentuknya.

Dulu Gubernur Jakarta ada yang beragama Kristen dari suku Manado bernama Henk Ngantung, tak ada ribut-ribut. Tapi kemudian ada semacam strategi politik memainkan eforia kesukuan dan artifisial politik agama, bukan lagi sebuah akal sehat untuk menata kota, menjadikan Jakarta kota yang tertib. 

Tren memainkan politik agama dan politik perbedaan suku inilah yang ditentang Megawati. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun