Mohon tunggu...
rakyan bumi
rakyan bumi Mohon Tunggu... -

penggiat pertanian selaras alam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Meron

12 Oktober 2012   08:47 Diperbarui: 4 April 2017   16:27 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_217506" align="alignleft" width="608" caption="tradisional bukan tertinggal"][/caption]

Banyak deskripsi tentang arti istilah “orang Jawa” . Pada masa lalu, sebutan Orang Jawa ditujukan bagi semua orang yang menghuni Pulau Jawa. Namun telah terjadi pergeseran arti orang jawa pada masa sekarang orang yang dikatakan orang jawa adalah penduduk yang menghuni Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang disebut suku bangsa Jawa dan anak keturunannya. Pada umumnya mereka masih melestarikan budaya, adat istiadat warisan nenek moyangnya dan berbicara bahasa Jawa. Kebanyakan anak keturunan orang Jawa yang tinggal diluar “tanah Jawa” seperti  di Jakarta dan daerah maupun negara lain, meski bertempat tinggal di luar wilayah pada umumnya mereka masih melestarikan atau akrab dengan budaya leluhurnya.

Nilai yang terkandung dalam kebudayaan Jawa banyak mengajarkan kepada kita untuk selalu dekat atau bahkan menyatu dengan alam. Kita disarankan untuk pandai bersyukur dan menjaga keharmonisan kehidupan kita dengan alam. Memaknai dan memberi penilaian positif terhadap hasil yang telah diperoleh dari sinergisitas itu. Bersinergi dengan alam dengan memanfaatkan untuk kepentingan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga adalah presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan dengan alam. Sinergisitas antara manusia dengan alam ini membentuk nilai yang hidup subur dan sekaligus menjadi dasar dalam kehidupan kemasyarakatan.

Tata nilai di kebudayaan jawa yang sangat adiluhung, menempatkan dua kultur masyarakat yang berbeda yang ada di masyarakat Jawa. Dua kultur itu adalah little tradision (kebudayaan tradisional petani) dan great tradition (peradaban masyarakat kota). Dua kultur ini dapat diafiliasikan maknanya dalam tradisi selametan sebelum mulai tanam atau panen padi yang sering kali disebut dengan upacara wiwitan. Upacara ini merupakan bagian integral dalam pola pertanian masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan meski gempuran arus modernisasi merambah lini-lini kebudayaan tradisional kita.

Upacara wiwitan ini adalah hasil implementasi dari tiga fase perkembangan kebudayaan Jawa, mulai dari fase mistis, mistis-religius dan fase rasional-religion. Ini juga bisa dikatakan sebagai pandangan dunia (word view) terhadap pandangan masa depan keselamatan dan hasil panen yang berlimpah ruah. Perkembangan budaya mistis Jawa yang dulunya bersandarkan kepada kekuatan diluar diri mereka atau keteraturan alam numen dan numinous kepola pemikran yang lebih rasional telah mengilhami pertanian modern yang lebih mendasarkan diri kepada akal budi. Perkembangan ini tidak lain karena pola pikir masyarakat yang semakin maju dalam dunia pertanian.

Terutama Jawa yang memiliki dua kultur pertanian berbeda yakni petani lahan kering dan lahan basah. Petani lahan kering lebih banyak mengembangkan komoditas tanaman keras atau perkebunan, sejenis tanaman kayu dan buah-buahan. Sebagai contohnya di daerah tegalan di Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah dimana pada umumnya petani lahan kering banyak menanam tanaman tahunan seperti ketela pohon dan tebu. Hal yang menarik di pinggir lahan budidaya ditanami tanaman buah-buahan seperti mangga dan rambutan. Bukan hanya tanaman buah-buahan yang mereka tanam tetapi ada juga yang menanami tepi lahannya dengan tanaman randu. Tanaman tersebut selain untuk menjaga iklim mikro daerah budidaya juga sebagai nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan hidup petani. Disisi lain ada hal yang menarik dalam budidaya lahan kering ini yaitu perhitungan musim yang di tentukan setepat mungkin agar dalam berbudidaya petani tidak hanya menanam satu jenis komuditas saja tetapi beberapa macam komuditas. Seperti tumpang sari ketela pohon dengan kacang tanah dimana keahlian petani lahan kering dalam membaca musim sangat diperlukan agar hasil panenan bisa maksimal. Salah satu cara mereka membaca musim adalah dengan melihat tanda-tanda alam, seperti kondisi tanaman randu sebagai pedoman penentuan musim tanam. Sebagai contoh apabila daun pohon randu mulai berguguran menandakan awalnya musim kemarau. Contoh lain apabila pohon duet mulai berbunga menandakan awalnya musim labuhan (pengolahan lahan) atau sebentar lagi musim penghujan.

Sedangkan petani lahan basah lebih banyak membudidayakan tanaman padi dan beraneka ragam sayur-sayuran atau tanaman palawija. Sebagai contohnya di daerah pesawahan di Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur dimana pada umumnya petani sawah menanam padi pada musim penghujan dan pada musim kemarau membudidayakan palawija antara lain : jagung, kacang tanah, kedelai dan kedelai. Berbeda lagi didaerah Brebes Jawa Tengah, petani di wilayah ini banyak menanam tanaman bawang merah. Hal yang menarik dari kegiatan budidaya bawang merah di daerah ini adalah mereka tidak hanya menanam bawang merah saja tetapi sisi pinggir bedengan lahan budidaya ditanami tanaman palawija khususnya kacang tanah. Pola tumpang sari ini sudah dikenal dan diupayakan petani di Brebes sejak dahulu, tidak diketahui siapa yang memulai menerapkan model ini. Tanaman kacang yang menjadi tanaman tumpangsari di lahan bawang merah tersebut selain untuk menambah hasil harapannya dapat berfungsi sebagai penguat bedengan. Ditilik dari sisi teknis budidaya tanaman pinggir ini juga sangat bermanfaat untuk menjaga kesuburan tanah.

Kegiatan bertani yang ada di Kabupaten Brebes terjadi interaksi sosial yang sangat menarik dan sekaligus dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat disekitarnya. Petani di wilayah ini dalam mengolah sawah untuk budidaya bawang merah tidak dapat dikerjakan sendirian tetapi memerlukan tenaga orang lain. Kebiasan disini tenaga kerja untuk pertanian dari tetangga terdekat. Hal yang menarik dari Petani Brebes yaitu meskipun mereka menggarap sawah tetapi sekaligus menjadi buruh tenaga pembuat bedengan. Bahkan banyak dari mereka yang berprofesi sebagai Magang (mencari buruhan olah lahan dengan berangkat lebih awal yaitu sekitar jam 3 pagi). Sedangkan untuk mengelola lahannya mereka lakukan pada sore hari sepulang kegiatan magang.

Model budidaya yang dilakukan di wilayah desa sidamulya, petani menanami bedengan yang selesai dibuat dengan tanaman kedelai. Menurut penuturan petani dengan menanami kedelai dibedengan calon tanaman bawang merah terlebih dahulu maka pertumbuhan tanaman bawang merah menjadi lebih subur.

Selain model budidaya, petani dalam menanam bawang merah juga mengamati musim yang tepat. Petani di sidamulya berkeyakinan waktu untuk berbudidaya bawang merah yang paling tepat yaitu ketika musim angin kumbang. Kalau dihitung bulan masehi tepatnya sekitar bulan juni sampai september. Angin kumbang merupakan angin yang berasal dari gunung kumbang, angin ini bergerak cepat pada bulan-bulan tersebut yang melintasi wilayah Brebes, hal ini sangat membantu mengurangi hama penyakit tanaman bawang merah.

Masyarakat yang termasuk golongan ini banyak mendiami daerah dataran rendah yang datar. Jenis tanaman yang dibudidayakan banyak didominasi tanaman padi dan palawija, membentuk interaksi yang berbeda. Masyarakatnya membentuk model kampung yang bergerombol dan dengan lahan budidaya yang menyatu atau dengan kata lain mereka menata lahan budidayanya dengan sistem blok atau petakan. Sistem ini dipakai dengan tujuan untuk memudahkan mengatur irigasi karena tanaman yang mereka budidayakan membutuhkan pengairan yang intensif. Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya bukan hanya berdasarkan kondisi tanah dan air di tempat itu saja, tetapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat.

Petani di Jawa percaya pertanian yang berlaku bukan hanya sekedar aktifitas fisik saja tetapi sangat menjujung tinggi nilai nilai spiritual. Sangat berbeda dengan pertanian yang dikenal sekarang ini. Modernisasi pertanian memandang pertanian hanya sebatas kegiatan bertanam untuk menghasilkan panenan yang cukup. Pada pertanian modern eksploitasi aset produksi dilakukan besar- besaran dan terus-menerus hanya untuk sebuat tujuan peningkatan hasil panenan.

Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan falsafah Jawa yang mengajarkan untuk mencintai alam ini. Sebagaimana upacara wiwitan yang dilakukan kaum petani Jawa, yang diselenggarakan sebagai ucapan terimakasih, puji dan sukur kepada Tuhan, pencipta alam semesta. Sebuah tradisi yang biasanya dilakukan untuk menandai dimulainya waktu masa tanam padi atau panen. Dalam tradisi tersebut seakan mengharuskan pemilik sawah menyediakan jamuan makan bagi tetangga, biasanya berupa nasi megana dan seekor ayam ingkung. Nasi Magana yang disajikan digelar di atas daun pisang yang ditaruh di atas meja, ingkung akan dibagi dengan diiris-iris atau disuir-suir sesuai jumlah orang yang ikut prosesi acara. Sebelum menyantap hidangan seorang kaum (kiai kampung) akan membacakan doa keselamatan dan rasa syukur atas dimulainya menanam dan memanen padi. Setelah usai berdoa, sisa makanan akan dibawakan tamu undangan. Tradisi ini bahkan tidak hanya dilakukan di rumah karena wiwitan terkadang juga dilakukan di tengah sawah.

Pada upacara wiwitan ini tidak hanya orang dewasa tetapi banyak anak-anak yang mengikuti prosesi ini. Gurat bahagia atau sumringat tergambar dimuka anak-anak yang mengikuti acara ini. Kenikmatan jamuan yang sangat sederhana memunculkan niat yang besar dari anak-anak untuk selalu ikut kegiatan wiwitan ini. Wiwitan ataupun angler tidak hanya menjadi sebuah upacara sewaktu akan menanam atau memanen padi, tetapi juga sebagai salah satu perekat tali persaudaraan antara warga desa. Lebih-lebih upacara ini merupakan khazanah budaya yang memiliki dimensi sosial sangat tinggi. Karena di dalamnya menanamkan rasa persaudaraan keiklasan memberi yang memunculkan nilai dasar rasa solidaritas atar sesama manusia.

Biasanya saat menanam dan memanen padi para petani itu saling membantu petani yang menyelenggarakan upacara wiwitan. Ini merupakan aski solidaritas yang kaya dengan falsafah Jawa “mikul duwur mendem jeru.” Untuk lebih memeriahkan upacara ini warga terkadang juga menggelar kesenian gejog lesung dengan tembang-tembang Jawa yang berisi tentang kemakmuran para petani. Di samping sebagai wujud syukur tradisi wiwitan ini digelar sebagai bentuk untuk melestarikan ritual budaya yang hampir punah dikalangan petani Jawa. Apalagi di tengah zaman yang kini sekat-sekat sosial kian menonjol. Tradisi wiwitan layak terus dikembangkan oleh petani di desa-desa agar hubungan sosial warga tidak semakin pudar tetapi terus merekat sepanjang zaman.

Budaya wiwitan banyak dikenal orang, tetapi masih banyak tradisi yang belum diketahui orang. Salah satu contonya didaerah Sukolilo Pati jawa tengah pada Bulan Mulud ( Bulan Jawa) masyarakat petani disini mengadakan upacara Meron. Upacara ini dilakukan oleh petani satu wilayah desa, mereka membawa sebagian hasil panen sawah atau ladang diatas sebuat tandu. Kalau diamati secara seksama semua yang ada ditandu itu semua hasil tanaman yang ada di wilayah itu. Semua yang dibawa tidak ada bahan dari luar desa dan ternyata waktu ditanyakan ini memang tersengajakan. Selain sebagai media bersyukur, sekaligus untuk memperkenalkan seluruh elemen masyarakat di Desa Sukolilo untuk mencintai tanaman yang ada di wilayah ini. Hasil panen yang berada diatas ancak lalu diarak menuju balai desa untuk didoakan oleh kaum Desa, setelah didoakan di perebutkan oleh seluruh warga. Menurut penuturan Sucokro (pemuda dari Desa Sukolilo) sayuran atau palawija yang sudah didoakan memiliki manfaat yang besar. Tuturnya lagiapabila sayuran itu diberikan ke ternak maka ternaknya akan berkembang dan jika di taruh di sawah maka tanaman akan subur dan terhindar dari hama penyakit. Dengan cerita tadi dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tradisi meron merupakan tradisi sedekah dari petani. Tujuan meron adalah sebagai ucapan syukur kepada tuhan yang telah memberikan hasil panen. Keyakinan dari warga Desa Sukolilo akan manfaat sedekah ternyata tidak luntur sampai sekarang walaupun modernisasi sudah sebegitu menggila. Contoh nyata narasumber Sucokro merupakan pemuda dari Sukolilo yang menuntut ilmu kuliah di yogyakarta. Walaupun dia berpendidikan tinggi tetapi masih percaya akan manfaat sayuran atau palawija yang ada di budaya Meron itu. Kesemuanya itu merupakan konsep kenduri ( kekendelan kang diudari). Maksud dari kegiatan itu seperti yang termaktub dalam artinya “kekendelan kang diudari” adalah keberanian yang tersepakati.

Niat yang tulus akan diberkahi oleh alam. Alam punya inteljensi luar biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan dan cara. Maukah kita mencoba mensyukuri berkah yang telah lama kita lupakan ini, bukan dengan doa yang diucapkan sembarang karena reflek, tetapi dengan setiap kata yang dihayati. Memandang nasi yang kita makan hari ini bak kumpulan mutiara putih yang berharga. Memandang mereka sebagai hasil perkawinan alam yang telah dilimpahkan kepada kita, hingga menjadi gugusan-gugusan yang membangun tubuh dan jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun