Malang selalu dikaitkan dengan kerajaan Kanjuruhan berdasarkan prasasti Dinoyo I yang berangka tahun 760 Masehi. Keyakinan akan kebesaran Raja Gajayana tidak dapat terlepaskan dari orang Malang maupun orang yang mendengar nama Kota/Kabupaten Malang. Hal ini karena Kerajaan Kanjuruhan sudah menjadi Sejarah Nasional Indonesia, sehingga kebesaran kerajaan Kanjuruhan sudah diakui. Namun, apakah kita masih bisa menikmati sisa kejayaan Kerajaan Kanjuruhan saat ini dan masa yang akan datang?
Prasasti Kanjuruhan (Dinoyo I) menginformasikan bahwa cucu Raja Gajayana anak dari Uttejana yakni Anana telah melakukan perbaikan sebuah arca Rsi Agastya yang semula terbuat dari kayu Cendana diganti dengan bahan batu andesit hitam yang berguna untuk sebagai tempat menghilangkan penyakit dan malapetaka. Sejumlah ahli mengaitkan Candi Badut dengan bangunan suci yang diperbaiki oleh cucu Raja Gajayana tersebut. Candi Badut terletak di Dusun Badut, Desa Karang Widoro,Kecamatan Dau, kabupaten Malang atau 11 km dari pusat Kota Malang.
Pendapat tersebut kurang dapat diterima saat ini, karena pada Candi Badut tidak ditemukan arca Rsi Agastya seperti yang tertuang pada prasasti Kanjuruhan (Dinoyo I). Berdasarkan Toponimi, Badut merupakan sebuah tanaman. Pohon Badut saat ini sudah jarang dijumpai di Malang, hal ini karena kurangnya informasi yang lestari dikalangan masyarakat sehingga informasi mengenai tanaman tersebut tidak didapatkan.
Tidak jauh dari candi Badut, terdapat sebuah situs yang dinamakan Candi Wurung atau Candi Gasek (Karangbesuki). Candi Gasek terletak di areal pemakaman umum Dusun Gasek, Desa Karangbesuki, Kecamatan Sukun Kota Malang. Lokasi Candi Gasek dengan Candi Badut berjarak 600 meter dan 12km dari pusat kota Malang. Keadaan yang sudah sangat memperhatikan karena tidak terawat dan ditumbuhi semak belukar menjadikan masyarakat tidak mengetahui bahwa di Gasek terdapat sebuah tinggalan purbakala hanya dari papan yang dibuat oleh BPCB Trowulan.
Menarik untuk dikaji, candi Gasek ini saat ini hanya tersisa tumpukan batu andesit yang di identifikasi bekas bangunan suci. Pada awal penemuannya, masih terlihat kaki candi, namun saat ini yang tersisa bekas pondasi dengan batuan balok setinggi 30 cm. Di sekitar Candi Gasek, ditemukan sebuah arca Ganesha, arca Agastya dan sebuah Yoni. Ketiga benda cagar budaya tersebut saat ini disimpan di BP3 Pu Purwa Kota Malang yang saat ini bernama Museum Mpu Purwa.
Candi Gasek atau Karangbesuki dapat juga dikaitkan dengan informasi yang tertuang di prasasti kanjuruhan (Dinoyo I) baris ke empat. Hal ini karena Karangbesuki terdiri dari kata Karang dan Besuki. Karang artinya daerah atau tempat (Zoetmulder, 1994:462) dan Besuki artinya Selamat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Karangbesuki merupakan daerah/tempat keselamatan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik sebuah informasi baru, bahwa yang tersirat dalam prasasti Kanjuruhan 760 Masehi adalah Candi Gasek atau Karangbesuki yang saat ini keadaannya sangat tidak terawat. Sangat disayangkan apabila yang seharusnya menjadi Masterpiece Malang malah tidak terawat.
Gasek saat ini hanya menjadi nama dusun yang sudah mulai asing bagi masyarakat pendukungnya. Hal ini karena nama Gasek mulai tergantikan dengan nama Jalan Candi yang lebih terkenal. Apabila pembiaran Candi Gasek atau Karangbesuki berlanjut dan edukasi mengenai Toponimi Gasek tidak pernah dilakukan maka generasi yang akan datang akan kehilangan sejarah dan Jati dirinya.
Gasek merupakan sebuah nama Desa Kuno yang merupakan tempat tinggal dari Dyah Limpa. Informasi tersebut tertuang di prasasti Ukirnegara 1120 saka (1198 Masehi). Dalam prasasti tersebut didapatkan sebuah informasi Rakryan Patangjuru yang bernama Dyah Limpa bertempat tinggal di Gasek wilayah Pamotoh mendapat hadiah tanah sima dari Sri Maharaja (Suhadi&Kartakusuma, 1996: 10). Apabila Karangbesuki dikaitkan dengan bangunan suci yang disebutkan di prasasti Kanjuruhan (Dinoyo I), sedangkan Gasek merupakan tempat tinggal Rakryan Patangjuru maka daerah ini merupakan sebuah daerah kuno.