Suatu ketika, saya mengambil buku raport sekolah anak. Penasaran juga; dapat ranking berapa anak saya di kelasnya. Ternyata, sekolah tempat anak saya menimba ilmu tidak memberikan ranking pada siswa-siswinya. Bisa bikin minder siswa yang tidak dapat ranking, katanya.
Usai pembagian raport, kami para wali murid kasak-kusuk, nanya ke sana-sini tentang nilai dari masing-masing anaknya. Ternyata keingintahuan yang ada pada diri saya juga sama dengan yang lainnya. Akhirnya, kami pun bisa menyusun klasemen dari anak-anak kami. Walaupun pihak sekolah tidak memberikan ranking.
Pada kesempatan yang lain, saya bertemu dengan beberapa orang tua murid yang tidak mau menyebutkan nilai dari anaknya, saat ditanya orang lain. Alasannya anak bukan untuk dibanding-bandingkan. Usut punya usut, ternyata di sekolah ini habis diadakan seminar parenting buat para orang tua murid.
Sebagian ahli parenting memang berpendapat bahwa anak kita bukanlah objek untuk dibanding-bandingkan. Dikomparasi satu dengan yang lain. Anak-anak kita bisa tersinggung, malu atau bahkan minder bila dibanding-bandingkan dengan teman-temannya yang lebih hebat, yang lebih pintar dan kelebihan lainnya. Ada benarnya.
Setiap anak adalah pribadi yang unik yang pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tugas kita adalah mendorong kelebihan yang ada pada anak kita tersebut agar tumbuh dan berkembang. Saya setuju dengan point ini.
Namun, saya pribadi punya sedikit perbedaan pendapat terkait anak tidak boleh dibanding-bandingkan. Bagi saya, parenting adalah sebuah ilmu. Ilmu yang dipelajari dari pengalaman orang tua (parent) dalam mendidik anak. Pengalaman orang lain, pengalaman pribadi dan kaitannya dengan disiplin ilmu yang lain seperti psikologi, keagamaan serta disiplin ilmu lainnya.
Bagi saya, setiap ilmu, aturan, kaidah yang sumbernya bukan dari Al-Qur'an dan Hadist maka kebenarannya bisa relatif. Nisbi. Bisa diperdebatkan. Bisa berubah ukuran kebenarannya.
Seperti halnya dalam masalah pendidikan anak. Manakala kaidah di dalamnya masih merupakan hasil pemikiran manusia, maka masih berlaku hukum nisbi tadi. Kebenarannya tidak mutlak. Berbeda dengan kaidah dalam pendidikan anak yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist. Contoh sederhananya terkait dengan menyusui. Dalam Al-Qur'an diatur tentang lamanya menyusui anak yang sempurna adalah dua tahun. Maka hal ini bersifat paten. Tidak perlu didebat. Tidak perlu didiskusikan lagi. Kalaupun didiskusikan adalah dalam rangka mencari kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Bukan dalam rangka menolaknya.
Demikian juga terkait dengan umur dimulainya anak kita dipisah tempat tidur dan umur mulai menjalankan shalat. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang menyatakan "Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia mereka tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun dan pisahkan mereka di tempat tidur". Ini juga paten. Tidak perlu didebat. Tidak perlu didiskusikan untuk menolaknya. Yang perlu didiskusikan adalah bagaimana agar anak-anak kita bisa menerapkannya. Dan kita sebagai orang tua bisa mengarahkan dan membimbing anak kita agar bisa mempraktekkannya.
Kembali ke masalah awal. Ketika sebagian ahli parenting berpendapat bahwa anak janganlah dibanding-bandingkan, saya berpendapat lain. Menurut saya, tergantung bagaimana konteks kita membanding-bandingkannya !
Apabila kita membandingkan anak kita dengan anak lain, dalam hal nilai misalnya; dengan mengatakan "Nak, kamu ini gimana sih ? Nilai matematikamu cuma 54. Sedangkan si Fulan temanmu bisa 100. Padahal kamu sekelas, gurunya sama, soalnya sama kok kamu kalah jauh?"
Kalau begini caranya memang benar, anak kita bisa down. Sudah malu dapat nilai sedikit, sama orang tuanya makin dipermalukan.