Ramai di lini masa kejadian seorang ibu dan perempuan muda yang terlibat adu mulut saat menunggu giliran untuk keluar pesawat sesaat setelah mendarat di tujuan akhir. Dari video yang diviralkan oleh beberapa akun media sosial, terlihat bahwa perempuan muda itu ditegur oleh seorang ibu karena sudah berdiri di depan menuju pintu keluar.Â
Proses meninggalkan pesawat telah disampaikan oleh awak kabin bahwa para penumpang dipersilakan bersiap dimulai dari kursi dengan nomor 1 sampai dengan 10. Sementara si mbak sebenarnya berada di kursi deret belakang dan belum waktunya untuk berdiri.
Dari penggalan kejadian yang sempat direkam oleh teman si mbak sendiri dan menjadi viral, sesungguhnya memang tidak menampilkan peristiwa yang utuh dari awal.Â
Saya tidak akan membahas siapa yang benar dan siapa yang salah disini. Karena sesuatu yang kita tidak mengalami sendiri, tidak melihat langsung dan hanya berdasarkan sedikit informasi yang kita lihat di media sosial, maka kesimpulan yang kita ambil hanya berdasarkan asumsi kita saja.
Namun yang akhirnya menjadi pemicu begitu banyak komentar dari netizen Indonesia yang katanya 'maha benar' adalah perkataan si mbak kepada si ibu yang diucapkan berulang kali. Dengan santainya si mbak mengucapkan 'b***t' sambil mengayunkan tangan.
Sungguh miris melihat pemandangan seperti itu menjadi konsumsi semua penikmat media sosial di segala usia. Sesuatu yang bisa memantik beragam reaksi dari yang melihat. Menilai sebuah kejadian dari sudut pandang yang berbeda akan berpengaruh dalam memberi pemahaman atas suatu kejadian pada diri sendiri.
Dari video yang viral tersebut ada dua poin yang bisa kita jadikan pelajaran.
- Budaya Antre
Kejadian yang memicu keributan di pesawat tersebut bisa dibilang bermula dari masalah antrean. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, antre adalah berdiri dalam deretan memanjang untuk menunggu giliran. Maka sebenarnya yang dibutuhkan dalam suatu proses menunggu giliran adalah kesadaran dari masing-masing pribadi yang terlibat.
Budaya antre atau Queue Culture adalah budaya dimana seorang individu menekan ego nya untuk menjadi yang pertama dalam antrean demi menjaga ketertiban walaupun tidak ada yang mengawasi (Helweg-Larsen, LoMonaco, 2008).Â
Banyak sekali hal positif jika kita bisa menanamkan budaya antre dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti :
- Disiplin
Antre akan memberi kita pemahaman bahwa segala sesuatu harus dilakukan dalam kerangka berpikir yang terstruktur. Kita akan membawa semangat antre dalam mengatur prioritas hidup. Mana yang harus didahulukan, mana yang bisa kita tunda. - Menghargai orang lain
Dalam sebuah antrean, kita sama-sama memahami bahwa semua orang memiliki ketertarikan dalam hal yang sama. Namun kita harus menghormati bahwa siapa yang berada di depan akan menikmati lebih dahulu. Itu sesuai dengan effort yang sudah dia keluarkan.Yaitu dia datang lebih awal dari kita. Hormatilah perjuangan orang lain. - Taat aturan
Antre itu sama-sama belajar. Bagaimana kita bisa tertib walaupun tidak ada yang mengawasi.Pengawas kita adalah hati nurani. Bagaimana kita akan berperilaku di tengah sekelompok orang yang sama-sama menjaga ketertiban. - Sabar
Ini tentu saja menjadi hasil terbesar yang bisa kita petik dari ujian mengantre. Bagaimana kita menanamkan dalam pikiran dan hati kita, bahwa kita harus menahan diri dan berkorban sehingga bisa menikmati sesuatu yang sudah kita inginkan dengan perasaan yang maksimal. Â
Lantas kenapa orang Indonesia sering disamakan dengan orang Tiongkok yang terkenal susah sekali untuk antre? Indonesia dan Tiongkok sama-sama negara dengan populasi penduduk yang besar. Kelebihan populasi ini sering memicu pendapat bahwa siapa cepat dia dapat. Budaya mengantre belum menjadi gaya hidup semua orang.Â