Lebaran identik dengan mudik. Walaupun pulang kampung bisa kapan saja, tetapi mudik Lebaran seperti setengah wajib. Hampir semua orang menantikan saat kembali berkumpul dengan keluarga besar di rumah orang tua. Sesuatu yang susah diagendakan di waktu selain Lebaran.
Saat mudik itulah segala hal yang terbaik ingin kita persembahkan buat orang tua. Kehadiran anak cucu adalah obat yang paling mereka tunggu setelah sebelas bulan hidup dalam kesepian karena semua anaknya merantau mengikuti jalan hidup masing-masing.
Kehadiran 'orang kota' di kampung halaman memang sering menjadi pusat perhatian. Selain karena memang sudah lama tidak bertemu, secara kasat mata memang hampir semua pendatang terlihat berbeda. Baik dari penampilan, gaya bahasa atau sikap dan perilaku.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa penilaian sukses orang perantauan saat mudik Lebaran banyak dilihat dari sisi materi. Mau bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa dijadikan indikator sesaat orang luar untuk menilai. Tidak peduli bagaimana keadaan yang sebenarnya di balik gemerlap materi itu.
Sesungguhnya banyak hal-hal yang lebih penting menjadi pertimbangan pemudik selain mempertontonkan kesuksesan mereka.
Salah satu contoh adalah mobil pribadi. Pertimbangan mudik dengan mobil pribadi lebih kepada kemudahan mobilitas di kampung halaman.Â
Kesempatan pulang setahun sekali banyak dimanfaatkan untuk saling berkunjung. Lebih praktis jika membawa mobil sendiri. Selain bisa mengajak lebih banyak anggota keluarga, juga memuat lebih banyak barang bawaan. Baik mobil pribadi yang dibeli sendiri, atau mungkin sewa, pertimbangan kepraktisan adalah paling masuk akal.
Seandainya memang kita ada mobil pribadi ya wajar saja kita menggunakannya untuk pulang kampung. Orang tua yang mempunyai banyak anak cucu dan masing-masing keluarga sudah mempunyai kendaraan sendiri, tentu halaman rumahnya akan penuh seperti showroom mobil. Dan inilah yang kemudian menjadikan seolah-olah pamer.Â
Contoh lain adalah gaya berbusana. Dunia fashion di kota jelas lebih cepat perkembangannya. Hal ini membuat para pemudik seperti kelihatan berbeda. Padahal sesungguhnya ya memang seperti itu keseharian mereka berdandan.
 Tapi seringkali gaya berbusana yang lebih 'kota' membuat seseorang di cap 'orang kaya'. Apakah lantas para pemudik harus berdandan menyesuaikan orang-orang di kampung halamannya? Sepertinya tidak fair juga. Biarkanlah mereka apa adanya sepanjang tidak berlebihan dan tetap sesuai dengan momen Lebaran.
Ada lagi yang bisa jadi perbandingan. Tradisi bagi-bagi THR dan mentraktir makan. Sebagai seorang perantau, mengumpulkan uang selama setahun untuk sebagian dihabiskan di kampung halaman saat Lebaran itu sesuatu yang wajar. Bukan untuk pamer, tetapi menyenangkan keluarga. Seolah-olah membayar utang rindu setelah lama tidak bisa pulang.
Tapi seringkali hal yang demikian menjadi suatu stereotip bahwa yang mentraktir pasti orang kaya dan sukses. Padahal semua sebagai tanggungjawab moral saja. Tidak ada salahnya membahagiakan keluarga dan kenalan dengan uang yang dikumpulkan dengan susah payah.