Mohon tunggu...
Rakha Raditya
Rakha Raditya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka nonton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi Orang Timur Tengah Sebagai Tokoh Teroris dalam Film Hollywood

28 Juni 2024   16:53 Diperbarui: 28 Juni 2024   18:03 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDAHULUAN

Saat ini, penikmat film di seluruh dunia meningkat secara signifikan terhitung sejak awal mula pandemi Covid-19 kemarin. Hal tersebut terjadi karena dilarangnya orang-oranguntuk berinteraksi di luar sehingga memaksa setiap orang untuk menghabiskan waktunya di dalam rumah. Apalagi, generasi milenial dan generasi z adalah yang terbanyak menyumbangkan jumlah penonton film (Tyas, 2022). 

Dari sekian banyak tontonan film yang diberikan pada layanan tersebut, film produksi Hollywood adalah yang paling populer dan banyak ditonton oleh masyrakat dunia.  Tidak heran jika film produksi Hollywood memiliki pengaruh yang cukup besar dalam "mengontrol" perfilman dunia hingga puncaknya dapat mempengaruhi audience-nya dalam bersikap. 

Dalam film Hollywood, kita sering kali menjumpai berbagai macam pertistiwa unik dalam latar cerita film tersebut. Entah itu pada latar belakang cerita, alur jalannya cerita, ending dari sebuah film yang penuh dengan kejutan, dan terpenting adalah bagaimana tokoh-tokoh dalam film dapat menyampaikan peran hingga pada titik emosional yang tersampaikan kepada penonton. 

Maka dari itu, untuk menciptakan suatu pesan yang ingin disampaikan di dalam sebuah film perlu adanya usaha dalam membuat karakter yang "spesial" hingga membuat penonton dapat menebak apa saja yang akan dilakukan oleh tokoh tersebut. 

Salah satu hal yang biasa dilakukan untuk mewujudkan rencana tersebut adalah dengan memilih peran tokoh menggunakan suatu etnis atau ras sebagai ciri khasnya. Perbedaan tersebutlah yang membuat film memiliki keunikannya tersendiri dalam membedakan tokoh
yang satu dengan tokoh yang lainnya. Namun, pemilihan tokoh berdasarkan etnis rasanya tidak pantas. Di satu sisi suatu ras akan terasa lebih powerfull dan memiliki kendali lebih dalam ceritanya apabila tokoh yang diperankan adalah tokoh protagonis. Sedangkan sisi lainnya suatu kelompok akan dirugikan bila anggotanya memerankan tokoh antagonis dalam film karena memiliki citra tidak berdaya, jahat, dan merupakan villain dari film tersebut. 

Apabila siklus tersebut dibiarkan secara terus-menerus, dikhawatirkan akan menimbulkan stereotip atau pelabelan pada suatu ras, etnis, atau kelompok tertentu hingga berubahnya pola pikir penonton terhadap realita di sekitarnya.Pengecapan ini tentunya merugikan kelompok di mana salah satu anggotanya memerankan tokoh antagonis tersebut. 

Dengan kata lain, sebuah film dapat mengubah persepsi orang terhadap suatu keyakinan dan menggiring sesuai dengan apa tujuan dari film itu dibuat (Kubrak, 2020). Diketahui, Hollywood yang berasal dari Amerika Serikat ini memiliki catatan buruk tentang isu rasial dan etnisitas dalam sejarahnya. Bahkan, mayoritas penduduk di sana bukanlah penghuni asli Negeri Paman Sam, melainkan para pendatang dari negeri Eropa. 

Penjajahan besar-besaran hingga perbudakan terus merajalela yang dimulai pada abad 18 hingga 20-an. Untuk menghilangkan jejak buruk tersebut, Hollywood melahirkan persepsi baru warga kulit putih dalam dunia perfilman. 

Persepsi tersebut adalah sebuah narasi yang diciptakan di dalam sebuah film dengan menunjukan orang-orang berkulit putih memiliki peran dan kekuatan yang dapat menyatukan berbagai konflik. 

Alias, menempatkan dirinya sebagai tokoh protagonis dan dilakukan secara berulang-ulang (Jacobs, 2017). Lingkaran ini akan merubah secara perlahan-lahan terhadap anggapan buruk tentang orang-orang kulit putih di Amerika hingga perubahan pola pikir secara 180 derajat yang berbanding terbalik dengan keadaan realitanya, yaitu sejarah kelam isu rasial dan etnis di Amerika Serikat.

ANALISIS

Sejak abad ke-20, industri perfilman Hollywood memiliki kursi khusus bagi aktor-aktor arab dan timur tengah untuk bermain dalam filmnya sebagai karakter antagonis (Noureen & Paracha, 2019). Terbukti dengan dirilisnya salah satu film dari sekian banyak yang dibuat, yaitu film dengan judul "The Black Stallion" yang menggambarkan film tentang petualangan aksi. Dalam film ini menggambarkan beberapa tokoh dengan karakteristik layaknya seorang muslim dari tanah arab yang memiliki peran sebagai seorang pembunuh yang dikirimkan ke wilayah Amerika Serikat. Dari potongan cerita yang diberikan saja sudah memiliki sebuah gambaran buruk tentang keberadaan suatu kelompok untuk menunjukan propagandanya, anti-muslim, melalui pembingkaian yang dibuat melalui latar belakang film (Noureen & Paracha, 2019). Tumbuhnya stigmatisasi orang arab dan sekitarnya "orang-orang terbelakang yang jauh dari budaya barat" merupakan penggambaran kasar secara tidak tertulis oleh sinema Hollywood (Eijaz, 2018). Sekian banyak film serupa telah dibuat oleh Hollywood. 

Namun uniknya, jika diperhatikan bagaimana penggambaran tokoh antagonis dengan latar belakang orang timur tengah berbeda-beda di setiap masanya. Lebih spesifiknya, film-film yang dibuat dari awal abad ke-20 sampai awal abad ke-21 jarang sekali menunjukan pelaku terorisme dengan senjata laras panjang beretnis orang-orang timur tengah. Melainkan seorang dengan karakterisitik yang khas dengan orang-orang kriminal pada umumnya. Selanjutnya pada abad ke-21, industri film Hollywood lebih sering menunjukan sifat-sifat terorisme dalam film kepada para pemeran orang arab ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 

Hal ini dikarenakan, hancurnya gedung Trade World Center di New York, Amerika Serikat yang dilakukan oleh kelompok teroris Al-Qaedda dengan membajak sejumlah pesawat komersial dan mengarahkannya ke gedung tersebut. Setelah peristiwa kelam itu, hampir seluruh media massa di penjuru dunia memberitakan bencana mengerikan itu. Pemberitaan yang begitu masif dan panjang membuat sebagian besar penduduk di sana memiliki rasa ketakutan yang berlebih terhadap ras dan etnis para teroris tersebut. Terlebih lagi kelompok ini mengatasnamakan Islam sebagai dasar pedoman mereka dalam melakukan aksi tersebut. Dampak terbesarnya adalah ketika medai massa sudah menggiring opini dengan narasi pemberitaan yang cenderung memojokan Islam dengan isu-isu negatif dan mengaitkannya dengan terorisme (Yusof, Hassam, Hasan, & Osman, 2013). 

Fenomena yang kebetulan terjadi ini adalah ladang dan kesempatan yang besar untuk lebih menjelekan lagi orang-orang timur tengah melalui dunia perfilman. Alasan pastinya adalah perselisihan yang selalu terjadi dalam realita kehidupan antara Amerika Serikat dengan negara-negara di timur tengah. Dibuatnya media-media seperti ini mengonstuksi dan membangun citra buruk terhadap musuhnya. Dan puncaknya terjadilah kejadian tersebut dan waktu yang pas untuk menggambarkan hal yang lebih buruk lagi di mata masyrakat dunia dengan film. Sebelum terjadinya peristiwa 9 September 2001, pola yang dilakukan oleh Hollywood dalam penggambaran orang-orang timur tengah, arab, dan Islam hampir mirip dengan saat ini. Yaitu, memberikan anggapan kepada penonton seburuk-buruknya terhadap orang-orang ini. Namun, frekuensi yang diciptakan oleh Hollywood untuk membawa citra ini tidak sesering yang dilakukan saat ini. 

Dahulu, penggambaran orang timur tengah dengan frame-nya yang buruk dalam film seburuk-buruknya adalah memerani tokoh antagonis yang jahat dan kelam yang umum dilihat pada sinema perfilman saat ini. Sedangkan hal terrendah-rendahnya adalah seperti perilisan film "Aladdin" pada tahun 1992. Dalam film tersebut, terdapat sebuah kalimat yang mengatakan "from a faraway place, where the caravan camels roam, where they cut off your ear if they don't like your face. It's barbaric, but hey, it's home." Kalimat tersebut mungkin tidak dipahami secara sekilar oleh anak kecil yang menjadi target penonton film tersebut. Bagi orang dewasa, kelimat tersebut menyinggung secara tidak tertulis yang tertuju pada orangorang di timur tengah (Nittle, 2021). 

Secara perlahan, anak-anak yang menonton dengan "joke" seperti pada kalimat di atas akan menumbuhkan sebuah pertanyaan kecil dan tentunya memiliki agapan yang sama walau tingkatannya akan berbeda tergantung bagaimana cara mereka menerjemahkan maksud tersebut. Akhirnya, kelompok Arab Amerika yang tinggal di sana mengecam tindakan yang dilakukan oleh Disney sebagai rumah filmnya dan mengganti keseluruhan lirik yang ada. Pihak Disney meminta maaf dan menjelaskan ikatan mereka adalah keluarga dan mereka peduli dengan anak-anak namun mereka tetap berdalih bahwa tidak ada maksud menjelekkan terhadap suatu kelompok (Shaheen, 2015). Tampaknya, sudah menjadi suatu hal yang wajib jika industri film Hollywood harus memuat hal-hal di atas untuk masuk ke dalam cerita filmnya. Rasanya tanpa ada hal tersebut, penonton akan dibuat cepat bosan dan tidak terpantang karena sudah lumrahnya pola yang sudah tertanam dalam suatu bentuk perfilman. Fenomena ini bisa dikatakan sebagai sebuah trend yang diikuti oleh film-film selanjutnya. Strategi yang digunakan pada film sebelumnya dinilai ampuh untuk menjangkau khalayak umum agar tertarik pada filmnya. 

Tidak heran, jika film kedepannya nanti akan menggunakan format karakter atau penokohan yang begitu mirip dan mudah ditebak karena memiliki patokan yang sama pula di setiap produksinya. Lalu siapa yang memulai tren ini hingga menjadi hal yang umum dibenak telinga masyrakat? Diketahui, film dengan judul "True Lies" tahun 1994 menjadi awalan baru dalam dunia film untuk menempatkan orang-orang berciri fisik arab sebagai pelaku teroris (Eijaz, 2018). Tercatat 380 juta USD berhasil dikumpul dari film ini dengan budget produksi sebesar 120 juta USD. Artinya, keutungan bersih yang didapat sebesar 260 juta USD dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Bagaimana tren ini sulit untuk tidak diikuti apabila hasil yang didapat mencapai tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah pengeluaran produksi film. Lalu terdapat contoh terkenal seperti film "Iron Man" buatan tahun 2008. Film superhero ini menampilkan adegan secara terbuka peran antagonis sebagai kelompok teroris di negara Afghanistan. Secara tersirat memberikan makna dan narasi seolah warga Afghan adalah satu kepala dengan adegan pada film ini. 

Sama seperti film sebelumnya, "Iron Man" berhasil meraup keuntungan sebesar 585,2 juta USD dan sempat menjadi film terlaris sepanjang dekade. Keutungan yang didapat dari film-film tersebut sangat fantastis mengingat jumlah pengeluaran atau budget produksi tidak sampai dari setengah pada saat film itu dibuat. Maka dari itu tidak heran jika kita selalu melihat alur dan cerita yang hampir sama dan tergolong mirip pada setiap film Hollywood, terutama film yang memiliki genre laga aksi. Selain pada faktor ekonomi yang membuat siklus ini tetap terus berjalan, terdapat pula alasan lain salah satunya pengkambinghitaman suatu bentuk atau kelompok untuk menjadi tokoh antagonis pada film layar lebar. 

Penunjukan pemeran terhadap suatu tokoh memberikan pesan perwakilan yang dimiliki oleh aktor tersebut terhadap anggota kelompoknya. Jika hal ini harus dirubah, maka tentunya akan sulit menemukan kelompok yang pas dengan background yang buruk dan hancur sesuai dengan harapan sutradara tentang tokoh dalam film nanti. Tentunya, penunjukan tokoh antagonis ini akan merusak suatu kelompok dengan citranya yang sudah ada. Kelompok lain tidak ingin citra dalam kelompoknya rusak seketika hanya karena dari sebuah film. Perlu proses yang panjang dalam menentukan pemeran yang cocok untuk tampil sebagai tokoh paling dibenci. 

Maka jalan yang paling mudah adalah memilih kelompok yang sudah jelek citranya di mata masyrakat, yaitu yang sudah terjadi saat ini adalah orang timur tengah dengan karakter terorismenya (Eijaz, 2018). Ciri tersebut sudah tertanam pada pikiran setiap orang. karena giatnya konsumsi tontonan yang mengandung "pencucian" yang diberikan oleh suatu media. Dengan kata lain, propaganda yang dilakukan oleh Hollywood melalui dunia sinema ampuh dalam merubah pola pikir manusia dengan menggunakan film secara tersirat (Kubrak, 2020). 

Sebagai penonton setia film layar lebar, tentunya kita sering kali tidak merasakan akibat apa yang didapat setelah menonton film tersebut. Terutama jika film tersebut bersinggungan dengan isu rasial dan etnis. Menyadari bahwa bukan dari bagian yang dirasakan membuat sebagian besar orang lupa akan dampak yang biasa didapat akibat film tersebut. Salah satu hal pentingnya adalah karena mereka tidak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh kelompok yang diwakilkan di dalam film tersebut. Perwakilan kelompok ini adalah tanda lahirnya sebuah isu stereotip terhadap sesuatu. Apalagi dilakukan secara berulang kali dan terus menerus. 

Persamaan perputaran yang monoton menimbulkan persepsi baru terhadap hal yang diperoleh. Mereka menganggap bahwa hal tersebut memang benar adanya karena selalu diangkat dalam sebuah film. Salah satu anggapan tersebut lahir dari dunia sinema yang memiliki ciri penokohan dan perwatakan terhadap suatu peran. Karena dirasa tokoh tersebut sudah melekat dengan perannya, sehingga memicu anggapan baru secara masif yang didukung oleh media konvensional lainnya seperti berita, iklan, acara televisi, dan lainnya. Lalu efek samping yang timbul dari fenomena ini adalah rasisme berkepanjangan. Sebuah film dibuat sekali namun memiliki umur yang panjang atau mungkin tidak memiliki akhir. Perjalanan yang mulus tiada akhir ini dapat dilihat oleh generasi-generasi berikutnya. 

Isi dari sebuah film sudah paten dan tidak dapat dirubah. Jika di masa mendatang nanti rasisme akan terus berjalan. Maka salah satu sebabnya adalah film yang memojokan suatu kelompok dalam ceritanya dan dilakuka berulang kali pada film berikutnya. Perilaku rasis yang dirasakan oleh kaum tersebut akan mendapatkan sebuah perilaku yang "spesial". Dengan kata lain, kelompok akan mendapatkan sebuah perilaku berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya. Biasanya, perilaku "istimewa" tersebut berupa bentuk pengejekan, pengecualian, pengucilan, perampasan, dan penyakit sosial yang tumbuh akibat dari siklus tersebut dan mendorong mereka untuk bersifat general terhadap lingkungannya (Aronson, 2004).

 Padahal, informasi yang mereka terima melalui film belum tentu benar adanya dan tidak bisa dipukul secara merata karena persamaan anggota kelompok. Walaupun begitu, peran media yang kuat di masyrakat dapat dengan mudah mengutak-atik segala hal sesuai dengan tujuannya. Penggambaran industri film Hollywood cocok rasanya jika disandingkan dengan seekor anjing yang menjaga majikannya. Artinya, Hollywood memiliki peran proteksi dalam menjaga tujuan propaganda mereka untuk mencapai keuntungan yang dibuatnya. Mereka tidak peduli bagaimana orang-orang dengan kalangan bawah merasakan kerugian-kerugian tersebut. Hal terpenting adalah tujuan yang ingin dicapai dapat dilakukan apapun caranya. Selain dari dampak pada kaum yang diwakilkan di dalam sebuah film. 

Para penonton film juga memiliki kerugian akibat propaganda yang dibuat oleh Hollywood. Secara tidak langsung, para penonton akan memiliki sikap menormalisasikan hal tersebut dan memiliki anggapan bahwa hal tersebut benar dan normal adanya. Alias, pencucian otak yang tidak disadari oleh penggemarnya. Lalu dampak berikutnya adalah pembodohan yang tidak aware ini akan merubah persepsi seseorang. Hal ini akan timbul terjadinya pergeseran kehidupanvantara dunia realita dan dunia dua dimensi dengan tujuan terselubung walaupun kedua bentuk tersebut sangat berbeda (Kubrak, 2020). 

Namun, akan lebih mudah diterima jika informasi disampaikan semenarik mungkin dan semudah mungkin. Penggunaan media film sebagai landasan tujuan Hollywood adalah jalan terampuh yang dapat dilalui. Bagaimana tidak, fenomena Islamophobia yang sudah terjangkit ribuan orang di seluruh dunia merubah tatanan kehidupan dalam bermasyarakat. Masyrakat dunia menjadi takut terhadap orang yang memiliki ciri seperti teroris pada film-film. Berpaikan gamis hitam atau putih, memaikai sorban dengan tekstur caturnya yang berwarna merah dan putih, menutupi wajah hingga hanya mata yang terlihat, dan bahkan sebuah kalimat "Allahuakbar" yang paling ditakuti.

 Dampak-dampak tersebut akan sulit untuk dihilangkan di dalam benak seseorang, karena sudah tertanam dengan dalam persepsi tersebut sehingga akan sulit untuk mengembalikannya ke dalam bentuk semula. Untuk itu, cara yang ampuh untuk menghindari hal-hal tersebut adalah melihat perspektif lain yang tidak kita rasakan. Dengan melihat sudut pandang baru, otomatis kita akan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain dengan perilaku yang berbeda. Sehingga akan tercipta sebuah perilaku peduli sesama. Maka dari itu, buatlah sebuah gerakan baru dalam mengonsumsi sesuatu untuk tidak melihat hal hanya dari sebuah sudut pandang saja. Namun, pahami sudut pandang lainnya agar kita tidak dapat "disetir" dalam melakukan sesuatu.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun