Ini ceritaku dibesarkan oleh kedua orangtua yang merupakan seorang pembisnis. Hmm ... terkadang saya berpikir, saya dan kedua orangtua saya mempunyai kegemaran berbeda. Mereka suka sekali dunia bisnis sedangkan saya suka sekali dunia digital kreatif. Tentu bertolak belakang.
Dimulai awal tahun 2010 awalnya, ayah saya merintisnya di rumah. Namun, lama kelamaan bisnis tersebut berkembang semakin besar hingga tak mampu ditampung di rumah. Akhirnya ayah saya membeli ruko.Â
Ruko tersebut membuka counter (jual pulsa), berubah menjadi kantor pos, dan berubah lagi menjadi kedai sate. Hingga akhirnya, orangtuaku menutup semua usahanya, dan pindah lah kami ke kampung halaman. Disaat tiga usaha tersebut jalan, orangtua ku banyak merekrut karyawan alias pegawai untuk membantu pekerjaannya.
Saya jadi berteman akrab dengan pegawai. Banyak cerita di counter yang sayang jika harus dilupakan. Sekarang apa kabar kalian semua?
Bisnis kami bukannya bangkrut. Tetapi, orangtua ku ingin sekali kembali ke kampung halaman. Awal kepindahan kami, ayah harus pindah lagi ke ibu kota untuk bekerja. Selama dua tahun lamanya, akhirnya ayahku kembali dan membuka usaha nya di kampung. Sekarang kami menyewa sebuah kios kecil di pasar.
1. Bisnis bukan apa yang kita dapatkan, tetapi bagaimana cara membantu orang
Sejak dulu, ayah saya selalu merekrut orang-orang untuk dijadikan karyawan dengan syarat jujur. Sudah pernah ada hampir lima orang karyawan dalam bisnisnya. Awalnya hanya satu, lalu berkembang menjadi lima.
Ayah pernah berkata "Bisnis itu membantu orang-orang yang belum punya kerja. Dengan begitu, kamu bisa memperkerjankan mereka. Kamu bakal jadi bosnya. Tapi jadilah bos yang baik."
Itu yang membuat saya terpana. Membantu banyak pengangguran agar segera punya pekerjaan. Pembisnislah yang menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan begitu, kita tidak hanya berpikir bagaimana cara mencari kerja. Justrus pembisnis berpikir, bagaimana menciptakan lapangan kerja. Seperti itu lha pola pikir ayah saya.
2. Melihat peluang sebelum membuka bisnis