Mohon tunggu...
sekar A
sekar A Mohon Tunggu... Penulis - pemimpi

Active

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Culture Shock yang Saya Alami Ketika Pindah

21 Desember 2020   08:49 Diperbarui: 21 Desember 2020   09:06 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: Unsplash photo by Ifan Bima)

Culture Shock atau biasa disebut dengan gegar budaya sering dialami oleh para 'petualang'. Istilah ini hanya biasa dialami apabila kita pergi ke suatu tempat yang jauh dari rumah kita atau lingkungan, ke tempat baru yang akan kita kunjungi.

Itu dikarenakan lingkungan kita dengan lingkungan baru, terasa berbeda. Diri kita yang terkejut atau kebingungan dengan budaya asli tempat baru bisa dikatakan Culture Shock.

Berikut ini macam-macam pengalaman culture shock yang saya alami ketika berpindah dari ibu kota ke kampung halaman.

1. Tidur malam bangun sebelum subuh

Woah, ini yang bikin saya benar-benar terkejut. Bagaimana tidak, kakek saya sendiri tidur pada jam 11 malam dan bangun sekitar jam empat pagi. Bahkan teman saya sendiri saja sampai tidak tidur seharian penuh alias begadang. Tidak migren kah mereka?

Hal ini sungguh biasa bagi mereka, terkadang kalau hari panen tiba, mereka memanen padi sekitar jam dua malam. Bahkan pasar saja sudah ramai sebelum matahari terbit. Saya saja tidur paling malam jam 10 dan bangun jam 5 pagi. Masa kalah sama mereka. Mereka sanggup tidur 4-6 jam pada malam hari.

Waktu tidur yang singkat di malam hari mereka, sebenarnya sudah terbayar ketika mereka tidur siang. Maka dari itu, terkadang siang hari yang panas jalanan desa sepi layaknya tidak berpenghuni.

2. Ngalor, ngetan, ngidul, ngulon (Utara, Timur, Selatan, Barat)

Tersesat di tengah jalan? Siap-siap kamu akan bertemu dengan keempat kosakata ini. Penunjuk jalan paling handal yang mereka miliki. Kalau di ibu kota, jika tersesat bisa mengandalkan maps atau bisa bertanya kepada orang sekitar.

Kalau di tempat saya dulu (ibu kota), jika tersesat, bertanya pada orang sekitar tentu diberi penjelas. "Tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan lampu merah, nanti belok kanan. Tidak jauh dari situ, ada patung kuda. Nah, di situ tempatnya." Kira-kira penjelasannya seperti ini. Sudah jelaskan?

Mau mengandalkan maps di sini? Jangan harap. Susah sinyal sudah pasti. Bertanya kepada orang? Hapalkan keempat kosakata di atas. "Sampeyan lurus sampe perempatan, menggok ngalor, bar kono ana lampu merah, sampeyan ngidul. Toko ne ngadep ngulon." (Anda lurus sampe perempatan, belok ke arah utara, habis itu ada lampu merah, Anda pergi ke arah selatan. Toko nya menghadap Barat)

"Hehehe, ngalor, ngidul itu apa mas?!" teriak saya dalam hati ketika bertanya pada seseorang kala itu. Saya hanya bisa diam seribu bahasa saat itu sambil tersenyum cengir tidak paham.

3. Berangkat study tour jam 12 malam

Ini masih ada kaitannya dengan poin pertama. Tak heran jika anak-anak SMP sampai SMA berangkat study tour tengah malam. Itu adalah jam dimana saya tidur dengan pulas-pulasnya. Kalau di ibu kota, berangkat study tour dilakukan pada pagi hari, berbeda dengan yang di sini, tengah malam.

Saya sendiri belum pernah berangkat study tour tengah malam begitu. Apa mereka tidak takut ya, berangkat malam melewati persawahan gelap demi mencapai ke sekolah. Setelah itu berangkat. Sampai di sana pada pagi hari setelah matahari terbit.

Saya sendiri diceritakan seperti itu. Tidak bisa bayangin kalau saya harus berangkat tengah malam. Padahal jam segitu saya sedang pulas tidur.

4. Sebagian kecil masyarakat masih percaya hal mistis

Jangan heran jika mbah-mbah tua mengatakan padamu jangan melakukan ini dan itu. Jangan pergi ke sana di hari tertentu. Masyarakat sini masih percaya tentang karma-karma nenek moyang mereka.

Pernah suatu ketika, saya sedang naik motor melewati jembatan. Teman saya yang berada di depan membunyikan klakson di tengah-tengah jembatan. Saya yang heran, kenapa membunyikan klakson di tengah jalan yang lenggang.

Teman saya-pun berkata "Kita minta izin sama 'mahluk' sana buat numpang lewat."

Saya pun hanya nyengir-nyengir mengiyakannya. Ya walaupun saya sedikit tidak percaya, saya akan menghormati dia. Daripada kena karma.

5. Masyarakat tahu, kalau kamu bukan dari daerah sini

Beda daerah, beda bahasa, dan beda logat. Saya sering ditanya darimana asalnya. Saya sudah tidak heran jika ada orang yang bertanya seperti itu. Mulai dari teman sekelas, tukang tambal ban, tukang es kelapa, bahkan tukang sayur keliling.

Lidah saya dan lidah mereka tentu berbeda jelas. Mereka memiliki logat kental, sedangkan saya tidak seperti logat mereka.

Pernah suatu ketika, saya membeli jajanan keliling di pinggir jalan. Saya memerhatikan pelangga lain berbicara kata 'sumer' (pedas level sedang) kepada abang penjual. Waktu itu, saya sudah tahu apa kata 'sumer' di sini. Ketika giliran saya, cobalah saya berkata 'sumer' pada abang penjual. Namun, si Abang ini malah bingung. "Sumer, opo kui?"

Aduhai, saya langsung tepok jidat. Padahal tidak berapa lama ada pelanggan yang berkata 'sumer'. Duh, logat saya kayaknya kurang. 

Inilah beberapa pengalaman culture shock saya. Ada beberapa saya anggap lucu, terutama poin lima. Hahaha

Nah itu lah beberapa Culture Shock yang pernah saya alami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun