Politik dinasti memang bukan barang baru di Indonesia, sejarahnya bisa ditarik sejak masa kerajaan, dimana jabatan diturunkan pada anak atau sanak saudara. Praktik ini terus terbawa meski kerajaan-kerajaan Indonesia sudah punah.Â
Orang-orang yang memiliki darah bangsawan atau memiliki hubungan dengan pemimpin sebelumnya dianggap mampu membawa kejayaan yang sama seperti pendahulunya. Padahal, pada praktiknya belum tentu berjalan demikian. Hal-hal seperti ini terus berlanjut hingga masa demokrasi modern seperti sekarang.
Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.Â
Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.
Jadi praktik politik dinasti terus berkembang mengikuti zaman, dari yang semula pewarisan ditunjuk secara lansung pada masa kerajaan, kini di masa demokrasi modern pencalonan menggunakan langkah prosedural (pilkada) melalui sistem partai. Tradisi ini sudah begitu melekat dan mengakar di masyarakat, oleh sebab itu orang-orang yang memiliki hubungan dengan penguasa sebelumnya dianggap lebih bisa memimpin dan memiliki daya Tarik tersendiri bagi masyarakat.
Pandangan Hukum Dan Dampak Politik Dinasti
Jika merujuk pada hukum di Indonesia, sampai saat ini tidak ada aturan yang melarang atau membatasi secara khusus politik dinasti ini. Salah satu aturan yang pernah dibuat adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada terkait larangan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana.Â
Sebelum dibatalkan, pasal itu melarang sosok yang memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Mereka boleh maju setelah melewati masa jeda satu kali masa jabatan. Pasal tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai membatasi hak politik warga negara untuk dipilih sebagai kepala daerah.
Dengan adanya putusan MK itu, baik calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana dapat maju dalam pilkada tanpa harus menunggu jeda satu periode setelah petahana tidak menjabat.
Politik dinasti mungkin memang tidak melanggar aturan hukum, tetapi dalam hukum yang harus diperhatikan bukan hanya larangannya saja, ada yang disebut sebagai etika hukum sebagai nilai moral dalam menjalankan hukum.Â
Melakukan praktik politik dinasti jelas tidak etis di mata hukum, karena pada praktiknya sangat rawan dengan konflik kepentingan dan potensi nepotisme serta korupsi. Kekuasaan yang dipegang pun cenderung menjadi absolut, dimana pemimpin yang menjabat ingin terus berkuasa dan hanya mau menurunkan jabatannya kepada orang yang memiliki hubungan dengannya.