Dulu saya sangat bersemangat dalam mengikuti acara reuni. Tak jarang saya sendiri yang menjadi inisiator diadakannya program reuni. Dalam reuni saya bisa bertemu dengan teman-teman lawas. Bertemu teman-teman sekolah, banyak yang sudah berubah, ada juga yang, anggaplah, sudah sukses, walaupun saya masih tidak tahu, dari mana ukuran sukses itu didapatkan."Wah, udah sukses ya kamu sekarang!" Begitu kira-kira ungkapan yang sering terlontar di kala reuni sedang berlangsung.
Teman sekolah saya ada yang jadi karyawan, ada yang jadi pengusaha, ada yang sudah bermobil, ada yang masih pake motor, ada yang sudah punya rumah, ada yang masih ngontrak, ada yang sudah menikah dan punya anak, ada yang masih melajang dan tidak punya anak. Ada yang pemikirannya sudah berkembang sejalan dengan usianya, ada juga yang pemikirannya masih jumud; tidak berkembang. Dari dulu sampai sekarang ya begitu-begitu saja.
Dari gambaran yang saya sebutkan di atas, dapat ditebak siapa yang dikatakan sukses: paling tidak, dia yang sukses adalah dia yang sudah menikah, sudah bekerja, dan bermobil. Selain daripada itu, maka dia belum sukses. Ia yang lajang, tidak bekerja, dan hanya punya motor, apalagi motornya masih karburator dan mesinnya di bawah 150 cc, siap-siap saja dihakimi orang gagal. Tidak sukses.
Lihatlah, Bung! ukuran sukses atau tidaknya seseorang sekarang dengan mudah diukur via materi. Ukuran sukses dinilai dari yang tampak secara lahiriah. Dan pusat pembahasan sukses atau tidaknya seseorang adalah di saat kegiatan yang bernama reuni itu sedang berlangsung. Tak jarang di sana terlontar juga pertanyaan yang jawabannya tidak sederhana, "Kok gak nikah-nikah?"
Itu tadi cerita tentang reuni sekolah. Sekarang bergeser ke acara reuni pesantren. Di sini ukuran suksesnya sedikit berbeda. Ukuran sukses seorang santri, sejauh yang saya lihat dan alami, adalah ketika sekeluarnya seorang santri dari pesantren dia mendirikan pesantren, mengisi majelis taklim, jadwal ceramahnya padat, rokoknya sudah dji sam soe dan menjadi sesepuh kampung.
Ukuran materi memang tidak terlalu dinilai bagi seorang santri. Malah, walaupun materi ada, tapi nilai ke-ustadz-annya nihil, dalam arti dia tidak jadi sesepuh kampung, gak sukses katanya. Tapi ada yang masih bisa dimaafkan, walaupun dia gak jadi ustadz, tapi ketika dia menikahi anaknya Pak Kyai, masih bisa dimaafkan. Masih boleh dibilang sukses, karena kalau sudah menikah dengan anak Kyai, mau tidak mau bakal dipasrahi pesantren untuk dikelola. Ya ujung-ujungnya tetap jadi ustadz juga.
Sampai reuni berikutnya berulang. Reuni sekolah berulang. Reuni pesantren berulang. Pembahasannya masih itu-itu saja, tentang kesuksesan. Walaupun ukurannya berbeda, yang satu material banget, yang satu kedudukan banget. Tapi esensinya sama, keduanya berbicara tentang pencapaian yang sudah diraih. Ketika pencapaian versi reuni sekolah dan reuni pesantren tidak tercapai, maka mau tidak mau, kita harus siap disebut pribadi yang gagal. Karena stigma inilah, mereka yang dihakimi 'gagal', mulai merasa enggan untuk hadir dalam acara reuni berikutnya.
Tiga tahun ke belakang, persepsi saya tentang gagal dan sukses sudah jauh berubah. Pertama, ukuran kesuksesan itu sendiri sudah bias. Tergantung siapa yang mengatakan. Kedua, kalau pun sukses dan gagal itu ada, saya tegaskan bahwa setiap orang tidak akan pernah mengalami kondisi seratus persen sukses atau seratus persen gagal.
Setiap orang pasti pernah mengalami kondisi sukses dan gagal. Atau secara ekstrim saya katakan bahwa bisa jadi seseorang mengalami kondisi gagal dan sukses sekaligus. Jika dia sukses menikah, berarti dia gagal melajang. Jika dia sukses melajang, berarti dia gagal menikah. Jika dia sukses bekerja, berarti dia gagal menganggur. jika dia sukses menganggur, maka dia gagal bekerja. Jika saya gagal dapetin kamu, maka saya sukses tidak dapetin kamu. Jika saya sukses dapetin kamu, berarti orang lain gagal dapetin saya.
Ayolah, Bung, kita jangan saklek dalam menilai. Tidak bisa kita menghakimi seseorang gagal atau sukses. Lagipula, bisa jadi ukuran sukses kita berbeda dengan dia. Bisa jadi ukuran sukses kita adalah ketika kita mendapatkan materi melimpah, bagi dia, justru ukuran sukses itu adalah ketika berbagi materi yang melimpah. Bisa jadi bagi kita sukses itu adalah memperkaya diri, bagi dia dia justeru sukses itu adalah ketika bisa meng-kaya-kan orang lain.
Sepanjang reuni masih berputar dalam membicarakan kesuksesan, saya kira, saya akan malas dan berjanji tidak kan pernah hadir dalam pertemuan. Kecuali di sana ada pertukaran pikiran, pertambahan ilmu dan pemahaman. Tidak sekedar pamer properti dan pencapaian. Atau mungkin, akan lebih keren, ketika ada projek dan misi yang digarap sekelarnya acara reuni, semisal bikin yayasan amal yang berguna bagi kemanusiaan, uh, mantap pisan kayanya. Tapi ini baru sebatas khayalan. Kadang saya juga masih terjebak untuk berbicara pencapaian. Soal pencapaian itu berguna bagi lingkungan, seringkali masih terlupakan.[]