"Assalamu'alaykum, minal aidzin walfaidzin ya" ucapku kepadanya.Â
"waalaikumsalam. eh iya , mohon maaf lahir batin ya" jawabnya sambil bersalaman denganku.Â
Senyum yang diberikan begitu melemahkan sekaligus menenangkan. Itu lah kalimat pertama yang terucap untuknya. Sekaligus senyum pertamanya untukku. Begitu manis. Â Lalu, waktu membawa kami kepada keakraban. Semakin nyaman dan semakin nyaman. Bagiku. Entah baginya seperti apa.
Walau banyak perbedaan, tapi percakapan kami selalu cair dan menyenangkan. Lelucon kami selalu menghasilkan tawa yang selalu memberi hiburan yang mendalam. Mungkin sebentar lagi logika dan hati ini sepakat menyatakan bahwa apa yang ku alami memang benar -- benar cinta.Â
Ya benar saja, pada akhirnya aku menyadari bahwa ini memang cinta. Tapi terlambat. Manusia itu telah pergi. Pergi entah kemana untuk meniti masa depannya. Hanya selembar kenang -- kenangan yang sempat ku berikan untuknya. Ku harap manusia itu menyimpannya.
Itulah cinta, tak pernah kita kehendaki kehadirannya. Datang begitu saja tanpa alasan yang jelas dan pergi seiring berjalannya waktu serta ditakdirkan suatu saat akan berakhir. Waktulah kekangannya. Waktulah pembatasnya. Tapi cinta tak selalu bicara tentang jodoh pula.
Seluruh kehidupan ini tak lepas dari yang namanya cinta. Kemanusiaan, keadilan, hingga kesejahteraan semua berlandaskan atas cinta, bukan sekadar kebenaran yang diagung-agungkan.
Percayalah cinta selalu membawa pada ketenangan dan kebahagiaan. Ya, terutama cinta terhadap Allah, Sang pencipta dunia dan seisinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H