Tidak deras hujan bulan juni
manuskrip perjanjian antara gerimis dan rintik,
saling mengikat ingatan kecil
belumlah gigil pada puncak
apa piramida cinta sudah lupa akan diri!
Sesiang tadi hanya sempat mendulang pertemuan, udara gerah kopi saling adu gelisah
sepintas kampus biru mengadu kerinduan
ketika kita sama-sama titip absen lari dari sks dosen. Payung hujan si dia masih gerayangi harga tubuhnya, senilai uang makan satu minggu.
Aku lanjutkan dengan wahyu santri pondok gus mus, ia bertanya tentang moral apa bisa terbentuk tanpa agama: tidak jawabku.
Baginya, tetap mampu analogi moral terbentuk tanpa agama.
"Merasa menyakini ialah kemurtadan sesungguhnya"
Celotehnya.
Yang kuingat dari cuplikan teater para santri itu,
demikian:
Ah, bengal si kurus pantomim iblis yang dimainkan santri kyai bisri.
Aku suka cuplikan kekatanya, kian.
Kondom selalu kukunyah dalam pertasbihan,
sakral lampu Apa kau lihat!
cari dan hidupkan bohlam lampu
matahari kecil warisan dari adam
panjat saja pohon nyiur hingga atap langit
buah kelapa hijau tumbuh lebat bersamanya
anggap ini bukan prosa ataupun puisi
Dinda, ketika itu masih belia lima belas tahun
dengan dada layaknya bunga mawar dewasa
kuajarkan mesra dari ranjang revolusi
ia angguk setuju dari setiap tubuh yang tercumbu
larik ini bukan lompatan waktu
karena masa lalu kian melaju sebagai tugu para sajak bujangga
lantas apa itu masa depan: ia sang maut.
10-Juni-2024
Pondok Gus Mus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H