Sejarahku tak lagi mengingat
para raja-raja
membuang jauh hikayat perjalanan wali
bukan sebab itu peziarah dibudayakan
kehidupan pola samsara
jangan cekoki kembali ruh reinkarnasi
layang sukma tetap makna kendali
Sejarahku tak lagi merapal doa mantra
pembangunan akal budi
jauh dari kulit kulit filsafat
aku dituduh makar sebab buddaya
saint pun berbicara rumusan quantum
bagai puisi yang hilang dalam struktur batin
Sejarahku bukan lagi pembicaraan asia raya
mein kampf telah berpulang kepada pemiliknya
tetapi marxis pun hilang dari keheningannya
romansa mahabaratha terbakar akibat letusan semeru
para orang tua petuak berhasil mencabut mahameru dari akarnya
namun sepuluh pemuda terpenjara di goa al-kahfi
seperti katamu wahai bung besar
Sejarahku bukan lagi dialektika megalitikum nusantara
bebijian tasbih ialah perjalanan idealis
teruntai dari benang merah kesenian
kunti pun kini telah mandul tak beranak-pinak
bulan madu shinta disaksikan genangan darah
para ksatria alengka bernafaskan wisnu
arjuna sudah keriput termakan jubah dari para penafsir ayat-ayat suci
elizabeth kini sibuk membakar api unggun
sebab dinginnya surga bagai atlantik
Sejarahku berjalan ikuti arus ombak
membendung setiap aliran mata sungai
kerap melawan arus tanpa merusak lajunya
cinta begitu perkasa dengan wajah anggun
leluhur moyangmu hanya pekerti
jadi benar sang khidir membakar desa
melubangi prau agar tenggelam
ada dokumen tertinggal dalam lambung kapal
jangan kau bertanya padaku: musa
darah bayi ini simbol akhir dari kutukan karma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H