Mohon tunggu...
rajwa salsabila
rajwa salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa bahasa dan sastra yang sedang belajar mendalami peminatannya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesedihan tak Berdaya pada Cerpen Malu karya Putu Wijaya

21 Desember 2023   20:06 Diperbarui: 21 Desember 2023   20:19 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Cerita pendek atau cerpen adalah prosa yang isi ceritanya dibuat-buat atau tidak nyata. Cerpen lebih singkat dibandingkan dengan karya prosa fiksi lain seperti novelet dan novel.  Pembacaan cerpen biasanya akan selesai dalam sekali duduk. Lalu, cerpen juga hanya berfokus dengan satu kejadian ataupun satu permasalahan.

Sastrawan Indonesia pun mengembangkan karyanya melalui cerpen. Tak sedikit para sastrawan Indonesia menuangkan gagasannya dalam bentuk cerpen. Salah satu sastrawan terkenal akan kepiawaiannya dalam menulis cerpen adalah Putu Wijaya. Putu Wijaya merupakan seorang sastra yang berasal dari Tabanan, Bali. Beliau lahir pada tanggal 11 April 1944. Putu Wijaya adalah seorang sastrawan Indonesia yang produktif dalam melahirkan karya-karyanya. Cerpen berjudul Malu merupakan salah satu karyanya yang dimuat dalam Kompas pada 9 Juli 2023.

Cerpen Malu diawali oleh tokoh "saya" menemukan sekotak perhiasan yang tergeletak di pinggir jalan. Lalu, tokoh "saya" ini diadili sebagai seorang maling karena telah mengambil kotak tersebut. Setelah membela dirinya yang tak salah, tokoh "saya" tetap divonis penjara oleh pengadilan. Tak berapa lama kemudian, sang istri berkunjung ke lapas tokoh "saya". Sang istri meminta sang suami agar mengizinkan dia untuk menikah kembali karena tidak ada yang menafkahi. Dengan berat hati, tokoh saya menyetujui hal tersebut. Tiga tahun setelahnya, tokoh "saya" dibebaskan dari penjara. Tokoh "saya" merasa dunia luar seperti neraka yang akhirnya meminta kembali ditahan, tetapi ditolak mentah-mentah. Kehidupan tokoh "saya" yang berantakan pun berubah ketika ada tawaran menjadi kuli di sebuah proyek galian. Kariernya pun melejit hingga kini ia menjadi mandor kuli-kuli yang ada dibawahnya. Suatu hari, seorang kuli menemukan tentengan plastik berisi dua kotak nasi padang. Para kuli pun langsung berebutan. Tak lama kemudian, muncul seorang lelaki parlente yang menuduh mereka semua mengambil tentengan plastik miliknya dari dalam mobil. Tokoh "saya" pun tak terima karena anak buahnya menemukannya tergeletak di pinggir jalan. Lelaki parlente pun melaporkannya ke polisi setempat walaupun sudah diganti biaya kerugian nasi tersebut oleh tokoh "saya". Alhasil lima anak buahnya ditahan. Anak buah lainnya pun mengajak tokoh "saya" untuk membebaskan teman mereka yang tidak bersalah, tetapi tokoh saya menolak. Namun, ada seseorang yang berbicara kepadanya sehingga tokoh saya pun kembali berpikir. Akhirnya, tokoh saya pegi ke kantor polisi, tetapi anak buahnya sudah dibebaskan karena tuntutannya telah dicabut. Beberapa hari setelah kejadian itu, tokoh saya didatangi oleh seorang youtuber yang berbicara padanya malam itu. Ternyata yang memaksa pencabutan tuntutan adalah sang youtuber tersebut.

Dari sinopsis singkat tersebut, dapat diketahui bahwa adanya kesenjangan sosial yang dialami oleh tokoh "saya". Hal ini dikarenakan tokoh "saya" tidak punya kuasa untuk membela diri sendiri. Selain itu, tokoh "saya" juga korban dari pelabelan yang diberi oleh masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa tokoh "saya" pasti mengambil sekotak perhiasan tersebut karena tergiur oleh perhiasan tersebut. Kesenjangan ini tampak jelas ketika tokoh "saya" berada di pengadilan. Tokoh "saya" membela sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa dirinya tak bersalah. Tokoh "saya" yakin bahwa dia memungut sekotak perhiasan yang berada di pinggir jalan, bukan mengambil milik orang lain.

Kesenjangan sosial dalam cerita tersebut juga tampak setelah tokoh "saya" menjadi mandor kuli-kuli jalanan. Salah satu anak buah miliknya menemukan tentengan plastik berisi nasi padang di pinggir jalan. Anak buah itu pun merasa beruntung menemukan tentengan plastik tersebut. Hal itu menjadi bahan rebutan bersama anak buahnya yang lain. Namun, tak lama kemudian datanglah seorang lelaki parlente yang menuduh mereka mengambilnya dari mobil miliknya. Tak terima dengan tuduhan yang disampaikan oleh sang lelaki parlente tersebut, tokoh "saya" pun membela anak buahnya. Lelaki parlente tak mendengar dan tak menerima alasan apapun. Bahkan tokoh "saya" telah menawarkan solusi menggantinya dengan uang, tetapi tetap tak diterima. Lelaki parlente tersebut hanya ingin membawa kasus tersebut ke pengadilan. Tokoh "saya" pun meratapi nasib orang miskin yang rentan. Tokoh "saya" beranggapan bahwa menjadi masyarakat miskin saja sudah menjadi kesalahan.

Dua paragraf sebelumnya menunjukkan hubungan yang terjadi antara kesenjangan sosial dengan cerpen itu sendiri. Sebenarnya, cerpen tersebut sangat sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Kesenjangan sosial merupakan sebuah masalah yang sangat sulit dipecahkan. Masyarakat kelas atas yang memiliki kekayaan akan semakin kaya dan masyarakat kelas bawah yang miskin akan semakin miskin. Bagi masyarakat kelas atas, hal ini pastinya sangat surga. Namun, lain halnya dengan masyarakat bawah yang terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung.

Kesenjangan sosial juga menimbulkan sebuah masalah lain. Fenomena pelabelan oleh masyarakat adalah hal yang tak sulit ditemukan di berbagai kondisi masyarakat saat ini. Masyarakat kelas bawah sangat dirugikan oleh fenomena ini. Hal ini dikarenakan masyarakat kelas bawah pasti diberi label yang sangat buruk seperti halnya di cerpen tersebut. Masyarakat kelas bawah tak memiliki banyak hak ataupun kuasa untuk membela dirinya. Adanya pelabelan tersebut pastinya membuat masyarakat kelas bawah dianggap sebelah mata oleh masyarakat lainnya terutama masyarakat kelas atas 

Kesenjangan sosial pun terjadi juga yang diawali dengan perbedaan pendapatan antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Sepenggal cerpen tersebut dengan kedatangan seorang youtuber yang kemudian berbicara dengan tokoh "saya". Sang youtuber pun membandingkan pendapatan antara dirinya dengan tokoh "saya". Tokoh "saya" bekerja mati-matian selama 10 tahun dan tak mendapatkan apa-apa, hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun, lain halnya dengan youtuber tersebut yang hanya bekerja selama 3 tahun sudah mendapatkan mobil Ferrari. Pendapatan seseorang juga berpengaruh terhadap kesempatan yang dimiliki. Masyarakat kelas atas pastinya memiliki kesempatan yang lebih daripada masyarakat kelas bawah. Sang youtuber pastinya memiliki kesempatan yang lebih besar dengan contoh mengupgrade alat-alatnya ataupun pemilihan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Hal ini tidak berlaku tentunya untuk tokoh "saya" yang hanya seorang mandor kuli-kuli jalanan. Apalagi tokoh "saya" merupakan mantan narapidana yang pastinya pemilihan lapangan pekerjaan baginya hanya sedikit.

Selain kesenjangan sosial, cerpen ini juga menyindir para pengejar konten. Dalam sepenggal cerpen, seorang youtuber mendatangi tokoh "saya" dengan seorang kameramen yang menyorot tokoh "saya". Sang youtuber juga merekam kejadian ketika anak buahnya menemukan tentengan plastik hingga mendorong tokoh "saya" untuk melakukan sebuah tindakan dengan melepas ataupun membela anak buahnya di kantor polisi. Semua ini dilakukan oleh sang youtuber untuk mengejar target konten dan membuat sebuah konten yang menarik agar viral di media sosial.

Di era digital ini, banyak ditemukan watak seperti sang youtuber. Apapun akan dijadikan konten demi meraup cuan dan mengejar kata "viral". Apalagi target yang dijadikan konten biasanya dari masyarakat kelas bawah tanpa meminta izin yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan konten kemanusiaan biasanya dapat mengangkat konten tersebut dengan cepat dan menyebar di kalangan media sosial. Salah satu konten marak yang hadir saat ini adalah konten bersyukur. Konten ini biasanya menyorot orang lain yang berada di hiruk pikuk masyarakat tanpa meminta izinnya terlebih dahulu. 

Selanjutnya, kesenjangan sosial dalam pendapatan juga nampak ketika sang istri berkunjung ke lapas tokoh "saya". Sang istri meminta izin kepada suami untuk menikah kembali dengan pria pilihannya dan mampu untuk mencukupi kehidupan sehari-hari sang istri bersama anak-anaknya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan tokoh "saya" sebagai suami dalam memenuhi nafkah keluarganya. Kejadian ini juga merupakan kejadian sebab-akibat yang timbul dari masuknya tokoh "saya" ke dalam penjara tanpa ada kesalahan yang pasti.

Ketika keluar dari penjara, tokoh "saya" tidak memiliki apapun. Kata "gelandangan" telah menjadi bagian dari hidupnya mulai saat itu. Tokoh "saya" harus merasa puas dengan istirahat di emperan toko. Tiada hari tanpa kejar-kejaran dengan petugas kebersihan kota. Kehidupannya kini menjadi satu padu dengan pinggir jalan.

Bagi mereka yang tak punya apapun, lebih baik tetap mendekam di penjara yang menyediakan tempat tinggal dan makanan. Setidaknya adanya tempat untuk mereka beristirahat dan adanya makanan untuk memenuhi perut mereka agar tidak  meronta-ronta. Tokoh "saya" juga memiliki pemikiran yang sama. Ketika dibebaskan, tokoh "saya" meminta kembali dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini dikarenakan tokoh saya yang tidak kuat menjalani kejamnya kehidupan. Begitu pula dengan masyarakat kelas bawah. Mereka harus merasa puas dan bersyukur jika dapat memperoleh tempat tinggal ataupun dapat membeli makanan.

Kesenjangan sosial dalam cerpen Malu karya Putu Wijaya ini menggambarkan dengan baik kondisi masyarakat saat ini. Cerpen tersebut menggambarkan melalui tokoh, penokohan, dan latar secara tepat. Tokoh "saya" seakan dibuat tak berdaya dalam menjalani hidupnya. Berbanding terbalik dengan beberapa tokoh yang termasuk masyarakat kelas atas seperti sang youtuber, lelaki parlente, dan pemilik kotak perhiasan yang mampu merubah hidup seseorang dengan menggunakan hak akan kuasa itu sendiri. Perkataan apapun yang dikeluarkan oleh masyarakat kelas atas akan banyak dipercayai. Berbeda dengan perkataan masyarakat kelas bawah yang sangat sulit diterima. Butuh perjuangan lebih untuk mendapatkan kepercayaan. Namun, perjuangan yang dilakukan belum tentu mendapatkan hasil yang diinginkan. Dunia memang sangat kejam bagi mereka yang menerima pahitnya dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun