Menurut kamus KBBI Mental adalah hal yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia. Setiap manusia pasti memiliki hal tersebut. Bagi anda yang penggemar serial animasi Doraemon, pasti tahu dengan salah satu tokoh yang selalu ingin bisa dan mendapatkan apapun dengan instan yaitu Nobita. Nobita dalam cerita itu, memiliki sifat yang serba malas dan kurang sabar. Jika menginginkan sesuatu, maunya cepat mendapatkan tanpa mau mengalami prosesnya. Tentu saja dia bisa mendapatkannya, karena Doraemon, sahabat baiknya itu memiliki kantong ajaib yang bisa mengeluarkan benda-benda yang diinginkan Nobita. Sayangnya, Nobita sering gagal mempergunakan dengan baik benda-benda yang ia terima, karena dia memang belum siap secara mental, sehingga hasilnya adalah kekecewaan.
Sama halnya kita sebagaimana manusia, kadang kita berdoa dan meminta kepada Tuhan untuk mencari jalan pintas, bukan karena rindu untuk bersekutu kepada-Nya. Ketika doa kita tidak dijawab, kita langsung berpikir negatif kepada Tuhan, padahal sebagaimana dikatakan dalam Yakobus 4:3 "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." Mungkin dalam doa yang kita doakan setiap hari itu, hanya sebatas untuk memuaskan apa yang menjadi keinginan kita saja. Dan kita lupa akan apa yang menjadi kehendak dan juga kemauan Allah untuk kita. Kita pun diajak dalam doa untuk mendengar dan terbuka pada kehendak Allah. Berdoa adalah salah satu cara kita untuk menjalin relasi yang lebih akrab dan intim dengan Allah. Meminta kepada Tuhan dalam doa tidak salah, namun kembali kita belajar sebagaimana Tuhan Yesus berdoa "Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39).Â
Jika kita mau jujur, mengapa sikap mencari jalan pintas dicari yaitu karena kita takut pada diri kita sendiri. Takut melihat; monster kegagalan, kesulitan, halangan dan perubahan. Perlu keberanian untuk mengakui yang dirasakan, terutama bila itu tidak sesuai dengan apa pun yang ingin kita rasionalisasikan. Kalau kita takut dan khawatir, kita tidak akan pernah sampai kemana-mana. Ketakutan itu sejatinya ada dalam pikiran dan iman kita. Kalau kita memiliki tujuan, kita pasti tahu bagaimana mencapainya, karena tujuan itu merupakan peta jalan kehidupan kita.
Pada dasarnya, kalau kita berusaha satu kali, lalu gagal atau ditolak itu rasio kegagalannya yaitu 100%. Kalau kita melakukannya 10 kali, dua kali gagal atau ditolak baru 20%. Kalau kita melakukan 100 kali dan gagal atau ditolak 10 kali, itu baru 10%. Perlu ada awareness atau kesadaran terhadap diri kita perihal menetapkan tujuan. Sekali lagi tujuan merupakan peta jalan kehidupan kita. Itu sebabnya kejujuran emosi diperlukan: untuk tetap jujur kepada diri sendiri dan menghormati kebijaksanaan baik yang berasal dari hati maupun kepala.
Banyak di antara kita berpikir bahwa karena dewasa ini lapangan pekerjaan langka, kita mengeluhkan ketidak adilan dan frustasi yang kita rasakan membuat kita seperti anak yang tidak pernah puas, membuat kita merasa bersalah dan makin cemas tentang segala sesuatu yang terjadi. Maka, ketika masalah memuncak, kita telah dikondisikan untuk mengandaikan iman kita dengan mencari jalan pintas. Surat Kolose mengingatkan, ... supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah... (Kol. 1:9-10). Dalam surat Efesus sudah mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin agar kita bertumbuh menuju kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan... (Ef. 4:13-14). Jadi, hidup kita tidak boleh dijadikan dangkal dengan sekadar memenuhi kebutuhan materi dan mencari kekayaan semata-mata, atau malah mengikuti nilai-nilai yang dipromosikan oleh banyak orang di dunia ini.
Socrates pernah mengatakan bahwa cara paling singkat dan paling pasti untuk hidup secara terhormat di dunia adalah hidup sebagaimana adanya. Dalam hal ini bukan berarti kita disuruh pasrah, namun kita diajarkan untuk "jujur", jangan menghindar dari masalah-salah berat dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, namun kita diajarkan untuk menghadapi prosesnya. Kejujuran membuka segala pintu untuk perubahan yang lebih baik.
Ketakutan kita yang paling mendalam bukan karena kita kurang memadai. Ketakutan yang paling mendalam adalah karena kita terlalu kuat untuk mengatakan bahwa; saya tidak punya keyakinan, saya tidak punya waktu, saya sudah terlalu tua atau saya terlalu muda, saya tidak mempunyai cukup uang, saya malas dan cenderung menunda-nunda. Ingat,perkataan saja itu tidak cukup, pada akhirnya segalanya tergantung pada tindakan kita.
Penulis novel H.G. Wells berkata, "Kekayaan, ketenaran, kedudukan dan kuasa yang dimiliki seseorang bukanlah suatu ukuran kesuksesan. Satu-satunya cara untuk mengukur sukses adalah perbandingan antara sejauh mana kita akan berjalan dibandingkan apa yang telah kita capai sekarang." Artinya sukses itu adalah cara mengembangkan potensi kita. Orang yang tidak berprioritas, sulit mendedikasikan dirinya pada tujuan hidupnya. Maka, buanglah hal-hal yang tidak penting.
"Dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat."Â (Efesus 5:16)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H