Mohon tunggu...
Rajif Parenrengi
Rajif Parenrengi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pluralisme hukum dan tegaknya keadilan di Indonesia

2 Januari 2021   11:40 Diperbarui: 2 Januari 2021   23:49 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin banyak dari kita yang sudah sering mendengar istilah diatas namun, seringkali kedua istilah diatas berdiri sendiri-sendiri, pluralisme dan Hukum. Lantas, apakah "pluralisme Hukum" itu?

Pluralisme sendiri menurut KBBI berarti keadaan dimana banyak kebudayaan yang hidup dan tumbuh dalam satu wilayah sosial yang sama (saling berinteraksi satu sama lainnya). Kita bisa mengambil Indonesia sebagai contoh yang paling ideal, dimana kebudayaan yang bermacam ragam hidup, tumbuh dan saling berinteraksi satu dengan lainnya.

Adapun Hukum sendiri walaupun sebenarnya belum terdapat defenisi yang disepakati bersama namun, secara umum bisa kita artikan sebagai: aturan yang berisi perintah dan larangan serta sanksi baik itu yang dirumuskan oleh pemerintah maupun hukum adat.

Dari kedua defenisi diatas kita bisa mengartikan Pluralisme Hukum sebagai suatu keadaan dimana terdapat banyak aturan hukum yang hidup, berkembang dan saling berinteraksi antara satu sama lain didalam satu wilayah sosial (negara) yang sama. Kita sekali lagi bisa melihat keadaan hukum yang pluralis itu di Indonesia, dimana, dikarenakan majemuk nya suku dengan budaya, tradisi dan kepercayaanya masing-masing secara otomatis melahirkan Hukum yang beragam pula baik itu hukum adat maupun agama mulai dari Sabang sampai Merauke dengan keunikannya masing-masing.

Pluralisme Hukum sendiri sebenarnya baru mulai dikenal sekitar abad ke18 sebagai dampak dari postmodernisme dalam bidang Hukum. Sebagai sebuah cara pandang, Pluralisme hukum memiliki setidaknya nya dua kelompok: pertama, adalah pluralisme hukum kuat, yang pada pokoknya menekankan kepada kesamaan kedudukan kesemua sistem hukum baik yang bersumber dari adat istiadat, agama maupun yang bersumber dari negara. Para penganutnya menganggap bahwa pada dasarnya semua aturan hukum itu eksis, oleh karena itu kita tidak bisa melihat Hukum-Hukum itu dengan kacamata hirarkis dengan meletakkan sebuah aturan hukum lebih tinggi dari yang lain; kedua, Pluralisme hukum lemah, pada dasarnya antara model pertama dan model kedua memiliki kesamaan yaitu sama-sama mengakui pluralisme aturan hukum yang ada namun, berbeda dengan kelompok pertama yang menolak untuk memandang keragaman hukum dengan kacamata hirarkis, kelompok kedua justru memandang hukum selain hukum negara sebagai kelompok hukum inferior di bawah superioritas hukum negara itu sendiri. Kelompok kedua ini seringkali dianggap oleh kelompok pertama sebagai kelompok realisme terselubung yang bersembunyi dibalik terminologi pluralisme hukum dengan praktek yang sebenarnya realistik/positivisik (Griffiths, 1996)

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut Sulistyowati Irianto (guru besar Antropologi UI, aktivis Perkumpulan HUMA Indonesia), jika kita merujuk pada kedua konsep Pluralisme Hukum diatas maka, Indonesia termasuk pada kelompok kedua yang menganut Pluralisme Hukum lemah kita bisa melihat jelas ketentuannya dalam pasal 18b ayat (2) UUD 1945 bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang."

Dari pasal 18b Ayat 2 diatas kita bisa melihat bahwa legislator kita masih melihat kemajemukan Hukum di Indonesia dengan kacamata Hirarkis dan memposisikan Hukum negara sebagai superior law, semua nampak jelas Dengan pengakuan bersyarat yang diberikan kepada Hukum lainnya (selain Hukum negara) yang harus sesuai Dengan prinsip negara kesatuan republik Indonesia.

Mengapa ini menjadi masalah? (Disini saya akan lebih menekankan kepada penegak hukum). Kita semua tau bahwa, dasarnya masyarakat adat memiliki logika dan keadilan hukumnya masing-masing, apa yang dianggap adil menurut negara belum tentu sejalan dengan keadilan masyarakat adat secara keseluruhan. maka, logika Pluralisme Hukum lemah (sebagaimana yang termuat dalam pasal 18b ayat 2 UUD 45) diatas akan berpengaruh pada cara pandang penegak hukum kita yang akan melihat hukum selain hukum negara sebagai hukum yang inferior yang berdampak pada keengganan untuk memahami konsep keadilan/logika adat masyarakat setempat yang akan berimpek lebih jauh pada pengambilan keputusan penegak Hukum yang menurutnya adil namun tidak demikian dengan masyarakat adat dikarenakan pemahaman akan makna keadilan yang berbeda itu sendiri.

Oleh karena demi tegaknya keadilan, maka Para penegak hukum memiliki bukan sekedar anjuran melainkan kewajiban untuk memahami logika Hukum masyarakat yang beragam itu, dan sebagai instrumen negara maka kewajiban tersebut harus memiliki legalstanding sebagai bukti keseriusan negara dalam upaya tegaknya keadilan, karena dalam hemat saya, walaupun sulit namun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya akan tercapai ketika keadilan itu dimaknai dari sudut pandang rakyat Indonesia itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun