Mohon tunggu...
Rajif Amar Kahfi
Rajif Amar Kahfi Mohon Tunggu... -

Universal Person

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nazaruddin Memanfaatkan Kelemahan Diplomasi Indonesia

13 Juli 2011   08:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:42 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13105412401907627866

Perginya Nazaruddin yang merupakan anggota DPR fraksi partai Demokrat karena statusnya sebagai tersangka kasus korupsi ke Singapura semakin menambah kusut benang penanganan koruptor Indonesia yang kabur ke luar negeri. Permasalahan di sisi penangkapan adalah tiadanya perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura. Hingga sekarang, Singapura memang menjadi destinasi utama para koruptor Indonesia untuk bersembunyi dari kejaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Wacana mengenai perjanjian ekstradisi seringkali muncul ketika terjadi kasus kaburnya para koruptor Indonesia ke Singapura. Singapura dianggap menjadi tempat teraman bagi koruptor untuk membawa kabur uang hasil korupsinya. Sekalipun terdapat indikasi bahwa koruptor berada di Singapura, polisi Indonesia tidak dapat bertindak secara legal untuk menangkap koruptor tersebut. Kekuatan kedaulatanlah (sovereign state) yang tidak memperbolehkannya. Berdasarkan hukum internasional, penegak hukum suatu negara tidak dapat menduduki wilayah negara lain dengan menangkap seseorang yang dianggapnya melakukan tindak kriminal dan membawanya kembali ke negara asal. Penangkapan hanya bisa dilakukan oleh penegak hukum negara yang memiliki kedaulatan dan itupun hanya apabila orang tersebut dianggap mengancam keamanan nasionalnya.

Hal inilah yang terjadi pada kasus Nazaruddin. Sejak menghilang dan dikabarkan berada di Singapura, Nazaruddin nampaknya ‘nyaman’ tinggal di Singapura terlepas dari segala pemberitaan terhadap dirinya. Tanpa ratifikasi perjanjian ekstradisi, status Nazaruddin sebagai warga negara asing (WNA) menjadi pelindung dirinya dari penangkapan oleh KPK dan Polri.  Sebagaimana yang diketahui, dampak dari ketiadaan perjanjian ekstradisi secara historis banyak merugikan Indonesia dalam penanganan koruptor dan bahkan menguntungkan Singapura dari sisi ekonomi, berupa penyimpanan uang koruptor di Bank Singapura dan pencucian uang.

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

Menurut undang-undang (UU) no.1 tahun 1979, Ekstradisi adalah "penyerahan oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah Negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan." Jadi dapat disimpulkan perjanjian ekstradisi merupakan sebuah acuan legal bagi negara untuk memulangkan tersangka di negara lain.

Perumusan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura sudah berlangsung sejak 1972 namun penandatangan perjanjian baru dilakukan di Bali pada tahun 2007. Permasalahan sampai sekarang, perjanjian tersebut tidak berlaku karena belum diratifikasi oleh parlemen (DPR). DPR menilai bahwa perjanjian ekstradisi terlalu merugikan Indonesia dengan syarat-syarat yang diberikan oleh Singapura. Dalam isi perjanjian tersebut, Singapura menginginkan kerjasama pertahanan dengan Indonesia, yakni Defense Cooperative Agreement (DCA) di Baturaja, Sumatera Selatan. Penukaran orang dengan wilayah sebesar 32.000 hektar tidaklah menguntungkan bagi sebuah negara dan ratifikasi perjanjian tersebut dianggap melanggar prinsip bebas aktif juga kedaulatan negara.

[caption id="attachment_119081" align="alignleft" width="300" caption="Nazaruddin semakin diuntungkan dengan tidak adanya perjanjian ekstradisi"][/caption] Tetapi, melihat Singapura sebagai destinasi strategis bagi koruptor,  ratifikasi perjanjian ekstradisi merupakan hal yang sangat mendesak. Semakin lama DPR menunda ratifikasi, semakin sulit pula kinerja KPK dalam menangkap para koruptor yang kabur. Bukan melemahkan kedaulatan negara, tetapi pada kenyataannya, pola bentuk kaburnya koruptor sudah terbaca. Indonesia perlu menerapkan perjanjian ini ke tiap negara yang dianggapnya sebagai negara transit para koruptor. Tetapi, sebagai permulaan Singapura harus menjadi prioritas utama.

Di lain sisi, Singapura berada di dua kondisi yang sama-sama menguntungkan. Adanya ratifikasi membuat Singapura mempunyai lahan untuk menyelenggarakan latihan militernya. Sedangkan tidak adanya ratifikasi, Singapura tanpa sengaja juga diuntungkan karena koruptor membawa dan mencuci uangnya di Singapura. Selain itu, kehadiran koruptor di Singapura tidak dianggapnya sebagai pengancam keamanan nasional seperti halnya teroris. Nazaruddin hanya sebagai WNA yang menetap disana. Permasalahan korupsi  adalah solusi internal yang mana keputusan ekstradisi tersebut ditentukan oleh Indonesia sendiri.

Bila dilihat dari usulan kerjasama pertahanan Indonesia-Singapura itu sendiri. Yang paling diresahkan oleh DPR adalah bukan hanya wilayah Indonesia yang terpakai untuk latihan, tetapi juga Singapura menginginkan pihak ketiga dalam latihan itu, yaitu Amerika Serikat (AS). Kehadiran AS dalam kerjasama dengan membuat pangkalan militer di Indonesia jelas mengumbar reaksi negatif dari masyarakat yang dianggap mencoreng martabat bangsa. Selain itu, latihan tersebut berpotensi membawa dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat sekitar daerah tersebut. Inilah alasan utama Indonesia tidak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi karena Indonesia sebagai negara berdaulat tidak mau didikte oleh Singapura dalam negosiasi perjanjian.

Untuk itu, perlu ada perbaikan dari sisi diplomasi Indonesia terhadap Singapura. Mengingat kebutuhan akan perjanjian ekstradisiyang mendesak, Indonesia harus membenahi substansi perjanjian di bagian kerjasama pertahanan. Memang perjanjian didasarkan pada keuntungan kepada kedua belah pihak, yaitu Indonesia dengan ekstradisi dan Singapura dengan DCA, tetapi keuntungan yang diterima Singapura lebih besar dibandingkan Indonesia. Indonesia melalui first track diplomacy dapat melakukan perundingan terbuka lagi dengan mengubah beberapa bagian dari kerjasama pertahanan, terutama pada penghapusan kerjasama pihak ketiga. DCA dengan ini bermanfaat bukan hanya untuk Indonesia dan Singapura, tetapi lebih luas lagi untuk keamanan regional dan kemanan maritim negara.

Jadi, Penangkapan koruptor di luar negeri hanya dapat dilakukan apabila kelemahan-kelemahan diplomasi Indonesia dapat ditingkatkan. Diplomasi menjadi instrumen penting dalam penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia. Jika perjanjian ekstradisi tidak kunjung ada ratifikasi, maka koruptor-koruptor Indonesia masih mempunyai cara  untuk kabur dengan pergi atau meminta perlindungan dengan negara lain, seperti halnya Nazaruddin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun