Mohon tunggu...
Rajendra Coladewa
Rajendra Coladewa Mohon Tunggu... -

Hanya Rakyat yang berada di instansi pemerintah,

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Musuh Sebenarnya Bangsa Ini

6 Februari 2015   23:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:41 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara asing sering disalahkan atas bocornya devisa Negara yang terus mengalir keluar negeri. Negara asing bak menjadi kambing hitam atas hilangnya sumber uang yang harusnya bisa digunakan untuk mensejahterakan rakyat. Tidak usah repot repot menelusuri Negara mana yang merenggut devisa Indonesia atau dengan cara apa mereka melakukanya. Bukanya saya membela bangsa asing, saya juga bukan antek antek asing yang menyusup di Indonesia, seperti layaknya dongen yang dihembuskan para pejabat bangsa ini.

Ada kebocoran yang lebih nyata, lebih dekat, berada di sekitar kita. Tapi entah para pejabat ini pura pura tuli atau pura pura buta. Mungkin Negara kita tidak punya cermin untuk berkaca, bawasanya musuh terbesar yang dihadapi bangsa ini bukan para pihak asing, melainkan warganya sendiri. Bung Karno pernah berkata “Perjuangnku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuangnmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.Itu semua adalah fakta

Kebocoran yang sesungguhnya adalah,

Ketika Intansi pemerintah mengadakan kegiatan kegiatan yang seharusnya tidak perlu. Mengapa mereka tetap mengadakanya ?. Karena hebat atau tidaknya sebuah instansi selelu diukur dari berapa banyak jumlah uang yang dihabiskan untuk membuat kegiatan, entah itu pengadaan barang, jasa, studi banding atau kegiatan lain. Harusnya mereka yang berada di instansi pemerintah berani berkata “JUJUR’. Jika memang kegiatan tersebut tidak benar benar dibutuhkan sebaiknya tidak usah dikerjakan, uangnya dikembalikan saja pada Negara, tidak usah dihambur hamburkan.

Jika sebuah instansi tidak bisa menghabiskan seluruh anggaran yang telah diajukan maka akan mendapatkan label “penyerapan anggaranya rendah” atau “efektifitasnya rendah”. Akibatnya seluruh instansi berlomba lomba menghabiskan anggaran yang telah diajukan, entah itu untuk kegiatan yang tidak perlu atau hanya mengada ngada. Jika ada anggaran yang tersisa maka harus dikembalikan pada Negara dan intansi tersebut akan mendapatkan anggaran yang lebih sedikit dari tahun sebelumnya, begitulah yang seharusnya. Jangan heran jika tiba tiba banyak kegiatan tak masuk akal yang dicetuskan pada bulan bulan di ahir tahun.

Sebagai contoh, sebuah intansi mengajukan anggaran sebesar 10 milyar. Pada bulan november anggaran masih tersisa 2 milyar. Banyak kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan karena berbagai sebab, entah perencanaanya yang buruk atau mungkin HPS proyeknya kurang gendut atau bagaimana. Seharusnya anggaran yang tersisa dikembalikan pada Negara sehingga tahun depan instansi tersebut kemungkinan besar akan mendapatkan anggaran di bawah 10 milyard, berkaca dari anggaran yang dihabiskan tahun sebelumnya. Tapi kenyataanya uang itu tidak pernah kembali kepada Negara, tiba tiba saja di akhir tahun banyak rapat di hotel mewah, perjalanan dinas wisata dengan embel embel koordinasi, sinkronisasi, atau studi banding. Pokoknya kegiatan apapun dilakukan agar uang yang tersisa habis.

Kenyataanya banyak instansi yang bingung bagaimana cara menghabiskan anggaran yang telah dimiliki. Kadang mereka berupaya merebut kegiatan yang sudah dilakukan oleh instansi lain. Bukanya bingung bagaimana cara menghemat anggaran tapi malah bingung bagaimana cara menghabiskan anggaran. Sungguh Ironis. Saya memimpikan seorang kepala instansi yang berani berkata “Intansi saya tidak butuh anggaran sebanyak ini, saya kembalikan saja, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain atau “Instansi saya dibubarkan atau dilebur ke dalam instansi lain saja, kenyataanya tidak banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan disini, daripada saya mengada ngada kegiatan yang sebenarnya tidak perlu.

Coba dihitung saja ada berapa instansi pemerintah di Indonesia, dari jaman orde baru (yang terkenal dengan semrawutnya pemerintahan) hingga jaman sekarang. Berapa dana yang sudah dihambur hamburkan ?, hal itulah yang saya sebut Kebocoran yang sesungguhnya.

Para PNS yang berada di dalam instansi pemerintah, yang mempunyai wewenang dalam menggunakan anggaran Negara, adalah mereka yang mengemban tanggung jawab besar untuk memajukan bangsa ini. Percuma jika presiden berteriak teriak tentang kesederhanaan atau penghematan anggaran jika pasukan terdepan yang menggerakkan Negara ini justru tidak “loyal”. Mereka tidak berfikir untuk kepentingan bangsa, hanya berfikir untuk kepentingan golongan (instansi) atau bahkan kepentingan pribadi (jabatan). Yang penting proyek jalan, anggaran habis, mendapatkan pujian dari atasan, dapat upah rapat, perjalanan dinas.

Lihat saja, banyak yg ngomel kesana kemari saat presiden membuat kebijakan membatasi rapat di hotel, membatasi perjalanan dinas, mengatur snack rapat agar sederhana hingga membatasi pengadaan fisik gedung. Bingung kan mereka (PNS), duit ini mau digunakan untuk apa ?. pundi pundi mereka untuk mengumpulkan rupiah dipangkas. Jujur saja kalo memang ada duit sisa, dikembalikan saja pada Negara, nggak usah mengada ngada lah.

Saya hanya seorang PNS yang gerah melihat situasi yang sedang terjadi. Nurani saya memberontak, loyalitas pada Negara diuji. Jangan salahkan saya atas segala sesuatu yang sedang terjadi, karena bawasanya yang mempunyai kuasa atas semua pergerakan instansi adalah pejabat eselon 1, 2, 3 dan 4. Jika ingin mengakhiri ini semua solusinya sangat sederhana, angkat saja saya jadi pejabat. Saya mewakili anak anak muda yang menyatakan perang pada siapapun musuh bangsa ini, termasuk mereka para aparat pemerintah. Orang orang seperti saya mungkin bisa larut dalam budaya ini, hingga akhirnya saya berubah menjadi musuh bangsa. Mana mungkin saya menang melawan seluruh pejabat yang ada di kantor saya. Ini peperangan yang mustahil untuk dimenangkan.

Disini saya memahami siapa sebenarnya musuh terbesar bangsa ini. Adalah dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun