Mohon tunggu...
Raja Pantun L Gaol
Raja Pantun L Gaol Mohon Tunggu... -

Tani, Konsultan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menteri Susi Pudjiastuti dan Sindroma Paradigma

7 November 2014   19:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:23 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

... cemoohan pada Susi Pudjiastuti, boleh jadi adalah gejala dari penyakit pola pikir yang akut (sindroma paradigma) secara massal

Susi Pudjiastuti menjadi kontroversi setelah ditunjuk oleh presiden Jokowi menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP). Beragam komentarpun berkembang cepat. Banyak yang senang, tetapi tak sedikit yang menentang, meragukan bahkan mencela. Ada yang marah-marah seolah harga dirinya terinjak-injak.


Beberapa pakar kelautan (seolah) mencibir menteri KKP yang tak lulus SMA ini. Misalnya, pakar ilmu kelautan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Muslim Muin mempertanyakan apakah Susi paham mengenai teknologi kelautan, marine products economics, coastal processes, dan underwater technology. Menurut Muslim, kepakaran Susi hanyalah tentang penangkapan dan penjualan ikan (Tribunnews.com, 31/10/14)


"Ini penghinaan menurut saya," kata Engelina, tokoh dari Maluku (30/10/2014) dengan alasan bahwa saat ini Indonesia Timur memiliki sekitar 300 ahli bergelar Doktor dan 15 di antaranya konsen keilmuannya dalam bidang kelautan (Tribunnews.com, 31/10/14)


Apapun itu, semua orang boleh berpendapat. Hal yang saya cermati adalah “mengapa orang sangat keberatan, kecewa, ragu, mencibur, mencela atau meremehkan Susi?”.

Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia sudah lama “terbuai” oleh pendidikan formal. Hampir semua orang ingin memiliki ijasah hingga level tertinggi meskipun dalam kenyataannya banyak sarjana S1, S2 bahkan S3 yang tidak berkompeten dalam bidang keilmuannya. Bahkan tidak sedikit sarjana yang skripsinya jiplakan atau dibuat oleh orang lain, entah karena apa.

Dalam berbagai berbagai bidang kehidupan, faktor pendidikan sangat penting bahkan sangat menentukan. Jabatan formal dan tidak formalpun biasanya ”mensyaratkan” ijasah. Dengan demikian, pendidikan setinggi-tingginya identik dengan kemajuan.

Evaluasi yang sangat tidak ”bebas nilai” seperti itu sering menyeret orang berpendapat bahwa ketidakmampuan, keterbelakangan ekonomi, bahkan kegagalan dikaitkan dengan pendidikan formal masyarakat yang rendah.

Yang mau saya katakan adalah bahwa kapabilitas, kompetensi manajerial, penguasaan lapangan dan kemampuan kognisi tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal. Sejarah menunjukkan bahwa banyak orang yang memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan berbagai hal tanpa memiliki ijasah pendidikan formal. Ada Sidharma Gautama, Ajahn Chah, Ken Arok, Peter Jennings presenter ABC News, Agatha Cristie, Walt Disney, Adam Malik dan sebagainya.

Jadi, bila cemoohan-cemoohan yang diarahkan pada Susi Pudjiastuti karena pendidikan formalnya tidak lulus SMA, boleh jadi hal tersebut adalah gejala dari penyakit pola pikir yang akut (sindroma paradigma) secara massal. Pengidap penyakit itu ”fanatik berlebihan” terhadap persepsi umum, kebiasaan, pola atau paradigma tertentu.

Terkait dengan sindroma tersebut, saya pernah membantu mahasiswa S1 menyusun tugas akhir. Menurut buku panduan, skripsi harus mengikuti alur dan pola yang sudah baku dalam buku panduan. Karena itu, ada anggapan para mahasiswa bahwa skripsi-skripsi terdahulu atau yang telah disusun oleh mahasiswa pedahulu adalah sesuatu yang sudah benar. Jadinya, mereka berusaha mencontoh skripsi-skripsi yang sudah ada dan menuruti pola yang baku dalam panduan sehingga ide-ide baru, konsep atau model baru sangat langka. Akibatnya skripsi yang mereka susun hanya sekedar persyaratan akademik saja.

Meskipun mengakui kebaikannya, tetapi saya pernah merasa tidak mendapat apa-apa setelah 2 tahun mengikuti pendidikan formal hingga tidak diselesaikan. Yang ada adalah perasaan lebih bodoh dibanding dengan belajar mandiri, pengalaman, penguasaan lapangan dan perenungan.

Di sisi lain latar belakang keluarga, kebiasaan di masa lalu, keseharian dan ketokohan juga sering ”dimutlakkan sebagai prasyarat” untuk disebut mampu mengemban suatu tugas. Misalnya, wanita suka keluar malam, merokok, bertato dan ”penampilan cuek” akan cenderung dilabeli “stigma negatif” hingga dianggap tak layak menduduki jabatan tertentu. Anehnya, persepsi seperti itu tetap eksis meskipun banyak opportunis bahkan ”bajingan tengik” yang menempati jabatan-jabatan publik dengan penampilan yang alim, santun, agamis, tampil berwibawa dan sebagainya.

Begitulah persepsi menguasai pikiran hingga tanpa sadar kita telah terpenjara dalam sindroma paradigma.  Hal-hal demikian akan sangat menghambat kemajuan bangsa Indonesia sehingga perlu dienyahkan atau (paling tidak) diminimalisir dari kehidupan kita sebagai warga negara Indonesia.

Mungkin, diangkatnya Susi Pudjiaastuti sebagai nakhoda KKP dapat menjadi benchmark yang akan jadi patron di kemudian hari. Itulah harapan saya, semoga Susi Pudjiastuti dapat menunjukkan kapabilitas, kompetensi dan keberhasilan bagi Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara maritim.

Oh ya, semoga Menteri Susi Pudjiastuti dapat berhenti merokok dan menunjukkan kesuri-teladanan yang baik hingga berkenan di hati semua masyarakat Indonesia.

Salam Samudera Biru... untuk nenek moyangku orang pelaut!

Raja Pantun L Gaol, 07/11/2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun