Bagaimana menjawab pertanyaan posisi keorganisasian mahasiswa terhadap pihak rektorat; maka terlebih kita harus mengawali makna otonomi kampus. Otonomi kampus, menurut definisi saya, merupakan segala kegiatan akademik yang mandiri, terukur-secara metodologi, dan berdasar pada kajian-kajian intelektual untuk bersama-sama mengembangkan suasana kegiatan ilmiah bagi setiap komunitas yang berada di dalamnya untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan akhir otonomi kampus adalah memberi manfaat bagi masyarakat internal kampus maupun eksternal kampus. Dari state ini, diturunkan menjadi kata saling menghargai, saling mempercaya, dan saling berkolaborasi untuk kepentingan bersama. Secara ideal, proses bisnis yang berjalan dalam sebuah perguruan tinggi adalah sbb: Sedangkan secara realistis, relasi organisasi kemahasiswaan (Republik Mahasiswa atau Keluarga Mahasiswa) terhadap Rektorat Kampus adalah sbb: Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa merupakan entitas penting dalam kolaborasi masyarakat internal kampus yang disebut dengan sivitas akademika; sehingga bukanlah sebuah entitas yang diposisikan sebagai objek untuk ‘dibina’, atau dianggap sebagai input yang belum memiliki value, sehingga perlu diberikan knowledge yang baru untuk nantinya berada pada luaran dalam bentuk baru yakni telah mendapat knowledge baru. Terlebih untuk sebuah kampus yang hampir mayoritas pemasukan biaya operasional dan pembangunan adalah berasal dari biaya kuliah mahasiswa reguler dan mahasiswa baru. Tidak dibenarkan apabila mahasiswa diposisikan seperti seorang pelajar di level SD, SMP, dan SMA. Seorang mahasiswa dengan kapasitasnya sebagai seorang intelektual untuk menerima transformasi knowledge perlu meminta kejelasan yang pasti apabila dalam proses menuntut ilmu tersebut, beberapa hal yang terkait dengan persoalan layanan akademik, kegiatan administratif akademik mahasiswa, mekanisme pengajaran, dan kepastian permintaan layanan mengalami kendala, kurang memuaskan sehingga perlu untuk dipertanyakan. Dalam iklim demokrasi kampus yang bebas dan menjunjung tinggi akhlak dan martabat seorang sivitas akademika, sudah tentu perlu media untuk menyampaikan segala aspirasi serta pengembangan diri untuk berekspresi dalam pendapat, pemikiran, dan kompetensi. Hal-hal inilah yang diakomodir dalam sebuah republik mahasiswa atau keorganisasian sejenisnya. Dengan demikian, jangan sampai salah ‘kaprah’ seolah-olah seorang mahasiswa tidak bisa bahkan tidak boleh, dan dibatasi segala hak serta kewajibannya dalam menjalankan misi serta cita-citanya untuk mendapatkan kepuasan proses bisnis akademik yang diinginkannya. Persoalan-persoalan yang menyangkut pelayanan administrasi akademik mahasiswa sangat perlu untuk diselesaikan dengan baik, bukan dan justru dikesampingkan seolah-olah tidak penting. Dan yang terpenting lagi adalah proses dan siklus yang berjalan dalam kampus adalah kegiatan diskusi akademik bukan memposisikian diri dalam level vertikal atau Top-Down, melainkan horisontal atau sejajar, saling menghargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H