Apa yang salah dengan ‘kampanye sara’ dalam Pilakada Jakarta? Kenapa banyak yang galau? Kenapa banyak yang bersikap antipati? Kenapa benci? Seolah-olah ‘kampanye sara’ itu sesuatu yang najis bin haram. Padahal dalam demokrasi, ‘kampanye sara’ itu sah alias boleh atawa lumrah.
Apa salahnya kalau orang Betawi mengajak komunitasnya memilih pemimpin yang juga Betawi? Apa salahnya kalau orang Jawa mengajak komunitasnya memilih pemimpin yang Jawa? Apa salahnya kalau orang Cina mengajak komunitasnya memilih pemimpin berdarah Cina?
Dimana salahnya kalau orang Islam mengajak orang Islam lainnya memilih pemimpin yang seiman? Dimana salahnya kalau orang Kristen mengajak orang Kristen lainnya memilih pemimpin yang seiman? Wajar, manusiawi, demokratis kan? justru ga wajar sekaligus ga demokratis kalau melarang orang Islam mengajak orang Islam lainnya untuk memilih pemimpin yang juga Muslim. Sama tak wajar dan tak demokratisnya kalau melarang orang Kristen mengajak orang Kristen lainnya memilih pemimpin Kristiani.
Tak ada yang salah. Yang salah kalau menghina, melecehkan, merendahkan identitas primordial seseorang. Entah itu menyangkut suku, ras, agama, golongan. Barulah itu namanya rasis. Kalau hanya mengajak golongannya memilih pemimpin yang segolongan, itu lumrah saja. Itu sah dan konstitusional. Dimana salahnya? Tak ada satu pasal pun dari peraturan perundangan yang dilanggar.
Sangat mudah dipahami kalau penduduk asli Jakarta (Betawi) menghendaki orang yang akan memimpin di kampung halamannya berasal dari suku Betawi. Lalu mereka mengkampanyekan itu kepada sesamanya. Sama mudahnya untuk memahami orang Bali yang menghendaki gubernur Bali yang berdarah Bali. Begitu juga dengan orang Batak di Batak, Orang Minang di Minangkabau, orang Bugis di Sulawesi Selatan, orang Melayu di Riau, dan seterusnya. So, kenapa harus resah? Kenapa galau? Kenapa kayak orang kebakaran bulu ketek?
Itu sudah bagian dari keniscayaan demokrasi. Bahwa setiap warga negara boleh menyuarakan pendapatnya, boleh berekspresi, boleh mengajak atau mempengaruhi orang lain untuk memiliki sikap dan pilihan politik yang sama, meskipun harus menggunakan simbol-simbol primordial. Kenapa dahi harus jadi mengkerut? Kenapa marah-marah? Kenapa harus mendiskreditkan pihak lawan politik? Kenapa jadi penuh prasangka? Nyantai aja. Sikap negatif seperti itu justru lebih buruk dari sekedar kampanye sara kan? Itu kalo ente menganggap kampanye sara sebagai buruk.
Yang tak boleh itu menghina dan memaksakan kehendak. Termasuk kehendak untuk melarang pihak lain kampanye sara. Anda tak setuju dengan saya? Mau setuju juga boleh kok hehe..
(raja miring)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H