Mohon tunggu...
Raja Miring
Raja Miring Mohon Tunggu... lainnya -

meskipun miring insya Allah tegak berdirinya,lurus jalannya hehe..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dalam Demokrasi, Kampanye SARA Itu Sah

1 Agustus 2012   22:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang salah dengan ‘kampanye sara’ dalam Pilakada Jakarta? Kenapa banyak yang galau? Kenapa banyak yang bersikap antipati? Kenapa benci? Seolah-olah ‘kampanye sara’ itu sesuatu yang najis bin haram. Padahal dalam demokrasi, ‘kampanye sara’ itu sah alias boleh atawa lumrah.

Apa salahnya kalau orang Betawi mengajak komunitasnya memilih pemimpin yang juga Betawi? Apa salahnya kalau orang Jawa mengajak komunitasnya memilih pemimpin yang Jawa? Apa salahnya kalau orang Cina mengajak komunitasnya memilih pemimpin berdarah Cina?

Dimana salahnya kalau orang Islam mengajak orang Islam lainnya memilih pemimpin yang seiman? Dimana salahnya kalau orang Kristen mengajak orang Kristen lainnya memilih pemimpin yang seiman? Wajar, manusiawi, demokratis kan? justru ga wajar sekaligus ga demokratis kalau melarang orang Islam mengajak orang Islam lainnya untuk memilih pemimpin yang juga Muslim. Sama tak wajar dan tak demokratisnya kalau melarang orang Kristen mengajak orang Kristen lainnya memilih pemimpin Kristiani.

Tak ada yang salah. Yang salah kalau menghina, melecehkan, merendahkan identitas primordial seseorang. Entah itu menyangkut suku, ras, agama, golongan. Barulah itu namanya rasis. Kalau hanya mengajak golongannya memilih pemimpin yang segolongan, itu lumrah saja. Itu sah dan konstitusional. Dimana salahnya? Tak ada satu pasal pun dari peraturan perundangan yang dilanggar.

Sangat mudah dipahami kalau penduduk asli Jakarta (Betawi) menghendaki orang yang akan memimpin di kampung halamannya berasal dari suku Betawi. Lalu mereka mengkampanyekan itu kepada sesamanya. Sama mudahnya untuk memahami orang Bali yang menghendaki gubernur Bali yang berdarah Bali. Begitu juga dengan orang Batak di Batak, Orang Minang di Minangkabau, orang Bugis di Sulawesi Selatan, orang Melayu di Riau, dan seterusnya. So, kenapa harus resah? Kenapa galau? Kenapa kayak orang kebakaran bulu ketek?

Itu sudah bagian dari keniscayaan demokrasi. Bahwa setiap warga negara boleh menyuarakan pendapatnya, boleh berekspresi, boleh mengajak atau mempengaruhi orang lain untuk memiliki sikap dan pilihan politik yang sama, meskipun harus menggunakan simbol-simbol primordial. Kenapa dahi harus jadi mengkerut? Kenapa marah-marah? Kenapa harus mendiskreditkan pihak lawan politik? Kenapa jadi penuh prasangka? Nyantai aja. Sikap negatif seperti itu justru lebih buruk dari sekedar kampanye sara kan? Itu kalo ente menganggap kampanye sara sebagai buruk.

Yang tak boleh itu menghina dan memaksakan kehendak. Termasuk kehendak untuk melarang pihak lain kampanye sara. Anda tak setuju dengan saya? Mau setuju juga boleh kok hehe..

(raja miring)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun