Mohon tunggu...
Raja Mangsa
Raja Mangsa Mohon Tunggu... -

Pernah melancong ke luar negeri mendampingi kaisar, lalu sekarat ditikam cemburu sebelum akhirnya hidup bertualang lagi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

RUU Pilkada Bukti Soliditas Koalisi Merah Putih

10 September 2014   16:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Metamorfosa Koalisi, berawal dari dukungan kepada Capres-Cawapres Prabowo-Hatta, tapi kemudian Koalisi ini dikuatkan dengan menandatangani piagam Koalisi Permanen. Selanjutnya lebih dikenal dengan Koalisi Merah Putih. Sejak awal mendeklarasikan diri sebagai koalisi permanen, Koalisi Merah Putih (KMP) terus diterpa isu miring. Banyak yang beranggapan deklarasi itu hanya lips service untuk meningkatkan harga tawar pada Jokowi-JK. Atau sekadar balas dendam, karena kalah dari Kubu Jokowi, dst, dst dan dst!

Tapi, Koalisi Merah Putih seakan ingin membuktikan deklarasi itu tak main-main. Koalisi bekerja dan berjuang untuk sesuatu yang lebih mulia dari sekadar balas dendam, yakni Indonesia Bangkit. Bukankah berjuang untuk Indonesia yang maju dan sejajar dengan bangsa lain, tidak mesti berada didalam pemerintahan. Halaman pertama yang menunjukan kesolidan mereka adalah bersama-sama menggodok RUU Pilkada.

Kalau sampai RUU Pilkada disahkan, hal itu menjadi bukti pertama Koalisi Merah Putih masih solid. Tapi, keputusan itu bukan tanpa hambatan. Melihat dan mengamati kebiasaan dari perjalanan kampanye Kubu Jokowi yang suka memanfaatkan media dan pengamat, maka bisa jadi Parlemen akan dibenturkan dengan Media, Pengamat dan Survei.

Segala opini akan dibentuk untuk menjauhkan rakyat dari wakilnya. Termasuk dalam pembahasan RUU Pilkada ini. Akan dikerahkan parlemen jalanan, serangan lewat media dan argumentasi pengamat plus dukungan data dari Lembaga Survei. Keberhasilan pertama terlihat ketika, Masyarakat menjadi antipati pada KMP ketika mengajukan gugatan di MK.

"Jika RUU Pilkada berhasil disahkan, ini merupakan episode pertama bukti solidnya koalisi merah putih. Tapi antipati makin besar. Akhirnya jadi catatan memori buruk sebagai partai yang mencabut hak politiknya masyarakat," kata Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby di Jakarta, Selasa (9/9/3014).

Memang jika RUU Pilkada itu berhasil disahkan, ini merupakan 'ancaman' pertama bagi pemerintahan Jokowi-JK. PDIP seakan dipaksa sadar harus menghadapi mayoritas parlemen besutan KMP.

Meski begitu, kalah di Parlemen Jokowi-JK akan mencari dukungan dari media, pengamat dan survey. Akan dikembangkan opini di masyarakat,  dikembalikannya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD hanya untuk kepentingan partai guna memonopoli kekuasaan. Survey yang di lakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) sudah mengarah kesitu.

"Sebesar 74.76% menyatakan usulan kembalinya kepala daerah dipilih oleh DPRD lebih didasarkan oleh kepentingan kekuasaan partai. Sedangkan, 14.29% yang menyatakan usulan tersebut merupakan upaya partai dan parlemen membenahi kualitas pemilihan kepala daerah," jelas Adjie.

Terserah saja, Anda mau percaya atau tidak, dengan survei itu. Anda juga boleh mengatakan, kalau survey itu ada kepentingannya. Tidak lain untuk menjegal pembahasan RUU Pilkada yang dibesut Koalisi Merah Putih. Di era reformasi ini sah-sah berpendapat. Yang tidak sah, itu bila menggunakan cara-cara di luar konstitusi.

Penulis kira, Koalisi Merah Putih sudah memberi contoh yakni, bisa menerima kekalahan ketika Pilpres. Kalaupun ngotot, tetap berjuang lewat koridor konstitusi. Semua cara untuk memenangkan Prabowo sudah ditempuh, secara konstitusi. Kini ketika parlemen bersidang dan menggunakan kekuatan di luar parlemen untuk mempengaruhi dan menekan itulah yang kurang tepat. Sehebat-hebatnya lembaga survey, dia tidak bisa menentukan keputusan Parlemen.

Apalagi Demokrasi di Indonesia menganut sistem perwakilan. Indonesia menganut demokrasi tidak langsung, karena mengingat Indonesia adalah negara yang besar dan luas dengan jumlah penduduk yang banyak. Jadi  kalau diterapkan demokrasi langsung maka gedung mana yang sanggup menampungnya, tanah lapang mana yang sanggup menampung 200 juta lebih pendiduk Indonesia. Maka kita menerapkan demokrasi perwakilan, dengan lembaga-lembaga perwakilan rakyat: antaralain: MPR, DPR, DPD, DPRD Prop, DPRD Kab./Kota dan BPD di tingkat Desa.

Di era reformasi kita sudah mencoba pemilihan presiden, gubernur, Bupati/Wali Kota diterapkan demokrasi langsung, tetapi hasilnya, lebih banyak mudharat. Seakan Pemilu tak ada habisny di Indonesia. Tak ada hari tanpa kampanye, akibatnya selain boros, rakyat terlalu disibukkan dengan pemilu. Maka sudah tepat bila Parlemen sekarang ini mengembalikan ke dalam pengelolaan Negara dengan menerapkan demokrasi tidak langsung/perwakilan untuk Pilkada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun