Ada tiga manusia dalam menyikapi pergaulan dikehidupan ini: dia sebagai Kawan, Lawan atau Munafik. Sebagai Kawan atau Lawan, tak menjadi persoalan karena sikapnya yang jelas. Hitam atau Putihnya bisa kita lihat dengan jelas. Tapi justru persoalan akan muncul bila sifat munafik menghinggapi seseorang, warnanya menjadi tidak jelas. Menjadi abu-abu, dibilang hitam tapi kemudaan, dibilang putih tapi kok rada samar-samar, gelap.
Dari sifat munafik inilah muncul pengkhianatan, musuh dalam selimut. Duh betapa sakitnya bila yang menusuk kita adalah orang yang satu selimut dengan kita. Pepatah petitih melukiskan betapa sadisnya, musuh dalam selimut karena dia adalah orang yang paling dekat. Tidak lain, istri kita yang mengetahui diri kita secara luar dalam. Begitulah pitutur orangtua kita menyadarkan kita agar mewaspadai, sifat tercela ini. Agar kita tidak celaka karena tikaman dari belakang. Namun inilah realitas sebuah perjuangan, dimana saja dan kapan saja selalu saja ada: Pengkhianat!
Suhardiman Sebut Agung Laksono Pengkhianat
Tokoh pendiri Partai Golongan Karya, Suhardiman, menyebut Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono sebagai pengkhianat. Musababnya, Agung telah membelot dari perjuangan menyelenggarakan Musyawarah Nasional 2014. Sesepuh Golkar ini mengaku kecewa dengan manuver Agung yang tiba-tiba mendukung pelaksanaan Munas pada 2015. Padahal, menurut Suhardiman, sebagai pemimpin, Agung harus konsisten, jangan mencla-mencle. Agung ternyata tidak sendiri, kawan yang lain jangan ikut langkahnya itu. "Ia tidak konsisten dengan perjuangan di awal," kata Suhardiman di kantor Eksponen Ormas Tri Karya Golkar di Jalan Teluk Betung, Jakarta, Selasa, 2 September 2014.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono mengatakan partainya tak semestinya menjadi oposisi di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Menurut dia, sikap Partai Golkar sebaiknya adalah mendukung pemerintahan yang baru. ”Tapi pendukung yang kritis,” ujar Agung di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Jumat, 22 Agustus 2014.
Ia mengatakan menjadi partai yang bersikap kritis terhadap pemerintah merupakan hal wajar dalam dunia politik. Tidak langsung dalam posisi berseberangan, tapi bersama-sama. Dengan bersikap seperti itu, kata Agung, Partai Golkar, baik di pemerintahan maupun parlemen, bisa mendukung dan ikut mengamankan kebijakan pemerintah yang pro-rakyat. Sebaliknya, dia melanjutkan, partai beringin bisa menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tak pro-rakyat. "Dengan demikian, akan tercipta iklim politik yang lebih kondusif," ujar dia.
Menurut Agung, jika sejak awal Golkar sudah memutuskan menjadi oposan, partai pimpinan Aburizal Bakrie itu akan selalu bersikap skeptis terhadap segala kebijakan pemerintah nanti. Apa pun yang dilontarkan pemerintah, selalu ditantang dan ditolak.
Sebelumnya Ketua Pemenangan Agung Laksono, Fahmi Idris, sepakat dengan digelarnya Munas pada 2015. "Pak Agung Laksono juga telah menyetujuinya," kata Fahmi, Senin, 1 September 2014.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lalu Mara Satriawangsa mengakui ada tiga kali pertemuan antara Aburizal dan Agung di sebuah tempat untuk membicarakan kepastian pelaksanaan Munas Golkar. Pada pertemuan itu, kata Lalu, Agung awalnya tetap kokoh mempertahankan Munas digelar pada 2014.
Namun, setelah Ical mengingatkan mengenai rekomendasi di Munas 2009 yang menyebutkan Munas selanjutnya pada 2015, seketika Agung luluh. "Jadi sama sekali tidak ada intervensi dari Ical," ujarnya. "Jadi Agung bukan pengkhianat dan sama sekali tidak membelot."
Indra J Piliang, Tak ada Oposisi dalam Presidensil
Politikus Partai Golkar, Indra J. Piliang, berpendapat partainya menjadi penyeimbang, setelah adanya keputusan MK tentang perselisihan pemilu pilpres 2014. Keputusan Golkar menjadi partai penyeimbang sudah diumumkan oleh Ketua Umum Aburizal Bakrie. Sebagai partai penyeimbang, Golkar mendukung keputusan yang baik dari pemerintah dan mengkritik apabila ada yang perlu dikritik. "Jadi bukan oposisi," kata Indra.
Menurut Indra, selama ini Golkar tidak pernah menjadi partai oposisi dalam pemerintah. Lantaran Golkar menjadi partai penyeimbang, Indra menyarankan agar saat presiden dan wakil presiden terpilih telah dilantik, Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar harus melakukan pidato politik. Rakyat dan kader harus tahu mengenai langkah Golkar dalam pemerintahan baru. "Umumkan kalau Golkar itu sebagai penyeimbang di pemerintahan baru," ujar Indra. "Sekalian memberikan ucapan selamat."
Selain itu, menurut Indra, pengertian oposisi harus diluruskan dalam bahasa politik. System Politik di Indonesia memang menganut Presidensil jadi tidak mengenal adanya oposisi. Selama ini, dia melanjutkan, ada partai yang mengklaim sebagai oposisi, padahal masuk dalam pemerintahan. Misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Golkar Jawa Tengah Sepakat Jadi Oposisi
Sikap tegas justru ditunjukkan dari kader Golkar di Jawa Tengah. Pengurus Golkar Jateng meminta pengurus pusat Golkar menetapkan partai berlambang pohon beringin itu sebagai partai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Sekretaris Partai Golkar Jawa Tengah Iqbal Wibisono menyatakan elite Partai Golkar di tingkat pusat harus konsekuen atas keputusan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang kalah dalam pemilihan presiden 9 Juli lalu. Iqbal meminta pengurus pusat Partai Golkar juga menerima kekalahan. "Beri kesempatan pada calon presiden yang menang untuk mengelola pemerintahan," ujarnya.
Iqbal memperkirakan, jika menjadi pengontrol pemerintahan mendatang, Golkar akan mudah meningkatkan perolehan suara dalam pemilu lima tahun mendatang. "Lebih baik berkontribusi meningkatkan fungsi kontrol yang dinamis berdasarkan pada argumen-argumen dan ide-ide berdasarkan aturan-aturan hukum," ujarnya.
Selama ini Golkar dikenal sebagai partai yang memegang kekuasaan di pemerintahan. Pada zaman Orde Baru, Golkar menjadi penguasa selama 32 tahun. Sedangkan dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Golkar juga setia menjadi partai penyokong pemerintah. Iqbal menyatakan selama ini sudah ada Partai Golkar di tingkat daerah yang terbiasa menjadi partai oposisi.
Suhardiman adalah sesepuh Golkar, dia termasuk tokoh awal. Tokoh berambut putih ini dulu bersama ormas SOKSI, Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia, sebuah organisasi kemasyarakatan telah mengukir sejarah bagi Golkar di masa Orde Baru.
Sedangkan Indra J Piliang selain sebagai politisi, Indra juga sebagai peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta, pemerhati masalah otonomi daerah, aktivis Berantas (Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi) dan kolumnis di beberapa media cetak nasional. Indra sering disebut-sebut sebagai generasi muda di Golkar yang sedang moncer.
Sedangkan Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung dan Agung Laksono adalah generasi tengah di Golkar yang sedang pegang kendali. Di masa Akbar Tandjung Golkar dengan paradigma, sebagai Golkar Baru, sukses melewati masa transisi dari Orba ke orde reformasi.
Mungkin lebih arif, bila yang sepuh member kesempatan pada generasi berikutnya sedangkan yang yunior bisa menimba pengalaman dari yang tua. Beri kesempatan pada generasi berikutnya untuk mengukir sejarahnya. Karena memang setiap zaman berbeda tantangannya. Dengan begitu estafeta kepemimpinan bisa berjalan sesuai jalurnya.
Sehingga kita saling rangkul dan mendukung bukannya saling menjatuhkan. Sehingga kita tehindar dari tudingan; Siapa mengkhianati siapa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H