Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Memahami Perbedaan Informasi, Ekspresi, dan Eksploitasi

23 Maret 2025   15:14 Diperbarui: 24 Maret 2025   07:02 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Forum Film Bandung dan pengurus LSF berfoto bersama di Gedung LSF (Sumber: dokumentasi pribadi Raja Lubis)

Saya cukup kaget ketika mendengar pemaparan bahwasanya film Hati Suhita (2023) semula disarankan untuk klasifikasi usia 17+. Pasalnya ada satu adegan ketika Suhita (Nadya Arina) curhat ke teman perempuannya perihal pernikahannya dengan Gus Birru (Omar Daniel).

Di adegan tersebut Suhita bercerita bahwasanya dirinya belum pernah disentuh oleh Gus Birru. Pengadeganannya sama sekali tidak vulgar. Tidak ada penggambaran visual soal adegan seksual, ataupun pilihan kata yang terkesan jorok.

Sutradara menggambarkan keadaan hanya lewat dialog curhat yang umum dilakukan oleh dua orang yang bersahabat. Terlebih, persoalan seksnya memang sesuai dengan konteks utama cerita, bukan sekadar selingan semata.

Tentunya, saran klasifikasi usia 17+ dari Lembaga Sensor Film (LSF) membuahkan debat panjang dengan produser. Hingga akhirnya, Hati Suhita bisa tayang dengan klasifikasi usia 13+.

Persoalan adegan seks dalam sinema Indonesia memang seringkali menuai perbedaan pendapat di berbagai kalangan. Salah satunya karena seks masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan apalagi dipertontonkan untuk umum dalam sebuah karya sinema.

Bahkan adegan seks yang dilakukan karakter Jeng Yah dan Soeraja di serial Gadis Kretek pun tak luput dari perbincangan dan kritik warganet. Yang pada akhirnya pembahasan Gadis Kretek jadi jauh melenceng dari cerita utamanya.

Memaknai "informasi", "ekspresi", dan "eksploitasi"

Pada kunjungan saya (bersama dengan Forum Film Bandung) ke LSF beberapa waktu lalu, pihak LSF mengatakan bahwasanya tayangan di OTT (over-the-top) khususnya serial web belum menjadi tanggung jawab LSF dalam hal penyensoran. Meski begitu, banyak juga pihak OTT yang secara mandiri menyensorkan calon tayangannya ke LSF.

Saya menduga, ini menjadi salah satu alasan kuat kenapa banyak serial web cukup berani menampilkan adegan-adegan seksual atau hal-hal yang seksi. Para pembuatnya seakan menemukan kebebasan yang lebih ketika berkarya di serial web karena tidak dibayang-bayangi oleh penyensoran.

Lantas bagaimana saya melihat fenomena ini?

Saya sangat menghargai kebebasan berekspresi para sineas, pun bagaimana kinerja LSF dalam hal klasifikasi usia sebuah film. Saya juga tidak menghakimi adegan seksual sebagai sesuatu yang salah dalam sebuah karya.

Semisal dalam serial Kupu Malam yang menceritakan seorang pekerja seks komersial, tentu akan sulit membuat serial tersebut tanpa dibarengi adegan seksual. Tapi itu semua tergantung dari bagaimana sang sutradara melakukan pendekatan dan menampilkannya ke publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun