Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Mengakali Sistem Zonasi Sekolah dengan Pernikahan Sandiwara dalam "Kartu Keluarga"

19 September 2024   09:39 Diperbarui: 19 September 2024   16:46 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun lalu saya mengawal adik saya masuk SMP (Sekolah Menengah Pertama). Saya kira sistem pendaftaran siswa baru masihlah sama dengan waktu saat saya bersekolah dulu. Rupanya sistemnya telah jauh berbeda, salah satunya dengan adanya sistem zonasi sekolah.

Sistem zonasi tersebut memberi kesempatan kepada calon siswa agar bisa bersekolah di tempat yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Patokannya, adalah alamat yang tertera di kartu keluarga. Di sisi yang lain, sistem ini pun mempersempit peluang calon siswa baru mendaftar di sekolah favorit karena lokasinya yang jauh dari rumah.

Adik saya pun begitu. Dengan berbekal beberapa sertifikat penghargaan lomba semasa SD (Sekolah Dasar), adik saya pengin masuk ke SMP favorit di kota. Tapi memang jaraknya lebih dari 1 kilometer. Dan berbekal data histori penerimaan pada tahun-tahun sebelumnya, jarak di atas 1 kilometer biasanya terpental sistem alias tidak diterima.

Memang, ada jalur lain yang bisa dicoba untuk masuk SMP favorit yakni jalur afirmasi, tapi kuotanya sedikit. Akhirnya adik saya memutuskan ikut zonasi dengan mendaftar di SMP terdekat yang jaraknya sekitar 400 meter. Itu pun ternyata sistemnya masih menggunakan peringkat, nggak serta merta diterima.

Jadinya, setiap hari saya selalu refresh halaman web pengumuman penerimaan calon siswa baru, untuk memastikan adik saya tidak terpental dari sistem. Apalagi mengkaget ketika muncul data ajaib di klasemen atas alias calon siswa baru yang jaraknya hanya 20 meter dari sekolah. Kok bisa?

Persoalan zonasi sekolah yang dipotret aktual oleh Kartu Keluarga

Sabar ya Sri dan Jarot/doc. Vision+
Sabar ya Sri dan Jarot/doc. Vision+
Persoalan sistem zonasi sekolah dengan segala carut marutnya dipotret apik dalam series Indonesia terbaru berjudul Kartu Keluarga. 

Mengambil sudut pandang seorang janda bernama Sri Widuri (Bunga Zainal) yang memiliki satu anak lelaki bernama Jarot. Sri ingin sekali memasukkan anaknya ke "SMP Teladan" yang merupakan sekolah terbaik yang ada di kabupaten tempat tinggalnya.

Sri berharap masa depan Jarot bisa lebih baik jika bersekolah di sekolah terbaik yang lengkap fasilitas dan kegiatannya. Apalagi kegiatan esktrakurikuler yang diinginkan Jarot ada di SMP Teladan dan tidak ada di SMP terdekat.

Motivasi Sri sangat make sense dengan kondisi fasilitas pendidikan Indonesia masa kini yang masih saja belum merata. Sistem zonasi sekolah akan terasa adil jika dan hanya jika fasilitas sekolah sudah merata baiknya. Jika tidak, maka biarkan anak-anak bersaing sesuai dengan kemampuannya untuk meraih impian belajar di sekolah terbaik.

Karenanya, semestinya yang dilakukan pemerintah bukan sebatas membuat kebijakan di level permukaan semata, tapi juga bagaimana membangun infrastruktur sekolah yang sama bagusnya di setiap sekolah.

Mengakali sistem zonasi sekolah dengan pernikahan sandiwara

Kartu Keluarga turut juga mengembangkan permasalahan dampak dari zonasi sekolah ke lingkup yang lebih luas. Tidak hanya lingkup keluarga, tapi juga lingkup sosial budaya masyarakat.

Berawal dari solusi sistem zonasi ini yang hanya bisa diselesaikan jika Sri dan Jarot tinggal di kecamatan yang sama dengan SMP Teladan. Terpaksa Sri akhirnya melakukan pernikahan pura-pura dengan Bardi (Dimas Anggara), pemilik butik batik yang tinggal searea dengan SMP Teladan. Tujuannya agar Sri dan Jarot masuk dalam kartu keluarga Bardi.

Solusi ini menjadi solusi akhir setelah banyak cara dilakukan Sri. Seperti menyuap petugas penerimaan siswa baru SMP Teladan yang ternyata punya integritas alias nggak bisa disuap. 

Adegan pernikahan pura-pura antara Sri dan Bardi/doc. Vision+
Adegan pernikahan pura-pura antara Sri dan Bardi/doc. Vision+
Tentunya proses pernikahan pura-pura ini juga bukan hal yang gampang dilakukan, apalagi mereka melakukannya harus berpacu dengan waktu pendaftaran sekolah yang mepet.

Perlahan tapi pasti, pernikahan sandiwara ini berdampak pada lingkungan di sekitar mereka berdua. 

Hubungan Sri dengan pacarnya Gunawan, harus menjadi taruhannya. Gunawan yang seorang perjaka tidak rela Sri menikah meskipun hanya pura-pura. Apalagi selama ini Gunawan sering berjuang atas hubungannya yang tidak mendapat restu orangtua Gunawan karena Sri seorang janda beranak satu. 

Begitupun hubungan Bardi dengan anak lelakinya yang seusia dengan Jarot. Bardi sendiri seorang duda duda cerai hidup, dan anak lelakinya tersebut ikut ibunya. Dan di satu kesempatan anak Bardi melihat sang ayah membonceng Jarot ke sekolah. Dan ini menimbulkan rasa kecemburuan yang teramat dalam di hati anak tersebut.

Soal menyoal mengakali aturan demi tercapainya suatu tujuan, saya kira hal yang lumrah terjadi. Di dunia nyata, saya pun sering mendengar bisik-bisik tetangga soal calon siswa yang tiba-tiba ikut kartu keluarga pamannya hanya demi bisa diterima di sekolah impiannya.

Maka fenomena ini menjadi menarik. Ketika suatu kebijakan yang disusun pemerintah justru malah menimbulkan multiplier effect yang besar karena masyarakat bisa mencari celahnya. Dari suatu kebijakan yang dimaksudkan baik malah muncul bibit-bibit praktik korupsi yang tidak disadari oleh pelaku bahwa itu perbuatan yang salah.

Sukdev Singh selaku penulis skenario dan sutradara, memang tidak mengarahkan Kartu Keluarga ke kritik soal sistem zonasi sekolah dengan lebih tajam pada pemerintah. Ia membumikan kasus ini dengan membentrokkan akibat pernikahan sandiwara itu ke lingkup masyarakat.

Meski begitu, Kartu Keluarga nggak kehilangan nyalinya untuk bersuara. Justru dengan kesederhanaannya, itulah cara Kartu Keluarga berikan kritik yang bisa dibilang sakit tapi tak berdarah. Bahwa hanya karena soal sistem zonasi sekolah, banyak riak yang terjadi di masyarakat, yang mungkin luput dari pertimbangan pemerintah ketika membuat keputusan ini.

Apalagi Kartu Keluarga mengambil latar sebuah desa yang masih dipenuhi dengan pepohonan dan pesawahan hijau yang jauh dari hiruk pikuk kota dan pembangunan modern. Semakin menegaskan kalau kesenjangan masih terjadi, dan sistem zonasi semakin memperparah kesenjangan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun