Saya sepakat dengan hal ini. Tapi gagasan menarik ini seakan-akan mengatakan bahwa pemerintah tidak/kurang memberikan fasilitas pada pelaku seni dan budaya. Faktanya tidak demikian.
Dalam beberapa tahun terakhir, creative hub tumbuh di berbagai daerah. Sebuah tempat yang bisa menjadi ajang berkreasi, silaturahim, dan latihan para pelaku seni budaya untuk terus menerus mengembangkan bakat dan kemampuannya.
Di bandung misalnya. Ada satu gedung bernama Bandung Creative Hub yang menjadi wadah sub sektor ekonomi kreatif  untuk berkarya. Bahkan dilengkapi dengan auditorium yang fasilitas layar dan audionya setara bioskop. Auditorium ini bisa digunakan untuk memutar film hasil sineas lokal agar bisa bertemu dengan penonton seluas-luasnya.
Grand desain yang disampaikan Anies tidak menyentuh akar utama yang menjadi permasalahan para pelaku budaya di lapangan. Entah itu soal regulasi, birokrasi dan perijinan, jam kerja, keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja. Beberapa hal yang sebetulnya masih menjadi pokok masalah yang perlu dicarikan solusinya.
Soal bagaimana budaya nasional bisa pentas ke internasional ditanggapi Ganjar Pranowo dari sisi marketing. Ganjar menyebut sejumlah musisi yang sudah dikenal di internasional seperti NIKI dan Rich Brian bisa menjadi duta memperkenalkan budaya Indonesia di pentas asing.
Ia menyebut soal viralisme. Saya tidak heran, Ganjar lebih menanggapi grand desain Anies yang fokus pada produk dibalas dengan soal cara memasarkan. Â Tapi pemahamannya terhadap viralisme hanya sebatas duta. Sama seperti kejadian artis yang tidak hafal Pancasila malah menjadi duta Pancasila.
Secara teoritik, penerapan viralisme dalam industri pop culture adalah bagaimana isi dari produk yang diciptakan bisa viral. Di luar negeri begitu. Tapi di Indonesia, viral dulu baru kemudian jadi produk pop culture. Sehingga produk pop culture ini tidak memiliki kekuatan dan daya promosi dari dalam produknya itu sendiri.
Contoh sederhananya, apakah kamu tahu makanan sandwich berinisial 'Sw' itu karena produknya terkenal? Atau justru terkenal karena sering muncul dalam film Korea?
Di sisi yang lain, penyebutan NIKI dan Rich Brian bisa membuahkan konsekuensi kesalahan interpretasi dari sisi term 'pelaku budaya Indonesia'. Ada perbedaan mendasar antara pelaku seni budaya asing yang kebetulan orang Indonesia dengan pelaku budaya Indonesia yang berjuang memperkenalkan budayanya di negeri asing.
Kedua musisi ini berkarya di Amerika Serikat. Ya wajar mereka terkenal di negara yang menjadi kiblat industri pop culture dunia tersebut. Soal ini, masyarakat perlu diedukasi. Apalagi jika sudah menyangkut luar negeri, masyarakat kita masih sering overproud.
Dalam kasus film misalnya. Beberapa tahun ke belakang, kita pernah dihebohkan oleh klaim seorang sutradara bernama Livi Zheng yang bilang kalau filmnya bersaing dengan Avengers di Oscar. Berita ini cukup menghebohkan dan mendapat banyak reaksi terutama dari sineas Indonesia.