Tapi saat konklusi, Wregas memilih bentuk dan gaya surealis atau teaterikal.
Terkait pilihan ekspresi sinematik sang sutradara, setiap penonton bisa melihat dan menilainya dengan kacamata sendiri.Â
Hal tersebut bisa dilihat sebagai ekspresi sinematik sang sutradara yang mencoba dengan berbagai pendekatan. Sebagaimana laporan pertanggungjawaban juri FFI yang mengatakan bahwa ada film yang punya ekspresi sinematik khas anak muda (yang saya duga statement ini ditujukan untuk Penyalin Cahaya).Â
Atau penonton bisa juga memandangnya sebagai bentuk inkonsistensi bercerita.
Saya sendiri melihatnya sebagai bentuk inkonsistensi. Kenapa? Karena meskipun apa yang ditawarkan Wregas saat konklusi bernilai artistik dan estetik yang tinggi, menurut hemat saya hal tersebut malah mengkhianati struktur drama yang sudah dibangun dari awal.Â
Dari yang logic menjadi unlogic. Sesederhana bagaimana caranya mesin fotokopi bisa 'nyala' di atas gedung kampus, tanpa kabelnya dicolokin ke kontak listrik. Apa si 'Amelia' ini pakai baterai?
Satu lagi yang tidak sinkron adalah narasi yang dibawa oleh publisitas film ini, yakni sebagai film perjuangan/potret sulitnya perempuan mendapatkan keadilan dalam kasus pelecehan seksual.
Apakah benar begitu?
Justru dengan pendekatan misteri yang sok-sokan seperti investigasi, saya tidak merasa Penyalin Cahaya adalah refleksi potret tersebut.Â
Alih-alih ngomongin birokrasi yang ribet dan lingkungan yang tidak peduli pada korban, Penyalin Cahaya hanya sekadar upaya untuk membuktikan kalau 'prasangka Sur adalah benar'.
Yeah, that's it!