Ketika saya membuka dan menelusuri timeline youtube, tiba-tiba saja saya tergerak untuk klik video dengan thumbnail yang menampilkan sosok Angelina Sondakh. Lalu saya pun menonton video tersebut sampai selesai.
Ya, yang saya ingat dulu Angelina Sondakh adalah seorang jawara Puteri Indonesia 2001 yang akhirnya terjun ke dunia politik. Setelah itu justru namanya kian melambung sebagai terpidana kasus mega korupsi Hambalang. Dan mulai menghuni jeruji besi sejak 2012.
Dari video yang saya tonton tersebut, saya tahu kalau ternyata Angelina Sondakh sudah keluar dari penjara. Oh ya, sungguh waktu memang begitu cepat berlalu.
Ada satu hal penting yang saya garisbawahi dari video tersebut yakni tentang 'keadilan' dan 'kebenaran'Â dalam proses hukum yang dijalani Angelina Sondakh. Singkatnya, ia ragu apakah masih ada kebenaran dan keadilan dalam hukum di dunia ini.
Rasa skeptis terhadap penerapan hukum di negeri ini, saya kira tidak hanya dirasakan oleh Angelina sendiri. Banyak masyarakat yang merasa 'tidak percaya' dengan hukum di negeri ini. Lantas kenapa keadilan dunia ini sulit sekali dicitrakan sebagai sebuah kebenaran?
Kalau kita hubungkan dengan sifat-sifat teladan Rasulullah Nabi Muhammad SAW, yakni berkata benar, dapat dipercaya, menyampaikan yang seharusnya, dan cerdas, bisa jadi hal tersebut terjadi karena entitas yang terlibat dalam proses hukum kurang menerapkan teladan dari sifat-sifat tersebut.
Saya bukanlah ahli hukum. Oleh karena itu saya ingin mengajak teman-teman bersama-sama melakukan refleksi tentang keadilan dan kebenaran melalui film India, Section 375 (2019).
Kenapa harus Section 375? Film ini bergenre 'courtroom' (ruang sidang) yang fokus latarnya berada dalam ruang sidang pengadilan. Sehingga penonton bisa maksimal mengambil impresi tentang sifat teladan melalui narasi/dialog yang dilontarkan oleh para karakternya. Intinya menonton film bergenre kita seperti berada di ruang sidang dan mengikuti jalannya persidangan dengan seksama.
Tak hanya itu, cerita dari Section 375 ini sangat pas dengan kondisi bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Film ini bercerita tentang aduan seorang penata kostum film yang diperkosa oleh sang sutradara.
Sebagaimana kita tahu, pada awal 2022, masyarakat film Indonesia sempat gempar dengan kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh salah satu kru Penyalin Cahaya, film yang meraih banyak penghargaan di Festival Film Indonesia 2021, termasuk Film Terbaik. Dan juga kemarin, 12 April 2022, telah disahkan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang direspon positif oleh masyarakat termasuk oleh sineas film Indonesia.
Refleksi sifat Rasulullah dalam Section 375
Nabi Muhammad SAW adalah panutan kita semua. Ada empat sifat utama yang seyogyanya bisa kita teladani dalam kehidupan kita sehari-hari. Keempat sifat tersebut adalah Sidiq (benar/jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Fathonah (cerdas).
Sidiq (benar/jujur)
Rasulullah bersifat sidiq yang artinya benar atau jujur, dan mustahil bersifat kidzib atau berbohong
Anjali Dangle (Meera Chopra) adalah penata kostum yang melaporkan insiden pemerkosaan ke polisi dengan terduga pelaku adalah sang sutradara tempat ia bekerja, Rohan Khurana (Rahul Bhat). Tentunya butuh kekuatan yang besar bagi Anjali untuk speak up. Apalagi ketika ia harus menceritakan ulang kejadian tersebut di depan dokter (ketika visum), ataupun di depan pengadilan.
Usahanya membawa hasil dengan jatuhnya vonis pada Rohan yakni 10 tahun kurungan penjara. Namun, Rohan tak terima begitu saja, karena menurutnya dia tidak bersalah. Ia hanyalah korban fitnah dari Anjali.
Dalam kasus seperti ini, tentu kedua karakter ini tidak bisa benar semuanya. Pasti ada salah satu di antara mereka yang berbohong. Dan suatu hal yang dimulai dengan kebohongan, akan memunculkan kebohongan selanjutnya dan membuat masalah semakin rumit.Â
Lantas, siapakah yang Sidiq dan siapakah yang Kidzib?
Amanah (dapat dipercaya)
Rasulullah bersifat amanah yang artinya dapat dipercaya, mustahil bersifat khianat atau ingkar
Untuk menangani kasus yang dialami Anjali, tentunya diperlukan hakim yang adil dan dapat dipercaya untuk memutuskan suatu perkara. Berat memang ketika sang hakim sudah memutuskan vonis pada Rohan, ternyata perlahan selalu muncul fakta-fakta baru yang membuat hakim harus mempertimbangkannya.
Sehingga dalam memutuskan perkara ini hakim harus tunduk pada undang-undang yang berlaku, mempertimbangkan pernyataan para saksi, dan juga para pembela. Namun, lebih jauh lagi hakim harus melihat ke dalam hati nuraninya sendiri.
Dan juga untuk menghasilkan keputusan yang amanah, hakim tidak boleh menerima suap. Dalam kasus Anjali, hakim sudah berlaku seamanah dan seadil mungkin, sehingga bisa menghasilkan putusan yang dapat dipercaya. Setidaknya tidak berpihak pada salah satu pihak saja.
Tabligh (menyampaikan)
Rasulullah bersifat tabligh yang artinya menyampaikan, mustahil bersifat Kitman atau menyembunyikan rahasia
Sebelum hakim memberikan putusan, para saksi dari kedua belah pihak dihadirkan. Saksi ini harus menyampaikan keterangan sesuai dengan apa yang mereka lihat, tanpa ditambah-tambahkan atau pun dikurang-kurangi. Karena pernyataan saksi ini juga akan menjadi pertimbangan para hakim dalam memutuskan perkara.
Namun nyatanya, sebagian para saksi menyatakan keterangan di pengadilan sesuai dengan pesanan pihak tertentu. Para saksi tidak menyampaikan realita, tapi malah menambah dan atau menguranginya. Semisal kakak Anjali yang tidak menyampaikan keadaan sesungguhnya ketika ia menemukan pertama kali Anjali pulang ke rumah selepas kejadian perkosaan tersebut.
Pernyataan ini menimbulkan spekulasi, kalau kakak Anjali menyembunyikan sesuatu demi melindungi Anjali karena khawatir kesaksiannya justru melemahkan pernyataan Anjali. Padahal hal detail sekecil apapun yang diketahui saksi itu sangat penting untuk disampaikan di persidangan.
Fathonah (cerdas)
Rasulullah bersifat fathonah yang berarti cerdas, mustahil bersifat baladah atau bodoh.
Selain korban, pelaku, hakim, saksi, entitas lain yang tak kalah penting dalam proses hukum adalah pengacara. Baik Anjali atau Rohan keduanya sama-sama menyewa pengacara handal untuk membantunya.
Anjali dibantu pengacara muda perempuan terbaik, sementara Rohan dibantu pengacara pria senior yang tidak lain adalah guru dari pengacara Anjali.
Kedua pengacara ini tentulah orang-orang yang pintar dan menggunakan kecerdasannya untuk membela masing-masing kliennya. Secara akademik bolehlah dikatakan demikian, karena sebelum menyandang profesi pengacara tentunya ada pendidikan formal yang harus mereka tempuh.
Namun sayangnya, kecerdasan akademik mereka tidak diimbangi dengan kecerdasan emosionalnya. Keduanya sama-sama terlalu larut terbawa emosi untuk membela kliennya sehingga terkadang tidak melihat fakta-fakta yang disajikan oleh pihak lain.
Tentunya akhir dari film seperti ini seyogyanya membuktikan siapa yang sesungguhnya bersalah, apakah betul Rohan melakukan pemerkosaan atau justru Anjali yang hanya mengarang-ngarang cerita.
Film Section 375 memberikan akhirnya. Namun saya tidak akan sebut siapa yang bersalah. Saya hanya bisa mengatakan, bahwa salah satu pengacara merasa tertipu telah membela kliennya. Ia betul-betul merasa kepintarannya dalam hukum justru tidak membuat ia menghasilkan apa-apa.
Kenapa bisa demikian? Itu terjadi karena sepintar apapun sang pengacara, ia mengolah data dan fakta yang tidak sepenuhnya benar. Maka output yang dihasilkan pun tidak akan menjadi benar.
Dari Section 375 kita bisa belajar, bahwa untuk mendapat suatu 'keadilan' dalam proses hukum, semua entitas harus menerapkan empat sifat utama Rasulullah tanpa terkecuali. Tidak bisa satu saja atau hanya sebagian saja.Â
Sebagai manusia yang hakikatnya adalah tempat salah dan lupa, banyak godaan untuk mencitrakan kebenaran. Ada godaan uang, kekuasaan, kemewahan, yang seringkali mealpakan kita dari sifat-sifat utama Rasulullah.
Namun begitu, sebagai manusia kita harus tetap berusaha meneladani dan mewujudkan sifat utama tersebut dalam kehidupan sehari-hari di bidang apapun. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21, "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".Â
Mengakhiri tulisan sederhana ini, saya bagikan quote dari almarhum Artidjo Alkostar, hakim agung yang memberikan putusan berat pada Angelina Sondakh:
Kualitas manusia terletak pada pola pikir dan substansi perbuatan yang dilakukan seseorang untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H