Sempat tayang terbatas di beberapa bioskop di Jakarta, film Tjoet Nja’ Dhien yang sudah direstorasi ini ditayangkan di salah satu aplikasi streaming legal secara gratis. Penayangannya bersamaan dengan momen kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus.
Secara garis besar film ini bercerita tentang sosok Tjoet Nja’, wanita aceh yang nggak rela tanahnya direbut oleh Belanda. Baginya, perjuangan ini bukan sebatas mempertahankan tanah secara fisik, tapi juga mempertahankan kehormatan dan harga diri. Tjoet Nja’ beralasan kalau pihak Belanda lah yang seharusnya malu tengah mengusik rakyat dan tanah Aceh.
Perjuangan pun dimulai
Film Indonesia pertama yang tayang di Cannes Film Festival ini sepenuhnya berbicara tentang Tjoet Nja’. Oleh karena itu, film ini memulai perjuangan Tjoet Nja’ paska sepeninggal suaminya, Teuku Umar (Slamet Rahardjo Djarot) yang juga sama-sama berjuang membela Aceh hanya dengan cara yang sedikit berbeda.
Teuku Umar lebih banyak menjalankan metode diplomasi dan berdekat-dekatan dengan Belanda. Hal ini sempat membuat Tjoet Nja’ ragu apakah Umar ada di pihaknya atau justru sudah menjadi kawan baik Belanda. Tapi Umar menegaskan kalau itu hanyalah strategi.
“Tjoet masih tidak percaya, semua itu cuma siasat. Kalau tidak dari mana kita dapat perlengkapan perang? Sejak saat itu aku mengikuti dan mempelajari seluruh siasat perang Belanda”.
Itulah dialog yang dilontarkan Umar kepada Tjoet seraya memintanya untuk membantu mengabarkan kepada rakyat, kalau penyerangan akan dimulai. Dan di penyerangan inilah Umar terbunuh karena Belanda memang menjadikan Umar sebagai target utama.
Saat itu, Belanda berpikir jika Umar terbunuh, ‘pemberontakan’ rakyat Aceh akan selesai. Tapi rupanya Belanda salah, justru perjuangan tersebut semakin membara di bawah komando Tjoet Nja’ (Christine Hakim).
Bukan tentang kemegahan perang, tapi tentang kebesaran iman
Jikalau berharap Tjoet Nja’ mengangkat senjata lalu head to head dengan pasukan Belanda dengan segala melodramatisnya, lupakan keinginan menonton Tjoet Nja’ Dhien. Kita harus paham bahwa kontekstual perang dalam film ini bukanlah saling bunuh atau merasa bangga jika ada musuh yang terbunuh. Namun tentang mempertahankan apa yang memang seharusnya dipertahankan yang direbut oleh segelintir manusia tamak dan serakah.
Salah satu dukungan untuk konteks ini hadir dalam suatu adegan ketika Tjoet Nja’ merasa heran jika ada orang yang merasa senang dengan membunuh, sekalipun yang terbunuh itu musuh. Tjoet Nja’ terus menerus menegaskan kalau ini adalah perang mempertahankan tanah air. Tentu siapapun di antara kita tidak pernah ada yang rela jika apa yang kita punya direbut oleh orang lain bukan?
Tapi tidak semua berpikiran sama seperti kita. Ada saja oknum yang rela menggadaikan tanah airnya demi kesenangan pribadi. Sebutlah saja mereka dengan kata pengkhianat.
Hal ini yang sebetulnya ditakutkan Tjoet Nja’ daripada ribuan pasukan Belanda dengan persenjataan lengkapnya yang siap kapan saja bisa membunuh dirinya.