Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Sineas Bicara Keberagaman Indonesia

4 April 2018   13:44 Diperbarui: 4 April 2018   14:18 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bhinneka Tunggal Ika -- Berbeda-beda tetapi satu jua.

     Coba tunjuk negara mana yang Tuhan ciptakan dengan aneka ragam suku, budaya dan ras? Saya yakin Indonesia akan masuk dalam list jawaban pertanyaan tersebut. Membentang luas dari Sabang hingga Merauke dengan belasan ribu pulau di dalamnya. Jika kita bisa singgah di satu pulau setiap harinya maka dibutuhkan waktu 17.508 hari (kurang lebih 48 tahun) untuk mengelilingi Indonesia. Sanggupkah kita berkeliling selama itu dan menyelami segala apa yang kita temui? Saya ragu saya bisa melakukannya.

     Sebagai alternatif, kita bisa mengenal Indonesia dan coraknya dalam sebuah film. Mempelajari dan memahami hal lain dan baru adalah salah satu alasan saya mengapa tertarik untuk menonton sebuah film. Sebelum berpanjang lebar, saya ucapkan terimakasih kepada seluruh sineas dan tim produksi yang konsisten menyajikan "Indonesia" dalam film Indonesia, karena memang sejatinya Film Indonesia harusnya berbicara tentang "Indonesia" dan segala unsur sosial budaya di dalamnya.

Lalu keberagaman apa saja yang sineas Indonesia tawarkan dalam karyanya?

     Pesona alam Indonesia tak usah diragukan lagi. Laut, gunung, bukit, hutan, pantai adalah Mahakarya Tuhan yang tak terbantahkan indahnya. Rizal Mantovani pernah mengajak kita berpetualang mendaki Gunung Semeru dalam 5 CM (2012). Betapa luar biasanya efek film ini yang membuat Semeru seketika banyak dikunjungi. Terlebih 5 CM bukanlah sekedar pendakian biasa, perjalanan para tokohnya adalah proses pencarian jati diri sebagai manusia seutuhnya. Menjadi wajar jika 5 CM berhasil meraih piala Film Terpuji Festival Film Bandung 2013.

     5 CM adalah salah satu contoh bagaimana sineas memotret keberagaman wisata alam yang dimiliki Indonesia. Sebelum 5 CM, ada Denias Senandung di atas Awan (2006) yang menggambarkan pegunungan Wamena dan rumah-rumah unik di sekitarnya, Heart (2006) yang membuat saya ingin berlari-lari kecil di antara kebun teh dan Kawah Putih Bandung, atau yang tak kalah fenomenalnya adalah Pulau Belitung yang menjadi lebih menarik paska suksesnya Laskar Pelangi (2008). Film-film lain seperti Pendekar Tongkat Emas, Salawaku dan The Mirror Never Lies tak kalah eloknya dalam menampilkan kekayaan alam Indonesia.

     Dari keberagaman tempat di Indonesia itulah secara tidak langsung muncul juga keragaman budaya karena di setiap tempat berbeda budaya dan pola perilakunya. Beberapa film bahkan memotret secara utuh pengalaman perjalanan dengan frame sosiokultural setempat yang biasa dikenal dengan istilah road movie. 3 Hari untuk Selamanya (2007) dan Rayya Cahaya di Atas Cahaya (2012) adalah salah dua yang terbaik dari genre road movie.  

     Keragaman sosiokultural di Indonesia semakin banyak ditemukan tatkala semakin berkembangnya sineas -- sineas lokal atau pun yang membuat film penuh dengan lokalitas, sineas Makassar misalnya. Film Uang Panai' = Maha(r)l (2016) ditengarai menjadi pembuka jalan bagi sineas Makassar untuk tembus industri setelah filmnya ditonton lebih dari 500.000 penonton. Meski sebelum ini sudah ada film Bombe (2014) dan Sumiati (2015), Uang Panai bisa dibilang menginspirasi lahirnya film -- film lain seperti Suhu Beku, Parakang: Manusia Jadi-jadian, Gunung Bawakaraeng dan Silariang: Menggapai Keabadian Cinta yang semuanya tayang pada tahun 2017.

     Kesuksesan Uang Panai di industri film nasional salah satunya karena film tersebut berani memotret sekaligus mengkritisi adat tentang Uang Panai yakni sejumlah uang yang harus dibayarkan calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan. Ketidaksanggupan pihak laki-laki dalam membayar menjadi salah satu penyebab fenomena Silariang (kawin lari). Dalam film ini, fenomena ini dibenturkan dengan ungkapan dalam Islam yang kurang lebih berbunyi "Sebaik-baiknya perempuan adalah yang paling ringan maharnya". Keberanian inilah lantas membuat Uang Panai masuk nomine Penulis Skenario Terpuji Festival Film Bandung 2017.

     Terbaru saya diajak menyelami budaya Bali dalam Sekala Niskala (2018) karya Kamila Andini. Premis yang sederhana mengenai fenomena bayi kembar buncing (laki-laki dan perempuan) justru membawa saya pada pengalaman kultural yang menarik. Simbol-simbol seperti pura, kera, bulan yang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Bali bisa dinikmati oleh masyarakat luar Bali.

     Bergeser dari Bali sedikit, saya akan menyebrang ke Pulau Jawa tepatnya Jawa Timur lebih tepatnya lagi kota Malang. Belajar bahasa Jawa dengan latar Malang saya dapatkan dari film YoWis Ben (2018). Tidak melulu harus bicara arthouse, pengenalan keragaman juga bisa dituturkan dalam film bernuansa pop. YoWis Ben tidak akan nyaris satu juta penonton andaikata tidak menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun