Republik Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara demokrasi terbesar di dunia setelah USA dan India. Bahkan secara praktek, Demokrasi langsung kita adalah yang terbesar di Dunia. Dunia seakan mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Selaras dengan kutipan berikut " Norma tertinggi demokrasi bukan jangkauan kebebasan atau jangkauan kesamaan, tetapi ukuran tertinggi partisipasi (A.d Benoist). Argumentasi diatas sangat linear jika dikomparasikan dengan tingkat partisipasi pelaku demokrasi negara kita yang sangat tinggi.
Namun demokrasi tak seindah mimpi bulan madu. Secepat kilat ia akan berubah menjadi tragedi pilu. Masalah demi masalah menggerogoti iklim demokrasi di negeri sengkuni. Sebut saja korupsi, kolusi, nepotisme hingga oligarki. Perlahan mulai merasuki elemen negeri secara membabi buta. Menyulap demokrasi menjadi badut sulap kota. Mengebiri musyawarah mufakat dengan voting. Membungkam riak-riak kebebasan menjadi hening. Demokrasi seakan diuji, Akal sehat terlihat mati suri dibalik jeruji.
Baru-baru ini kita disuguhkan oleh drama partai politik demokrat. Khalayak dihebohkan dengan praktek adu kuat 2 kubu di internal partai berlambang mersi. Hingga puncaknya hari ini, Salah satu kubu menggelar KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara. Acara terbilang kilat dan tertutup. Dalam waktu singkat, KSP Moeldoko ditunjuk oleh peserta KLB menjadi ketua umum partai pemenang pemilu 2009 itu. Disisi lain, AHY sebagai ketua umum versi kongres tahun lalu mengklaim bahwa KLB Sumut itu ilegal dan inkonstitusional. Secara khusus AHY menggelar konfrensi pers untuk mengklarifikasi kebenaran KLB yang menurutnya ilegal tersebut. Ia menuding KLB Sumut sarat akan kepentingan dan praktek-praktek inkonstitusional pada AD ART partai demokrat.
Lantas bagaimana publik seharusnya menyikapi dinamika partai demokrat? Berikut beberapa argumentasi yang dapat kita amati sebagai publik dari negara demokrasi.
1. Terlepas sah atautidaknya KLB, sangat disayangkan bahwa ketika masih dilanda pandemi covid 19, publik malah diributkan dengan masalah dinamika politik yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dalam menghadapi pandemi. Memicu kegaduhan baru yang tentunya merugikan masyarakat luas. Fokus masyarakat menjadi terbelah dengan adanya isu kudeta partai ini. Padahal Presiden Jokowi selalu berpesan bahwa kiranya seluruh lapisan masyarakat dapat bersatupadu dalam melawan pandemi covid 19. Namun nyatanya kebersamaan ini dirusak oleh beberapa oknum politik itu sendiri.
2. Keberpihakan terhadap penerapan protokol kesehatan. Apapun hasil dari KLB Sumut tidak terlalu penting terhadap mayoritas secara luas. Namun jika kita lihat dari berbagai media, sungguh miris melihat KLB Sumut kemarin. Seperti tak membatasi jumlah peserta, terjadi kericuhan diluar arena KLB serta tidak adanya oknum kepolisisan ataupun satgas covid 19 angkat bicara. Mengapa acara sebesar itu dengan lancarnya dilaksanakan dengan prokes yang rendah. Namun jikalau ada lapisan masyarakat umum membuat kerumunan sedikit saja langsung ditindak dengan cepat. Lantas apakah ini yang namanya iklim negara demokrasi?
3. Presiden mesti menegur KSP Moeldoko. Sebagai KSP, Pak moeldoko seharusnya menjaga asas asas demokrasi sebagai citra pak presiden. Presiden tentu menjadi simbol demokrasi kita. Akan tetapi sangat disayangkan dirusak oleh orang terdekatnya dengan praktek demokrasi yang kurang etis. Langkah yang ditempuh KSP Moeldoko kurang terpuji dan tidak menunjukkan sikap negarawan dalam berpolitik. Seharus nya jika KSP Moeldoko paham situasi, tentunya ia akan menahan diri kepentingan pribadi nya demi kestabilan politik nasional. Pemerintah dan msyarakat tengah bersusah payah melawan pandei covid 19, akan tetapi ada oknum-oknumpejabat tinggi yang membuat kegaduhan. Tentu sangat miris melihat praktek demokrasi hari ini.
Kesimpulannya adalah apapun yang terjadi sah atau tidaknya KLB Sumut biarlah penegak hukum yang memutuskan. Sebagai publik biasa kita hanya bisa menyoroti dampak yang ditimbulkan oleh dinamika tersebut kepada kita sebagai masyarakat. Karena politik pada hakikatnya sebagai sistem yang semakin lama semakin tumbuh bukan sebaliknya. Para pelaku politik seharusnya mengedepankan pendidikan politik berdasar humanitas politik, bukan justru menjadikan animalitas politik sebagai prinsip dasar. Insting kebinatangan dalam rangka merayakan nafsu. Degradasi kultural politik, jelas-jelas dikembangbiakkan oleh tingkah-tingkah demikian. Mental para pemangsaPara pelaku politik seharusnya mengedepankan pendidikan politik berdasar humanitas politik, bukan justru menjadikan animalitas politik sebagai prinsip dasar. Insting kebinatangan dalam rangka merayakan nafsu. Degradasi kultural politik, jelas-jelas dikembangbiakkan oleh tingkah-tingkah demikian. Mental para pemangsa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H