Mohon tunggu...
Abdul Rajab Adnan
Abdul Rajab Adnan Mohon Tunggu... Lainnya - Masih berusaha untuk menjadi manusia

Ikatlah jiwamu dengan akal, oleh itu engkau akan menemukan apa yang paling layak bagi dirimu, keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jalan Lain Agama - Sosio Epistemologi Islam

3 Februari 2025   11:03 Diperbarui: 3 Februari 2025   12:35 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nilai hakiki dari sebuah pengetahuan terdapat diluar pengetahuan itu sendiri. Dikarenakan, segala sesuatu yang tersantir oleh mental manusia secara azali tidak sebagaimana realitas yang disantirkan di luar/eksternal. Pertanyaan, apakah manusia hanya ingin hidup dengan sekedar yang dipikirkan (sudut pandang). Begitupun dengan agama bahwa pastilah agama memiliki tujuan dan akan menemukan bentuknya pada realitas.

Sehingga, yang dimaksud orang beragama yaitu, kesesuaian antara ide dan realitas (tindakan). Oleh karena itu, terdapat relevansi teeritis antara epistemologi (pengetahuan) dan agama. Relevansinya pada sebuah kedudukan, ketika tujuan hakiki dari pengetahuan manusia dan beragama yaitu, ketika sesuatu yang dikonsepsikan telah menemukan bentuknya (objektifikasi) pada tindakan. Artinya, tidak ada lagi jarak yang membentang antara apa yang dipahami oleh pengetahuan dan pemahaman terkait agama terhadap apa yang dilakukan (perbuatan). Layaknya, ketika sebuah pengetahuan telah berwujud substantif maka, pengetahuan itu melingkupi dan mampu menjaga manusia (keterjagaan).

Apa yang ingin ditekankan dalam agama? Yaitu, terkait pemahaman tentang agama tersebut. Artinya, siapapun yang berkeyakinan terkait sesuatu terlebih agama mestilah memiliki dasar simpulan atau mukadimah pengetahuan sebelumnya. Sehingga, yang paling dimungkinkan untuk ditumbuhkan menjadi kultur (budaya) terhadap kondisis/situasi perbedaan keyakinan di alam adalah budaya diskursus dan dialog agar cara beragama manusia tidak cenderung pasif dalam beragama, tidak jumud, dan menjauhkan diri dari kehidupan bersama (sosial).

Selanjutnya, sejauh ini apa persoalan terhadap simpulan keyakinan beragama yang perlu diperbaharui (refleksi)?

Pertama, permasalahan seputar epistemologi. Karena, sejauh ini persoalan mendasar apakah agama memiliki pijakan rasionalitas dan bagaimana agama terimajinasikan sebagai kendaraan untuk kembali kepada fitrah (suci) sebagai substansi penciptaan atas dasar kemandirian (rasional). Sehingga, pada posisi itulah akan agama bernilai sebagai suatu rangkaian perjalanan (suluk) untuk kembali kepada jiwa yang satu (nafs mutmainnah) dalam pandangan akal (keterjagaan).

Kedua, melihat kembali dasar-dasar kepercayaan dengan epistemologi (pengetahuan/kesadaran) agar agama yang diyakini juga memiliki nilai makro (sosial). Dikarenakan, secara lahiriah (alami) memang manusia berhubungan dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, pengetahuan (epistemologi) juga memiliki watak/kedudukan sosial begitupun dengan agama.

Kemudian, berangkat dari kecenderungan (fenomena) sekarang beberapa orang beragama hanya untuk agama itu sendiri. Artinya, keyakinan agama hanya demi kepentingan terkait eksistensi dirinya sendiri (individualisme). Sementara, yang apa dimaksud dengan sebuah kesadaran beragama yang predikatif (terkukuhkan) mestilah, andil (berpihak) dalam perubahan, kemajuan, ataupun pembaharuan sosial (transformasi) dan hidup di dalam keadilan dan kebenaran bersama masyarakat.

Lantas pertanyaanya, dimana posisi dan kedudukan para pemuka agama atau lembaga agama berpihak? Dimana keberpihakan atau bentuk objektifikasi dari keyakinan tentang keyakinan beragamanya (tauhid)? Jika, melihat jauh kebelakang (sejarah) kenabian dan setelahnya. Bahwa agama merupakan tindakan pelayanan. Pelayanan yang seperti apa? Yakni, membawa (mengantarkan) masyarakat kepada kesempurnaan (kelayakan).

Titik tekannya, dengan begitu jelas bahwa pengetahuan tidak mungkin hanya untuk pengetahuan itu sendiri dan agama tidak hanya untuk agama yang bersifat sendiri-sendiri (subjektif). Oleh karena itu, titik pertemuan dari bagaimana mengobjektifikasi pengetahuan dan agama yang paling real (nyata) adalah terlihat pada tindakan atau menjadi ideologis. Ideologis itu artinya, memiliki ketersambungan kepada kesucian (spiritualitas). Sehingga, dengan dasar kesadaran itu eksistensinya bertindak bukan karena kepentingan sendiri-sendiri (subjektif).

  • Epistemologi pengalaman agama (mistik) : Murtadha Muthahhari, Prof. Kuntowijoyo, dan Allamah Iqbal

Secara singkat apabila menelisik dan mengkaji pemikiran, Allahuyarham (Prof. Kuntowijoyo) pada salah satu karyanya terdapat metodelogi yang disebut dengan strukturalisme transendental.

Strukturalisme transendental sebagai epistemogi atau ukuran cara pandang untuk memahami kedudukan beragama. Secara sederhana epistemologi (prinsip) Kuntowijoyo berbicara terkait struktur dalam agama seperti, shalat, haji, puasa, dan zakat dapat membawa jiwa (nafs) manusia kepada transenden. Artinya, ada pertautan atau kehamornisan diantara kedua konsep yang berbeda yaitu, alam batin dan alam raga (fisikal).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun