Politik Islam haruslah sampai kepada simpulan yang sama dengan gagasan Islam itu sendiri yaitu, kesucian/metafisika, bahasa Kuntowijoyo disebut transendental. Politik Islam adalah berpijak dan bersandar pada prinsip kesucian. Teori akal kenabian (akal suci). Posisi kenabian tersebut melayani masyarakat menuju kepada kesempurnaan. Secara sederhananya mengantarkan apa yang layak bagi masyarakat. Sehingga, arti dari konsep politik dalam Islam, bahwa mengantarkan masyarakat kepada apa yang paling layak. Dalam hal ini layak berdasarkan nilai pengetahuan niscaya/substansi/akal yakni kebenaran dan keadilan.
Pertanyaannya, siapa yang mampu mengantarkan masyarakat kepada tujuan tersebut? Sedangkan, kenabian telah ditutup dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. Permasalahannya, sejarah inilah yang acap kali banyak  melihatnya secara terpisah, terputus, dikotomi, tidak utuh, dan seterusnya. Sehingga, menimbulkan banyak pertanyaan, konflik internal, dan itu menjadi dominasi dalam stigma atau pada pola pikir masyarakat.Â
Bahwa sejatinya terdapat sebuah sejarah yang suci. Seorang filsuf, Baqir Sadr mengatakan dalam tafsirnya bahwa "Allah adalah bagian dari hukum sejarah. Lantas, dimanakah posisinya? Ialah, dalam sebuah ikatan batin. Oleh karena itu, manusia mesti kokohkan dahulu sejarah tersebut dalam batin (hati) manusia. Â Artinya, bertindak atas sebuah sejarah yang tertanam dalam batin itulah kita mengingat Allah Swt (dzikir). Dengan mencontoh kehidupan kenabian/manusia suci kita senantiasa berhubungan kepada-Nya. Sebab, tindakan kenabian itu semua perbuatan Tuhan karena yang diucapkan dan tindakan (ahlak) semuanya adalah wahyu dan perbuatan Tuhan.
Perbedaan terhadap sikap sejarah inilah yang membedakan filsafat politik Islam dan pengertian politik sebagaimana yang terjadi di Barat. Mengapa, karena Barat tidak berkepentingan dengan kebenaran sebuah sejarah. Seperti itulah pola pikir  yang cenderung terjadi akhir-akhir ini dan bahkan juga cenderung masih marak menyelimuti  beberapa pemikiran dunia elitis atau perguruan tinggi. Sebagai contoh, mengapa di perguruan tinggi (kampus) yang dibahas hanya  dinasti Muawiyyah dan Abbasiyah. Pertanyaanya,  mengapa kemudian tidak membahas mengenai dinasti Fatimiah? Hal ini sejauh data yang ditemukan penulis. Silahkan kritik atau koreksi jika ada pandangan/data terbaru.
Berdasarkan itu, dapat dikatakan bahwa ada sebuah cara berpikir/paradigma yang bersifat dualitas/tidak utuh (menyeluruh) terhadap pembacaan sebuah narasi sejarah. Dimana  hanyalah terdapat ruang untuk melihat melalui sudut pandang satu sisi semata. Misalnya, hanya dari sudut pandang mazhab tertentu ataupun kelompok tertentu lainnya. Sehingga, tidak berdasarkan kepada kebenaran hakikinya (keseluruhan/universal). Sedangkan, dalam politik Islam harus dibedakan antara sesuatu yang suci/terjaga/konsep hijab dan yang tidak suci. Dengan demikian, bagaimana makna itu harus dikembalikan dahulu kepada kenabian atau asasnya yaitu, kesucian.
Terdapat juga pandangan yang menganggap otoritas Tuhan (secara vertikal/atas) tidak lagi meninggalkan nama untuk menjadi pemimpin dalam Islam. Padahal, meski Tuhan tidak lagi menetapkan hal itu misalnya, pada pasca Imam Ali bukan berarti tidak ada lagi kepemimpinan Islam yang akan terus  berlanjut. Sebab, sejatinya Tuhan telah meninggalkan "kriteria" atas sebuah pemimpin yang layak dalam memimpin masyarakat yakni faqih dan adil. Hal itu terlihat pada teori imamah. Dimana memiliki kriteria atau gagasan kesucian tersebut, faqih dan adil.
Bahwa politik Islam perlu diketahui sedari awal memang tidaklah terikat hanya pada hal yang fisikal/esensial semata tetapi, bagaimana hubungan batin atau jiwa yang tersambung kepada kesucian yang telah disebutkan diatas. Karena, gagasan itu sejatinya tidak melihat pada batasan fisik (indriawi) semata. Artinya, tidak mesti terikat pada suatu wilayah tertentu (geografis). Oleh karena itu, ketika sebuah negara walaupun bukan sebagai negara Islam. Akan tetapi, ketika masyarakatnya terhubung dengan gagasan/ide itulah dapat disebut sebagai bagian dari masyarakat daripada sebuah pemerintahan Islam. Mengapa demikian, karena dia telah menyambungkan gagasan/prinsipnya kepada kesucian (akal kenabian).
Akal adalah sama dengan yang layak. Nah, yang layak bagi akal hanyalah kepada kebaikan/keadilan (suci/terjaga/hijab). Akal mengatakan tidak boleh menyerah, diam, dan mundur kepada segala hal yang keluar dari poros akal/penyempurnaan tersebut. Sehingga, akal hanyalah dinisbahkan kepada manusia. Kelebihan tersebut terdapat pada diri manusia.
Oleh karena itu, sebenarnya paradigma politik Islam dengan teori akal kenabian (alam ide) secara universal dapat diterima di segala wilayah/penduduk/geografis. Mengapa, karena prinsipnya adalah apa yang layak bagi akal. Maknanya pasti tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Sebagaimana cinta/mahabbah. kebaikan, kasih sayang, tolong menolong, dan seterusnya. Maka, politik Islam dapat mengantarkan apa yang layak bagi masyarakat yang tentunya terdiri atas beberapa entintas individu. Meskipun, begitu beragam atau terdapat perbedaan di  realitas eksternal. Sehingga, jika ditarik kepada teori dalam ontologi yakni; bagaimana yang beragam itu kembali kepada yang satu (mengerucut), sebagaimana alam ide Plato.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mampu paradigma yang beragam di alam ini (entitas/individu) dalam masyarakat dapat diselesaikan? Semua hadir dengan persoalan yang berbeda-beda, tradisi, suku, ras, kesadaran ataupun capaian yang cenderung berbeda-beda, dan seterusnya. Oleh karena itu, disitulah peran sebuah keadilan dalam politik Islam ini sebagai asas pijakan (prinsip) dan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpinnya.