Tafsiran insan kamil pada tulisan kali ini tidak terlepas dari teori insan kamil apa yang dijelaskan oleh Ibn Arabi dan Mulla Sadra. Insan kamil atau dapat disebut sebagai manusia sempurna. Manusia yang memiliki derajat kesucian. Makna kesucian disini ialah, makna yang diambil dari struktur  ontologi (spiritualitas). Artinya, memiliki makna yang satu (wujud). Sehingga, tidak menjadi makna yang abstrak tanpa sebuah struktur pengetahuan (filsafat).
Insan kamil sebagai hal yang sentral dalam sebuah gerakan sosial. Sebab, insan kamil telah melepaskan atau mengalami (keterlepasan) terhadap hal-hal yang material (duniawi), ego, kepentingan individu, nafsu, dan seterusnya. Sehingga, segala perbuatan yang dilakukannya dalam gerakan sosial murni hanya untuk kembali kepada Allah Swt. Dari Allah Swt dan kembali ke Allah Swt. Bukan dari rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan membentuk dinasti politik.
Mengapa insan kamil menjadi titik sentral dalam gerakan sosial khususnya dalam kajian "Gerakan Sosial" Imam Khomeini? Sebab, dia yang suci---dia sebagai teladan---dia sebagai sirath---jalan untuk mencapai transformasi jiwa. Disinilah, letak atau lokus dari gerakan sosial. Oleh karena itu, melalui jalan kenabian atau insan kamil sebagai pembimbing batin (wilayah). Sebab, ketika batin yang telah terhubung maka, semestinya secara teori fisik secara luaran (eksternal) telah pasti ikut bergerak.
Jiwa yang bertransformasi yang melakukan gerakan sosial memiliki arti apa? Ialah, telah meninggalkan fisiknya (jasad) pada alam materi (alam). Artinya, telah meninggal sebelum meninggal. Dengan demikian, tahap selanjutnya dari hal tersebut ialah, syahadah atau kesaksian. Dirinya telah lenyap tetapi, jiwanya telah abadi bersama wujud. Asumsi seperti itu maka, dimungkinkan dirinya rela berkorban apapun tanpa terkecuali. Sebab, yang ada bagi dirinya tinggalah satu, yaitu wujud---wajah abadi---cinta Allah.
Syarat dari transformasi jiwa ialah, melalui taskiyat al-nafs atau penyucian jiwa. Batin sebagai infrastruktur dengan basis tradisi intelektual/paradigmatik. Lalu, memiliki titik tengah teori imamah. Imamah sebagai jalan yang tidak terputus dari kenabian sebagai manusia sempurna atau bentuk keteladanan nyata dari kesucian/keterjagaan. Dengan meneladani Nabi Muhammad Saw untuk mendapatkan cinta-Nya maka, itu sebagai metode mengantarkan kita kepada "cara kembali secara sukarela".
Sangat rapuh melihat fenomena gerakan sosial saat ini, gerakan yang dilandasi tanpa melalui transformasi jiwa. Menurut penulis, tidaklah lebih dari sekedar nilai kepentingan pribadi---ego duniawi. Karena, ketika mereka tanpa disucikan (keterjagaan) dan diperhadapkan pada sebuah tawar-menawar jabatan atau kekuasan, dan uang. Sehingga, sangat besar kemungkinan hal tersebut akan terjadi. Penyucian jiwa menjadi penting, karena secara sederhana telah melepaskan/tidak mengharapkan apapun kecuali apa yang didengar dan dilihat hanya wajah Ilahi.Â
Dengan demikian, selagi belum manusia suci atau setidaknya yang memiliki derajat (gradasi) kesucian yang  lebih tinggi daripada individu lainnya yang terdapat di dalam masyarakat untuk memimpin sebuah gerakan sosial atau bahkan sebuah negara, dalam hal ini jika ditarik ke dalam konteks ke-Indonesiaan. Jangan harap dapat melakukan sebuah transformasi sosial. Karena, sebelum turun ke sosial. Kita perlu persiapan terlebih dahulu ialah, dengan melalukan transformasi diri, keluarga, dan terakhir sosial (masyarakat). Sebagaimana dalam teori empat perjalanan jiwa Mulla Sadra.
Namun, menarik kepada kacamata kita di indonesia ini.  Dimana jiwa ingin melihat ruh model tersebut saat ini? Menurut penulis, belum ada yang layak untuk dapat dijadikan sebagai pemimpin gerakan dalam masyarakat atau politik. Sayangnya lagi, hal itu semakin pelik jika, masyarakat Indonesia tidak  menyadari kekosongan sosok atau model (moral guide) dalam sebuah kepemimpinan masyarakat.
Pada faktanya, sekarang kita melihat banyak social movement ataupun partai politik yang berkoar-koar ingin melakukan sebuah perubahan. Akan tetapi, perubahan yang dikeluarkan dari mulutnya memiliki makna apa? Tentu kita perlu batasan (definisi) yang jelas secara teoritis atas apa arti kata "perubahan" menurut mereka seperti apa? DIkarenakan, jangan sampai perubahan yang mereka katakan (para pejabat negara/penguasa) dari partai politik dan sebagainya yang mengatasnamakan rakyat tersebut.Â
Sebenarnya hanya ingin melakukan perubahan pada kepentingan suatu individu/kelompok tertentu (termasuk dirinya) seperti, menimbung kekayaan, memiliki rumah mewah, rekening yang awalnya tipis menjadi tebal (banyak), mobil yang sebelumnya telah mewah menjadi lebih mewah lagi, dan seterusnya. Siapa yang ingin menolak fakta atau data tersebut? Hal tersebut tentu tidak akan tertolak lagi, apalagi  seseorang tersebut masih menggunakan persepsi material dalam memandang kehidupan/realitas ini.
Namun, pertanyaanya mengapa mereka harus mengatasnamakan rakyat? Sebab, sebenarnya  rakyat tidak pernah merasa diwakilkan atas kehidupannya yang tertindas, sengsara, dan tidak memiliki tempat tinggal (gelandangan). Sementara, yang katanya "wakil rakyat" sedang santai dan asik saja duduk manis di kursi kekuasaannya, lalu datang rapat hanya tergantung psikologis/suka-suka mereka saja. Parahnya lagi, ketika para penguasa memakan uang rakyat dengan beberapa dalil (untuk kepentingan rakyat). Sangat miris sekali memang jika ingin melihat fakta tersebut dalam konteks ke-Indonesiaan.