Mohon tunggu...
Raja Azhar
Raja Azhar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Masakan Padang Bukan Hanya Tentang Rasa

7 November 2023   11:48 Diperbarui: 7 November 2023   12:26 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau bicara soal kuliner paling populer di Indonesia, masakan Padang bisa diadu kayaknya. Kuliner dari negeri minang ini memuat berbagai jenis masakan, mulai dari Sate Padang, Soto Padang, dan tentunya Nasi Padang. Peminat dari masakan Padang sendiri tidak terbatas pada orang minang saja, tapi hampir seluruh masyarakat Indonesia suka dan doyan sama masakan ini. Kalau kita perhatikan, terutama di Jawa dan Sumatra, masakan Padang selalu eksis baik di pinggiran jalan hingga ke pusat perbelanjaan besar. Mulai dari pasar yang becek dan panas, hingga mall yang adem dan elegan, jenis masakan ini selalu nangkring di sana. kalau di mall sih, minimal ada di basement atau kantin karyawan lah ya, hehe. 

Walau populasi suku minang atau masyarakat Sumbar itu gak terlalu banyak, masih kalah jauh dari masyarakat Jawa dan Sunda, tapi persebaran masakan Padang di seluruh Indonesia gak main-main. Hampir mustahil, di seluruh pelosok suatu kota dan di pinggiran jalannya gak terdapat masakan Padang ini, entah itu Sate atau Nasi Padang, dua jenis masakan Padang paling populer. Di Jakarta aja, banyak warung Nasi Padang yang letaknya berdekatan, bahkan bersebelahan!

Sangking populernya masakan Padang, sampai susah, lho buat nyari mana yang otentik. Soalnya makin banyak penjual, entah bos, tukang masak atau karyawan yang ternyata bukan orang Padang asli. Bukan rasis, lho ya, tapi ini soal rasa yang pastinya agak berbeda. Bicara soal rasa, entah kenapa kerabat saya yang besar di Padang pasti agak pemilih sama Restoran Padang yang dikunjungi. Apalagi nenek saya, kalau penjualnya gak ngomong Bahasa Minang, hampir pasti nenek saya bakal pergi dan nyari Restoran Padang lainnya. Hal ini saya tahu dari ayah saya, ketika selesai proses kelahiran saya, niatnya sih ayah saya pengen memuliakan ibu mertua, eh baru tahu kalau nenek saya sangat pemilih soal itu. Katanya, sih karena beliau gak cocok sama rasa masakan Padang yang tidak otentik, jadi kalau diajak ngomong Bahasa Minang saja tidak bisa, rasanya gak terjamin, katanya.


Tapi, semakin dewasa, saya makin menyadari bahwa masakan Padang bukan hanya tentang rasa saja. Ada kebaikan, emosional dan kepercayaan serta kesabaran yang melingkupi masakan tersebut. Agak lebay, tapi ini beneran, lho. Pas jadi anak kos baru tahu, kalau Nasi Padang yang dibungkus itu adalah makanan paling mengenyangkan di tengah suasana irit. Porsi nasi yang banyak, ditambah cita rasa yang sedap, dimana gurih, asin, pedas bercampur jadi satu, mantap banget pokoknya. Nasi Padang juga yang paling lengkap komponennya dalam satu porsi. Biasanya kalau beli makanan lain jarang buat sekalian include sayur untuk kebutuhan serat tubuh kita, tapi di Nasi Padang sayur singkong jadi komponen tambahan yang gratis. Emang gak sehat-sehat amat, tapi setidaknya tubuh ini bisa merasakan sayur lagi. Porsi nasi yang lebih banyak buat dibungkus juga jadi contoh kebaikan lain, yaitu akomodasi bagi mereka yang introvert dan malu makan diluar. Pengertian banget kan, hehehe.

Nenek saya pernah jelasin, kalau kecenderungan dia buat milih makan di Restoran Padang otentik itu ada alasannya, salah satunya ikatan emosional. Sebagai orang yang besar disana dan lama merantau di Jakarta, makan masakan Padang yang otentik sedikit mengobati kerinduannya dengan kampung halaman dulu. Apalagi kalau ketemu orang asli Minang, rasanya seperti kembali ke kampung halaman, katanya.

Apalagi kalau lihat kepercayaan mereka terhadap pelanggan, seperti makan dulu bayar nanti, padahal ada resiko orang itu makan tapi sebenarnya tidak punya duit. Atau ketika makan di tempat langsung dihidangkan semua menunya, itu nunjukkin kalau mereka percaya banget ama rasa masakannya, dan yakin kalau kita suka semuanya. Kayaknya nggak ada warung masakan lain yang mau buat menghidangkan segitu banyak, kan belum tentu disentuh semuanya, ya. Jadi, salut deh buat effort mereka ngeluarin semua menu ke meja kita, tanpa takut kita cuman ambil ayam sepotong aja.

Terakhir, itu masalah kesabaran. Sebagai salah satu keturunan minang, walau udah gak asli dan murni, saya umumnya makan makanan Padang di rumah. Apalagi pas perayaan hari besar kayak lebaran, semua gulai, rendang, sambal dibikin oleh keluarga saya. Jadi, sedikit-banyak saya tahu bagaimana lelahnya membuat masakan-masakan itu. Mulai dari waktu pembuatan, hingga prosesnya yang kadang itu ribet banget. Contohnya aja Rendang, kalau mau buat rendang asli, perlu waktu lama untuk membuatnya. Apalagi masakan-masakan yang pakai santan, harus diaduk terus menerus. Kebayang banget capek dan lelahnya, yang bisa diambil sebagai pelajaran.

Tulisan ini bukan soal etnosentrisme, atau tindakan diskriminasi dan mengunggulkan golongan tertentu. Hanya ingin mengagumi dan memuji masakan Padang, masakan yang jai lauk utama dalam rumah saya, dan menolong saya saat kelaparan di kamar kos. Jadi, ayo makan masakan Padang juga, dan rasakan kenikmatannya!!!!! (Sekalian promosi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun