Beberapa waktu lalu saya menemukan satu berita di salah satu media online. Terus terang hal itu membuat saya agak bingung tentang kiprah PSSI di bawah kendali Bapak Djohar Arifin dan sedikit berkurang rasa simpati saya. Mungkin hal ini disebabkan kekurang tahuan/minim informasi yg saya dapatkan selama ini. Berikut kutipan lengkap beritanya (maaf bila dianggap copy paste, para admin boleh menghapus) :
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
JAKARTA - Alih-alih menanggapi seruan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang merupakan kedaulatan 452 anggota resmi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, Djohar Arifin dan Farid Rahman malah mempertanyakan keabsahan hasil Kongres II PSSI di Bali.
"Bagi saya reaksi tersebut adalah pengalihan isu yang tidak penting untuk ditanggapi," kata Bendahara Komite Penyelemat Sepakbola Indonesia (KPSI), Budi Setiawan tadi malam.
Budi mengatakan bahwa publik harus tahu mengapa kisruh PSSI terus berlanjut. Awal kekisruhan ini saat pengurus PSSI yang terpilih dalam Kongres Solo mengacaukan sistem kompetisi. Pengelola kompetisi pun diganti yang semula PT Liga Indonesia menjadi PT LPIS. Bahkan, nama kompetisi pun berubah dari Liga Super Indonesia (LSI) menjadi Liga Primer Indonesia (LPI).
"Namun dua poin diatas bukanlah hal krusial, sebab itu adalah bagian dari resiko dalam dunia organisasi dan dunia bisnis," ungkap Budi.
Poin utama yang menjadi vital dalam kekisruhan ini, lanjut Budi, adalah ketika PSSI mengubah jumlah peserta kompetisi tanpa prosedur dan mekanisme yang sesuai aturan organisasi. Dan yang paling penting serta mendasar dalam dunia olahraga, pengurus PSSI tidak mengindahkan kaidah fairness, fairplay dan sportitifitas.
Menurut Budi, masuknya enam klub tanpa melalui promosi sangat melukai hati para klub yang sudah berkompetisi selama satu musim dan sangat menciderai makna kompetisi. Padahal berubahnya jumlah peserta kompetisi dalam sebuah strata liga berpengaruh terhadap strata kompetisi di level bawahnya.
"Pengurus PSSI mengubah nama kompetisi ISL menjadi IPL. Kemudian mengubah jumlah klub peserta yang sebelumnya 18 menjadi 24. Enam klub tambahan ini berasal dari divisi di bawahnya, yaitu divisi utama. Perubahan ini berimplikasi terhadap jumlah klub di divisi Utama. Sementara untuk mencukupi jumlah klub peserta yang sudah 'terpromosi mendadak' maka secara alamiah terpromosi juga tim-tim divisi satu, dua dan tiga, yang seharusnya tidak promosi," jelas Budi.
Hal inilah, masih kata Budi, yang menciderai semangat kompetisi, menciderai kaidah fairness dan fairplay serta jauh dari sportif. Dan inilah yang membuat 452 anggota resmi PSSI menyatakan mosi tidak percaya dan mendelegitimasi kepengurusan Djohar-Farid serta menyuarakan KLB untuk mengganti kepengurusan. "Apa yang dilakukan Djohar-Farid berbanding terbalik dengan ucapannya yang katanya demi sepakbola, demi merah putih. Promosi maupun degradasi melalui sebuah kompetisi butuh darah dan keringat, sementara Djohar-Farid mengabaikan itu," tegas Budi.
Sekali lagi, Budi menegaskan bahwa keputusan merubah jumlah peserta kompetisi dan promosi gratis enam tim merusak sistem strata kompetisi yang merupakan sebuah pakem dalam dunia olahraga sepakbola. Dan naif bila Djohar dan Farid berasumsi bahwa klub Divisi Satu, Dua dan Tiga tiba-tiba ikut dalam Rapat Akbar Sepakbola Nasional. Sebab klub-klub tersebut adalah imbas dari kebijakan pengurus PSSI yang mengkerdilkan semangat kompetisi. "Jadi bukan tanpa alasan klub divisi satu, dua dan tiga ikut menggelindingkan mosi tidak percaya sekaligus mengamanatkan KPSI untuk menggelar KLB. Merekalah korban efek domino kebijakan pengurus PSSI yang gagal paham mengelola kompetisi," ungkap Budi.