Sebelumnya, saya pernah menulis tentang masalah yang tengah saya hadapi (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/04/08/pak-jokowi-pak-ahokmana-bantuannya-gua-diphk-nih-549572.html) . Tapi saya tidak akan membahasnya lebih lanjut di sini.
Ada benar , ketika pemerintah DKI Jakarta, Bapak Jokowi, mengeluarkan Pergub No. 8 Th. 2013 mengenai kenaikan UMP 2013 sebesar 44% untuk DKI Jakarta merupakan kabar yang menggembirkan. Dengan ini berarti perjuangan para buruh/pekerja telah didengarkan oleh pemerintah. Dan untuk hal ini, para pekerja/buruh sangat berterima kasih kepada Bapak Gubernur Joko Widodo atas perjuangan dan bantuannya.
Namun sikap Pro dan Kontra terus terjadi antara para pelaku industry, baik pengusaha, pekerja ataupun pemerintah sendiri. Banyak pengusaha menyatakan keberatan mereka atas keputusan itu. Sedang bagi pekerja/buruh sendiri, ada perbedaan persepsi atas keputusan ini. Seperti, bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan Diploma/Sarjana dan pekerja yang masa bekerja lebih dari 5 tahun , mereka merasa tidak dihargai karena hampir tidak ada perbedaan upah mereka saat ini dengan mereka yang baru lulus dan bekerja.
Awalnya saya sendiri tidak mengerti bagaimana hal ini menurut peraturan ketenagakerjaan? Karena saya pribadi sudah bekerja lebih dari 10 tahun dengan latar belakang pendidikan Diploma, dan saat itu upah pokok saya hanya berpaut 300rb dengan upah mereka yang baru lulus dan baru bekerja. Apa yang terlintas dalam pikiran saya saat itu, bahwa perusahaan tempat saya bekerja akan melakukan penyesuaian terkait dengan masalah ini. Karena rasanya tidak adil bagi saya jika saat itu menerima Upah Pokok hampir sama dengan mereka yang baru lulus. Apalagi saya sudah bekerja lebih dari 10 thn.
Tapi ternyata, apa yang saya rasakan saat itu juga dirasakan oleh mereka yang keadaannya sama dengan saya. Berbagai kritik akan ditujukan kepada para buruh yang dianggap tidak tahu diri. Alasan latar belakang pendidikan menjadi alasan untuk saling menjatuhkan dan menghina satu sama lain. Atas dasar masalah ini, saya mencoba untuk melihat dari Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Th. 2003. Dan memang dalam UUK tersebut tidak pernah disebutkan bagaimana standar upah pokok yang seharusnya diterima oleh mereka yang lulusan Diploma atau Sarjana. Bahwa juga, ketentuan UMP hanya merupakan tolak ukur upah bagi mereka yang masa kerjanya antara 0-1 tahun. Tidak pernah disebutkan bagaimana rumusan untuk mereka lulusan Diploma atau sarjana atau mereka yang masa kerjanya lebih dari 1 tahun apabila terjadi kenaikan UMP yang tinggi sebagaimana yang terjadi pada tahun 2013 sekarang ini. Karena bagaimanapun juga, komponen standar kebutuhan hidup layak(KHL) berlaku bagi semua pekerja.
Di dalam UUK tersebut, hanya menyebutkan bahwa pengusaha/perusahaan diminta untuk mempertimbangkan Struktur dan Skala Upah pekerja berdasarkan pendidikan, masa kerja, pengelaman kerja dan prestasi dari pekerja. Dan pengusaha dilarang memberikan upah dibawah standar UMP yang ada. Penjelasan dari UUK yang terlihat abu-abu tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha yang bandel dalam pemberian upah kepada pekerja lulusan diploma atau sarjana. Jadi wajar, jika dalam iklan lowongan pekerjaan seringkali kita melihat upah yang ditawarkan perusahaan untuk mereka sangat rendah.
Terkait dalam masalah kenaikan UMP ini menurut saya, para buruh sama sekali tidak bisa disalahkan. Tapi dalam hal ini yang harus disalahkan adalah pemerintah yang selalu saja membuat sebuah undang-undang yang selalu saling bertentangan dan seringkali bisa ditafsirkan lain. Dan dalam hal ini juga, bagi mereka lulusan Diploma atau sarjana atau mereka yang masa kerjanya lebih dari 1 tahun. Mereka kebingungan mencari bahan yang bisa mereka gunakan untuk meminta dan menuntut kenaikan upah kepada perusahaan. Apa dasar hukum dan undang-undangnya?
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dalam hal nasib pekerjanya para pengusaha seringkali dan cenderung tidak perduli dan bersikap tidak adil lagi sewenang-wenang. Bagi mereka yang terpenting adalah keuntungan yang besar. Semakin sedikit uang yang mereka keluarkan untuk membayar pekerjanya, makin besar keuntungan yang mereka peroleh. Lalu apa yang bisa dilakukan? Tidak ada. Selama tidak adanya perbaikan dari undang-undang yang ada, keadaannya akan tetap seperti sekarang ini.
Di sisi lain, dalam menanggapi kenaikan skala upah bagi pekerja 2013 ini. Wajar kiranya pengusaha sendiri merasa kebingungan. Bukan karena pengusaha itu bandel, karena tidak semua pengusaha itu bandel. Namun pengusaha tidak bisa begitu saja menaikan harga dari produk atau jasa yang mereka jual kepada customer. Dan untuk mengatasi masalah ini, pemerintah sendiri telah memberikan jalan keluar dengan memberikan kesempatan kepada para pengusaha untuk mengajukan penangguhan atas kenaikan UMP yang terjadi.
Tapi bukan berarti dalam masalah ini tidak ada pengusaha yang membandel, mengabaikan atas keputusan gubernur tersebut. Apa saja akan mereka lakukan guna menghindari untuk melaksanakan kewajiban mereka tersebut. Terlebih dalam undang-undang ketenagakerjaan selalu saja ada cela yang bisa digunakan karena undang-undang tersebut bisa ditafsirkan berbeda. Seperti hal yang saya alami, Pihak managemen perusahaan tempat saya bekerja berdalih bahwa Upah Minimum=Take Home Pay= Uang pokok+Tunjangan Tidak tetap. Walaupun dalam UUK disebutkan bahwa, Upah Minimum=Upah pokok+Tunjangan Tetap.
Pengertian Tunjangan Tidak Tetap tersebut bisa masuk dalam pengertian Upah minimum apabila waktu pembayarannya dibayarkan secara bersamaan dengan Upah Pokok, atau Tunjangan Tidak Tetap tersebut diberikan bukan berdasarkan kehadiran dari pekerja.
Dalam kasus yang saya alami, Pihak managemen perusahaan mengerti atas cela yang ada. Dengan segera mereka merubah kebijakan mereka, yaitu membayarkan tunjangan tidak tetap tersebut bersamaan waktunya dengan Upah Pokok. Sehingga pengertian Upah Minimum menjadi=Take Home Pay=Upah pokok=Tunjangan tidak tetap. Atau dalam hal ini juga, banyak dari perusahaan/pengusaha yang memberikan uang pengganti dari upah lembur pekerjanya menjadi Tunjangan Operasional yang besarnya tidak berdasarkan kehadiran. Sedangkan Uang Lembur itu sendiri sebenarnya masuk dalam Tunjangan Tidak Tetap.
Semua penjabaran di atas, sesungguhnya merupakan penjabaran bahwa terkadang sebuah niat baik untuk melakukan perubahan menjadi tidak berarti, apabila setelah keputusan atau kebijakan dibuat tidak ada pengawasan yang nyata dari pemerintah, dari Bapak Gubernur, Pak Jokowi. Hal itu terbukti dengan apa yang terjadi pada diri saya sendiri.
Tidak sedikit pengusaha masih berlaku semena-mena kepada pekerjanya, hanya karena setiap pekerja butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Dalam hal ini juga, banyak pekerja menjadi takut untuk menanyakan, meminta dan menuntut apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Pengusaha selalu bisa mengintimidasi pekerja apabila pekerja dinilai terlalu mengganggu stabilitas perusahaan. Dan dalam masalah tindakan semena-mena yang diterima pekerja, para pekerja tidak tahu harus mengadu kepada siapa, dan apa yang harus mereka lakukan? Pekerja cenderung tidak mengetahui akan hak-hak mereka sebagaimana yang tercantum dalam UUK. Dan seandainya pekerja mengetahui, tidak berarti hal ini akan membuat pekerja mendapatkan kembali hak-hak mereka. Malah sebaliknya, mereka kehilangan apa yang seharusnya mereka dapatkan, seperti tidak mendapatkan uang pesangon, dan uang penghargaan masa kerja. Lalu jika pekerja melanjutkan masalahnya sampai pengadilan, apakah pekerja/buruh mampu membayar pengacara untuk membela mereka??
Hubunganya semua penjelasan diatas dengan Bapak Jokowi adalah, bahwa pada akhirnya Pak Jokowi harus tetap bertanggung jawab atas keputusannya tersebut apabila kemudian nasib pekerja setelah keputusan tersebut menjadi lebih buruk dari sebelumnya, Â kehilangan mata pencarian, seperti diPHK. Pak Jokowi dan Pak Ahok harus bersedia membela atau memberikan dukungan serta bantuan yang nyata lagi segera kepada pekerja. Meski dalam hal ini, para pekerja/buruh dapat mengadukan masalah kepada pihak Depnaker. Tapi biasanya perwakilan Depnaker hanya menjadi penengah agar kesepakatan antara pengusaha dan pekerja terjadi. Tapi bukan berarti setelah itu pekerja mendapatkan kembali hak-haknya.
Jika seandainya dari pemerintahan Pak Jokowi atau Pak Ahok menyediakan tempat bagi warganya untuk mengadukan permasalahannya, seperti memberikan no Hp untuk menerima pengaduan, Posko pengaduan, ataupun alamat email. Yang diharapkan warga adalah, pemerintah bukan hanya menampung masalah semata, namun pemerintah melakukan satu tindakan nyata lagi cepat. Sebab dalam masalah yang menyangkut pekerja/buruh, jika sudah ada bukti hitam di atas putih. Semuanya menjadi sulit untuk bisa diperjuangkan lagi.
Tapi sekali lagi, menurut penilaian saya, pemerintah sendiri tidak sepenuhnya bersalah meski mereka bertanggung jawab atas keputusan yang mereka buat. Sebab permasalahan yang menyangkut kehidupan warganya itu tidak sedikit. Terlebih dalam pemerintahan Pak Jokowi, hampir seluruh warga Jakarta mengeluh dan menyampaikan masalah yang mereka hadapi kepada beliau. Sudah barang tentu, Pak Jokowi harus pintar-pintar memilih mana masalah yang harus didahulukan. Walaupun pada akhirnya, tetap ada yang harus dikorbankan. Sebagaimana yang terjadi pada diri saya ini. Nasib.
Lalu bagaimana jalan keluarnya?? Tidak ada. Semua persoalan akan tetap menjadi seperti ini meskipun sebuah kebijakan dibuat untuk sebuah tujuan yang baik. Kebaikan itu akan tetap menjadi percuma dan tidak memberikan perubahan apa-apa. Dan inilah Jakarta. Ini hidup yang sebenarnya, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H