Pergulatan wacana spritual dalam dikalangan ulama terkemuka pada beberapa abad yang silam bayak menghadirkan titah yang bisa dinikmati oleh kita semua. Terbukti titah pemikiran yang dibubuhkan lewat karya-karya gemilangnya masih setia menemai para-para pemburu spiritual di seantaro dunia sampai saat ini. Keberlangsungan ini tidak lepas eksisnya kitab-kitab spiritul (tasawwuf) yang masih berkembang, bisa dikatakan datangnya ilmu Taswwuf senjata yang paling ampuh sebagai mediasi mempertemukan hambanya dengan Tuhannya. Kontribusi dan eksistensi ilmu tersebut adalah suatu keharusan tersendiri untuk menghadapi hiruk-pikuknya perkembangan saat ini. Sehingga peran dari ilmu tasawwuf tak pernah kering seiring dinamika dan inovasi zaman. Walaupun saja kehadiran ilmu tasawwuf ini terjadi ranah perdebatan tentang eksistensinya--yang menurut sebagian-kalangan-- menjadi penghambat laju perkembangan. Akan tetapi, kalau di tilik dari persepektif historis kedatangan tasawwuf adalah sebagai penyeimbang yang pada waktu itu mereka disibukkan dengan pemahaman-pemahaman ilmu yang bisa dikatkan berorientasi pada duniawi. Perlu diakui bersama bahwa ilmu ini merupakan warisan intelektual yang sangat membantu menemukan jati diri seseorang dengan tuhannya.
Karya yang dilahirkan beberapa abad yang lalu, terbukti sampai sekrang dijadikan rujukan khusus dalam fan tasawwuf. Diantara karya yang sampai saat ini masih dikaji diberbagai intitusi pendidikan, seperti Kitab al-hikam karya Syekh Atholillah al-Sakandari, Ihya’ ulumiddin karya Abu hamid al-Ghazali, dll. Maka dari itu, sudah saatnya bahwa tasawwuf dalam era kekinian merupakan tameng yang sangat kokoh untuk menyeterilkan antara kebutuhan duniawi dengan ukhrawi, supaya apa yang kita jalankan tidak berat sebelah, dalam arti kita bisa menyeimbangkan kerja intelektual dan kerja spritual.
Kembali pada pembahasan tasawwuf tadi, bahwa ulama sufistik mengklasifikasikan tentang pencapaian tangga menuju tuhan bisa diperoleh dengan beberapa bagian diantaranya:
1.Tasawwuf Akhlaqi, sebuah ajaran yang lebih menitikberatkan pada nilai etis kemasyarakatan.
2.Taswwuf Amali; ajaran ini lebih pada implementasi penghambaan yang bersifat ubudiyah untuk menentukan kualitas penghambaannya kepada Sang Pencipta.
3.Tasawwuf Falsafi; yang ketiga ini terbagi menjadi dua macam; 1. Tasawwuf transidental (sunni). 2. Tasawwuf misitik (syi’ie). Aliran yang ketiga ini lebih menekankan pada pendalaman spritual tingkat tinggi, sehingga bagi mereka yang belum mampu untuk mencapainya bisa kontroversial. Aliran yang ke tiga inilah dipelopori oleh Al hallaj, dan Ibnu Arabi,dalam konteks ke Indoesiaan adalah Syekh Siti Jenar (Maunggaling Kawula Gusti).
Nah, tentunya dalam memahami definisi ketiga ini adalah tak lepas dari kedewasaan dalam memahami objek metafisik, sedangkan metafisik tak bisa dinilai dengan realita, maka untuk bisa menemukan hakikat Falsafi ini adalah tak lepas dari kejernihan batin kita untuk melihatnya. Karena andaikan tidak demikian, akan mudah menyebabkan kesan tak baik dimata orang belum sampai pada tarapnya. Maka dari itu sudah hal tentu, mendalami onjek tasawwuf yang lebih mendalam (Tabahhur) menjadi sebuah keharusan, agar apa yang kita lihat tidak akan mengganggu terhadap hati yang melihatnya. Sehingga mereka bisa menilainya dengan hati yang bening pula.
Nah, dari pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa peregulatan menuju tuhan sangatlah beranekan ragam caranya, sehinga Syekh Abu Manshur Al-Hallaj pernah berkata “Aku menemukan beberapa cabang dari satu akar” kalau kita kontekstualisasikan perkataan ini, sebenarnya tuhan tidak memberikan jalan spesifik mengenai jalan yang ditempuh oleh hambanya, selama jalan itu tidak melanggar dari nilai-nilai kemanusaiaan. Tuhan pun tak akan tanya mengenai jalan itu. Dari pemahaman sederhana ini, penulis akan membuka wawasan yang terkesan sempit dan mudah mengklaim salah dalam menilai seseorang. Penulis hanya menghilangkan jauh-jauh klaim kebenaran yang tidak berdasar.
Berkaca pada pemahaman al-Hallaj, (al-hulul) Ibnu Arabi (Wahdatul wujud) Syekh Siti Jenar (Manunggaling Kawula Gusti), doktrin semacam ini sebenarnya muncul dari kejiwaan berbeda-beda untuk menyatukan dirinya dengan Tuhannya. Sehingga terjadilah Emanasi (peleburan diri dengan tuhannya).
Pertanyaannya; kenapa sebagian kalangan--bisa dikatakan--“para pembela tuhan” bagitu bernafsu menggantikan posisi “Tuhan” sehingga dengan mudah mengkafirkan sesama saudaranya yang Islam. Karena hanya ada perbedaan metode?. Dan kenapa seakan-akan mereka ingin mengganti posisi tuhan, yang paling berhak mengklaim salah dan benar? Bukankah Nabi pernah bersadda: “barang siapa yang mengkafirkan saudara yang Islam, maka dia yang menjadi kafir.
Sebenarnya kalau kita amati secara mendalam yang dilakukan oleh pakar sufi inilah yang kerap terjadi pertentangan ide, bukan karena mereka yang salah. Karena jalan atau maqam yang ditempuh oleh seorang sufi berbeda-beda. sementara kita masih blum sampai untuk mengarunginya. saat ini kita sering “gagap” ketika dihadapkan dengan perbedaan. Itu faktor yang sangat vital adalah ketidakmampun kita untuk menelaah dalam mengarungi samudara yang dilakukan oleh para-para sufistik itu. Ini sesuatu yang aneh sekali ketika terjadi, semestinya kita juga ikut andil dalam melakukan kemampuaannya untuk sampai kepada mereka. Sejatinya yang paling berhak menentukan status kebenaran adalah hak prerogatif tuhan, tak ada campur tangan dengan siapapun. Intensitas keilsaman seseorang tidak hanya dilihat dengan simbolisasi keagamaan, retorika keagamaan. Akan tetapi bisa di realisasikan dengan bukti amailyah (implementasi) antara dirinya dengan Tuhannya.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H