Mohon tunggu...
Raiz Ray
Raiz Ray Mohon Tunggu... -

Adalah santri yang tetap ingin belajar untuk tidak puas menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semalam Berkencan dengan Cak Nun

27 Februari 2015   18:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:25 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tak kenal sosok Emha Ainun Nadjib? Semua orang akan tahu, ketika sosok yang akrab disapa Cak Nun itu, pasti akan teringat dengan Gamilannya yang dikemas dengan dakwahnya melalui komunitas Kiai Kanjeng. Disamping beliau Seorang sastrawan, penulis, penyair,  dan budayawan, beliau juga sosok penda’i yang menggabungkan pendekatan budaya dan sosial-filosofis. Terbukti, dalam dakwah-dakwahnya tak banyak beliau menggeluarkan ayat-ayat Tuhan untuk melegitimasi perkataannya, beliau lebih pada pendekatan budaya sosial untuk menyuarakan pesan-pesan Tuhan kepada masyarakat.

Malam itu suasana langit Kediri bagitu cerah, Pagelaran Kiai Kanjeng yang di selengarakan oleh Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM)  Universitas Nusantara PGRI Kediri akan segera dimulai. Para mahasiswa dan para hadirin yang datang dari berbagai daerah bagitu antusias menunggu kedatangan sosok yang ditunggu-tunggu itu. Dan tak lama kemudian Cak Nun datang, para hadirin bagitu riuh dan semangat merapikan tempat duduknya masing-masing guna mendengarkan sari-sari hikmah dari apa yang disampaikan nantinya. Seperti biasa, sebelum acara dimulai, Cak Nun menyapa para hadirin dengan ramah, disertai dengan humor-humor yang khas, seakan-akan menambah keakraban antara dirinya dengan jamaah. Sekan-akan Cak Nun mampu menghilangkan kesenjangan dirinya dengan para jamaah yang hadir, bagitu juga para hadirin bagitu bagitu slow saling bertukar canda dengannya.

Malam itu, Cak Nun bagitu banyak mengulas pentingnya persaudaraan antara sesama, tak pilih beda agama atau tidak. bahwa semua itu merupakan saudara kita untuk dihormati, supaya masyarakat mampu memahami Islam secara mendalam dan menghargai keberagaman. sehingga masyarakat tak mudah tertipu dengan simbol-simbol tertentu. Cak Nun juga menuturkan, bahwa lafadz Allahu Akbar saat  ini menakutkan, karena dari kelompok Islam Radikalis bagitu banyak menggunakan lafadz tersebut dengan membunuh saudara-saudaranya. baginya perbedaan adalah rahmat, jangan sampai perbedaan itu melahirkan pertikaian, perbedaan menurutnya adalah rahmat.

Setelah Cak Nun merasa cukup untuk menyapa para para hadirin dengan joke-jokenya yang khas, kemudian dilangsungkan lagu kalimah yang dendangkan oleh Mbak Yuli, salah satu vokalis Kiai kanjeng dengan menggunakan aransemen lagu Gereja. Sungguh suasana semakin khidmat, semua hadirin yang hadir bagitu khusuk meresapi lagu salawatan tersebut. Pada saat itu, betapa Cak Nun berhasil menggabungkan suasana penuh warna, mampu mengilustrasikan agama dengan tajuk Rahamtan lil alamin. Dan mampu menyatukan kelompok mayoritas dengan minoritas tanpa ada yang merasa terdiskriminasi secara sosial. Betapa indahnya duduk bersama dengan orang umat Kristiani mendengarkan sosok solawatan ala orang Islam, dengan kombinasi aransemen ala Gereja. Sekan-akan Tuhan saat itu mengirimkan rahmatnya lewat Cak Nun. Beliau mampu menerjemahkan arti Rahmamatan Lil Alamin dalam secara holistik. Bahwa rahmat (cinta, kasing sayang) yang dibawakan oleh Nabi bukan hanya untuk orang Islam saja, akan tetapi untuk semua mahkluk Allah (Rahmatan Lil Alamin) termasuk orang Kristen. Betepa tidak, semua dari lagu-lagu Kiai Kanjeng bisa diterima oleh berbagai etnis dan agama. Disinilah kemampuan Cak Nun menerjemahkan pluralitas dan pluralisme yang diajarkan Nabi. Bagitu banyak sejarah membuktikan bagaimana Nabi bergaul dengan Nasrani Najran, bagaimana Nabi hidup rukun dengan orang-orang Yahudi Madinah, sampai-sampai beliau melahirkan undang-undang perjanjian antara dirinya dengan kaum Yahudi, untuk hidup rukun berdampingan tanpa permusuhan. sehingga lahirlah istilah Piagam Madinah (Shohifah al-Madinah).

Akhir kata, saya sebagai pengagum Cak Nun, berharap untuk terus belajar dan membaca dinamika sosial, agar tak mudah tertipu oleh simbolis tertentu, tanpa menyelami hakikatnya. Karena memaknai kebenaran jangan hanya dipandang benar secara subjektif, akan tetapi, ada keberanian untuk membandingkan sesuatu yang kita yakini dengan apa yang diyakini orang lain. Hargailah perbedaan, karena kebenaran itu relatif. Kebenaran hakiki hanyalah milik Tuhan. “Tidak ada kebenaran yang saya bawa, dan saya tidak membenar-benarkan siapapun dan menyalah-nyalahkan siapapun, yang ada adalah semangat untuk bersama-sama mencari kebenaran”. tutur Cak Nun, sebelum mengakhiri orasi ilmiahnya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun