Di era modern seperti saat ini, smartphone dan internet ialah bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan manusia. Riset yang dilakukan oleh Data Reportal menunjukkan bahwa pengguna smartphone di tahun 2022 mencapai 5,31 juta, atau 67,1% dari seluruh populasi di dunia. Tidak hanya itu, jumlah pengguna internet juga selalu meningkat sebanyak 4% setiap tahunnya, dan tahun ini telah berjumlah 4,95 juta pengguna. Para pengguna internet rata-rata menghabiskan waktu 7 jam perhari untuk mengakses internet lewat ponsel miliknya. Data ini memperlihatkan bahwa manusia semakin terikat dengan dunia digital dalam kehidupannya sehari-hari.
Peningkatan jumlah pengguna smartphone dan akses internet dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan dunia digital yang sangat pesat. Zaman sekarang, ponsel pintar dapat menjadi asisten pribadi bagi pemiliknya, yang memudahkan urusan dalam berbagai bidang, seperti komunikasi, hiburan, organisasional, dan lainnya. Ponsel juga didesain sebagai extended self atau perwujudan konsep diri individu, di mana semua hal yang disukai dan diminati dapat diidentifikasi oleh ponsel (Han et al., 2017). Misalnya, ketika kita sering menonton video asmr maka algoritma Youtube akan menyarankan banyak video asmr lainnya di beranda, sehingga waktu penggunaan Youtube semakin meningkat.
Beberapa aplikasi yang dapat diinstal pada ponsel bahkan telah bersifat multifungsi, contohnya yaitu Telegram dan Twitter. Telegram memungkinkan penggunanya untuk dapat berkomunikasi dengan individu lain, sekaligus menggunakan berbagai jenis bot otomatis yang sangat membantu pekerjaan. Sementara itu, Twitter dapat dijadikan sebagai sumber informasi tercepat, sarana hiburan, dan layanan menfess atau mention confess berupa pengiriman pesan atau pertanyaan secara anonim terkait pendidikan, pekerjaan, makanan, music, dan lain-lain.
Namun, semua kemudahan yang ditawarkan oleh ponsel pintar juga diikuti dengan adanya dampak negatif berupa adiksi. Davis dalam (Arpaci, 2020) mendefinisikan adiksi sebagai bentuk ketergantungan fisiologis yang dirasakan seseorang terhadap stimulus tertentu, yang dalam hal ini adalah smartphone. Individu merasa perlu untuk memeriksa notifikasi dari ponselnya setiap saat, serta tidak dapat jauh dari ponselnya barang sedetik pun. Fenomena ini semakin parah sejak adanya pandemi Covid-19 yang telah merebak selama dua tahun terakhir.Â
Di masa pandemi, seluruh pekerjaan dan tugas sekolah diadaptasi pada sistem online yang mengharuskan individu untuk tetap standby dengan ponselnya. Selain itu, pemberlakuan aturan physical distancing yang memisahkan kita dari keluarga dan rekan menjadikan tingkat ketergantungan pada dunia maya semakin meningkat (Banerjee et al., 2021). Apabila ketergantungan ini diikuti dengan perasaan cemas yang berlebihan, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai disorder atau gangguan. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai nomophobia.Â
Nomophobia, atau no mobile phone phobia merupakan suatu kondisi psikologis berupa rasa takut, cemas, dan tidak nyaman ketika seseorang tidak dapat mengakses ponselnya untuk beberapa saat (Rodr & Moreno-guerrero, 2020). Gangguan ini telah dicantumkan di dalam DSM-V sebagai phobia yang bersifat spesifik dan situasional. Nomophobia seringkali disebabkan oleh rasa takut ketika tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain, tidak terhubung dengan internet, tidak segera mengakses informasi, dan kehilangan rasa nyaman yang didapatkan lewat smartphone (Banerjee et al., 2021).Â
Pada umumnya, gejala yang umum ditemukan pada penderita gangguan ini ialah adanya rasa cemas yang berlebihan, rinxiety (ilusi berupa seakan-akan mendengar suara telepon), selalu stand by dengan ponsel, lebih menyukai interaksi virtual daripada konvensional, dan masalah finansial yang mungkin muncul (Arpaci, 2019; Arpaci, Balolu, zteke Kozan, & Kesici, 2017; Arpaci & Esgi, 2018; Bragazzi & Del Puente, 2014; Kuss & Griffiths, 2017 dalam (Arpaci, 2020).
Lantas, bagaimana dampak dari perilaku nomophobia terhadap individu? Secara fisik, nomophobia mengakibatkan rasa sakit pada leher dan penrgelangan tangan, juga mata yang perih karena terlalu lama melihat layar smartphone (Han et al., 2017). Kemudian, perilaku ini meningkatkan munculnya gangguan mental, permasalahan pada self-esteem, dan kesepian (Rodr & Moreno-guerrero, 2020).Â
Seluruh dampak ini turut menurunkan kondisi kesehatan, pekerjaan, dan pembelajaran. Tidak hanya itu, jenis phobia ini juga dapat menyebabkan kecemasan, depresi, amarah, ketidakstabilan emosi, masalah tidur, dan agresivitas yang tinggi. Dampak-dampak buruk tersebut paling rentan dialami oleh remaja dan anak-anak yang sangat dekat dengan teknologi dan dunia digital. Maka, penanganan terhadap adiksi ini sangat penting untuk dilakukan, misalnya dengan memberikan batas waktu penggunaan smartphone, memperbanyak kegiatan sosial dan fisik, serta mematikan gawai sebelum tidur.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, gawai memang memiliki fungsi yang sangat berguna bagi manusia. Teknologi ini menyediakan berbagai layanan, informasi, dan hiburan yang membuat individu tidak bisa hidup tanpanya. Selain itu, teknologi tersebut dapat dipersonalisasikan sesuai minat dan kebutuhan penggunanya. Jika kemudahan ini tidak diikuti dengan kontrol diri yang kuat, maka akan berkemungkinan menimbulkan adiksi yang berujung pada nomophobia. Maka, sebelum tenggelam lebih dalam pada rasa ketergantungan ini, ada baiknya kita membatasi penggunaan gawai setiap harinya serta melakukan aktivitas bersama teman dan keluarga agar dunianya tidak terkungkung pada dunia maya saja.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H