Kedatangan Islam di Nusantara erat kaitannya dengan pengaruh sufisme dan tarekat yang menjadi medium penyebaran ajaran Islam di wilayah ini. Islam pertama kali hadir melalui jalur perdagangan, di mana para saudagar yang juga merupakan sufi memainkan peran penting. Mereka tidak hanya berdagang tetapi juga menyebarkan nilai-nilai spiritual Islam yang menekankan hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan. Pendekatan sufisme, yang dikenal akomodatif terhadap budaya lokal, membuat Islam diterima dengan relatif damai oleh masyarakat Nusantara, yang sebelumnya memiliki tradisi sinkretisme.
Dalam konteks sastra, tradisi sufisme ini meninggalkan jejak yang mendalam. Sastra Islam awal di Nusantara, seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai Islam dengan elemen budaya lokal. Karya-karya ini sering kali memuat kisah-kisah pengislaman, legenda, dan mitos yang menyampaikan nilai-nilai sufistik, seperti pengabdian kepada Tuhan dan perjalanan spiritual.
Karya-karya sastra ini tidak hanya berfungsi sebagai medium dakwah tetapi juga sebagai catatan budaya yang menunjukkan bagaimana masyarakat Melayu dan Jawa beradaptasi dengan ajaran Islam. Dalam maklumat ini, disebutkan bahwa perpaduan antara Islam dan tradisi lokal melalui sastra membantu memperkuat identitas spiritual masyarakat Nusantara, menjadikan sastra sebagai salah satu alat penting dalam penyebaran nilai-nilai Islam.
Sastra profetik adalah sebuah aliran sastra yang bertujuan untuk menyampaikan nilai-nilai transendental, humanisasi, dan pembebasan dalam kehidupan manusia. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Kuntowijoyo, seorang sastrawan dan intelektual Indonesia. Dalam pandangannya, sastra profetik bertumpu pada tiga pilar utama: humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (iman kepada Tuhan). Ketiga pilar ini saling berkaitan untuk menghadirkan perubahan sosial yang positif, tanpa mengesampingkan dimensi spiritual dan religius.
Sastra profetik berbeda dari sastra sufistik atau transendental yang cenderung menonjolkan pengalaman mistik individu. Sebaliknya, sastra profetik berfokus pada keterlibatan sosial, di mana nilai-nilai agama diterapkan untuk menciptakan keadilan dan harmoni dalam masyarakat. Gagasan ini terinspirasi oleh perilaku Nabi Muhammad yang tidak hanya mengutamakan hubungan spiritual dengan Tuhan, tetapi juga berkontribusi aktif dalam kehidupan sosial.
Sastra profetik muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk menghadirkan dimensi spiritual dan etis dalam dunia sastra yang seringkali terfokus pada isu-isu sekuler atau materialistik. Gagasan ini dipelopori oleh Kuntowijoyo, seorang sastrawan dan akademisi Indonesia, yang memperkenalkan konsep sastra yang tidak hanya estetis tetapi juga memiliki misi moral, sosial, dan transendental. Latar belakang kelahirannya berakar pada pemikiran bahwa sastra dapat menjadi medium perubahan sosial, sekaligus sarana untuk mendekatkan manusia kepada nilai-nilai ketuhanan. Sastra profetik bertumpu pada tiga pilar utama: humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (iman kepada Tuhan), yang diambil dari nilai-nilai profetik Islam. Dalam konteks ini, sastra profetik berfungsi sebagai kritik sosial yang menawarkan solusi berbasis etika dan spiritualitas, dengan tujuan membangun masyarakat yang adil dan berkeadaban. Pada dasarnya, sastra profetik bukan hanya tentang agama, tetapi juga tentang upaya menciptakan harmoni antara manusia, lingkungan, dan Tuhan melalui medium sastra.
Peralihan dari sastra transendental ke sastra profetik, atau dari sufisme ke neosufisme, menggambarkan evolusi penting dalam pemikiran Kuntowijoyo, seorang tokoh yang memadukan spiritualitas dengan kebutuhan sosial. Sastra transendental sebelumnya dikenal sebagai karya yang menekankan pengalaman mistik dan hubungan personal manusia dengan Tuhan. Dalam pendekatan ini, spiritualitas sering dipahami sebagai pengasingan diri dari kehidupan duniawi untuk mencapai kedamaian batin dan kebersatuan dengan Yang Transenden. Hal ini terlihat dalam berbagai karya yang menggambarkan pencarian makna hidup secara individual, sering kali tanpa keterlibatan langsung dengan realitas sosial di sekitarnya.
Namun, Kuntowijoyo mengkritik pendekatan tersebut sebagai kurang relevan dalam konteks modern. Ia memperkenalkan sastra profetik yang tidak hanya bertumpu pada dimensi spiritual, tetapi juga memasukkan unsur tanggung jawab sosial. Sastra profetik mengusung tiga prinsip utama: humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (iman kepada Tuhan). Melalui pilar-pilar ini, Kuntowijoyo mengajak agar karya sastra tidak hanya menjadi media ekspresi artistik, tetapi juga sarana untuk memperjuangkan keadilan, menumbuhkan kesadaran sosial, dan memperkuat hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini, sastra profetik bertujuan untuk menjadikan spiritualitas sebagai kekuatan transformatif yang dapat menghadirkan perubahan nyata dalam kehidupan manusia.
Neosufisme, yang menjadi landasan konsep sastra profetik, adalah pembaruan dalam tradisi sufisme. Berbeda dengan sufisme klasik yang sering kali berfokus pada hubungan personal dengan Tuhan dan cenderung pasif, neosufisme menekankan keterlibatan aktif dalam masyarakat. Kuntowijoyo melihat bahwa spiritualitas tidak cukup hanya menjadi pengalaman individu, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan yang membawa manfaat bagi orang lain. Dalam neosufisme, kesadaran ketuhanan berjalan seiring dengan kesadaran sosial, menciptakan harmoni antara dimensi spiritual dan kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan ini, sastra profetik menjadi lebih dari sekadar karya sastra; ia menjadi sebuah gerakan yang menghubungkan agama, seni, dan perubahan sosial dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkeadaban.
Dalam praktiknya, karya-karya sastra profetik seringkali mengangkat tema-tema seperti keadilan, kesetaraan, dan perjuangan melawan ketidakadilan. Melalui narasi yang kuat dan simbolis, sastra ini menjadi alat untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya perubahan sosial yang berakar pada nilai-nilai luhur. Dalam konteks modern, sastra profetik relevan sebagai jawaban atas tantangan globalisasi yang seringkali mengaburkan dimensi kemanusiaan.