Mohon tunggu...
Raistiwar Pratama
Raistiwar Pratama Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Suami dan ayah dua anak lelaki yang berbahagia di Depok. Bersekolah di Jakarta, lalu berkuliah di Jatinangor Sumedang. Pernah menjadi pendidik di Garut, Sumedang, dan Bandung. Kini kembali di Jakarta untuk bekerja sambil belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bermula dari Kasim Arifin, para Pelestari Lingkungan

6 Desember 2012   09:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Harapan Waimital dan Muhammad Kasim Arifin (Tempo, 2 Januari 2005)

Taufik Ismail menuliskan puisi untuk teman satu kampusnya:

Di Waimital Kasim mencetak harapan

Di kota kita mencetak keluhan

Selama hampir 15 tahun, sejak 1964 hingga 1979, berkubang di pelosok Waimital Pulau Seram, butuh panggilan rektor Institut Pertanian Bogor untuk memulangkan Kasim. Tridharma Perguruan Tinggi, bahwa salah satu butirnya adalah pengabdian kepada masyarakat, semestinya tidak membuat mahasiswa sebagai penghuni menara gading. Apa yang Kasim lakukan merupakan contoh bagaimana ilmu terapan kuliahan bermanfaat bagi banyak orang di kawasan terpencil sekalipun.

Bersama penduduk setempat, lahan yang tadinya tandus, telah menjelma menjadi lahan subur. Kasim sungguh-sungguh buktikan keampuhan ilmunya. Mulai dari menyemai benih, menebar pupuk, menggali saluran irigasi, hingga menggemukkan sapi. Hasilnya sungguh luar biasa. Tanpa mesin, tanpa gaji, hanya kebersamaan; mereka berhasil membuka 300 ha lahan dan saluran irigasi sepanjang 8 km (Sobary, 1993: 222-223).

Kasim pampangkan apa yang dia lakukan setelah dia memutuskan menetap dan tidak kembali selepas kerja lapangan, secara lisan di hadapan Senat Guru Besar IPB. Gelar insinyur pertanian disematkan, meski Kasim tidak selesaikan kuliah. Kasim telah memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Jelasnya, tidak ada yang tidak mungkin selama kerja keras dan kerja cerdas dilakukan.

Hutan Adat dan Loir Botor Dingit (Tempo, 17 November 2002)

Pada 1993, di pedalaman Kalimantan Timur, Kepala Adat Dayak Bentian yang tinggal di Desa Jelmu Sibak Kecamatan Bentian Besar ini saksikan bagaimana PT Kalhold Utama sibuk membabat pepohonan, menimbuni aliran sungai, serta menghancurkan tanah ulayat dan makam leluhur; hendak mengubahnya menjadi hutan tanaman industri. Bagi orang Bentian, kayu hitam sekeras besi itu bermakna sakral, karena hanya dipakai dalam upacara goneq (kematian), nguhu tahun (pembersihan tahunan), dan pelbagai upacara adat lainnya.

Dia mendatangi satu per satu warga dan mencatat kerugian. Lewat Sempekat Jato Rempangan—begitu nama lembaga bentukannya—dia sambangi para pejabat di Jakarta. Tidak hanya itu, dia tempuh sekaligus dua cara: jalur hukum melalui peradilan, dan cara preman dengan menghalangi kerja alat-alat berat. Gunjingan, teror, dan ancaman pembunuhan terus menerus dialamatkan kepada dirinya, hingga pada 1995 dia ditangkap karena dituduh membuat daftar palsu.

Pahlawan dan pembangkang merupakan dua sisi dari satu mata uang bagi dirinya. Satu sisi, dia wakili Asia dapatkan Goldman Environmental Prize, penghargaan bergengsi tingkat nasional bagi mereka yang peduli lingkungan di kalangan akar rumput. Sisi lain, dia dianggap sebagai pembangkang yang selalu melawan kebijakan pemerintah setempat. Untuk mencegah musuh dalam selimut, Loir Botor Dingit canangkan budidaya rotan segah dan rotan kulit merah yang harganya mencapai Rp 2 juta setiap kwintalnya. Masalah ekonomi selesai, secara bijak.

Meski pihak berwenang semisal gubernur keluarkan kebijakan penebangan kayu ulin, Loir Botor Dingit tetap melawan. Hingga akhirnya, surat itu pun dibatalkan. Jauh dari gegap gempita perayaan, Loir Botor Dingit berucap, “ Hutan, bumi, seluruh lingkungan, serta makhluk hidup di atasnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup itu sendiri.” Jabatan Kepala Adat dia tunaikan, tanpa gaji, tanpa pensiun.

Kakus Gotong Royong dan Agus Gunarto Ekoputranto (Tempo, 17 November 2002)

Tersebutlah sederet temuan yang dia gagas: kakus sehat dan murah, biofund (cairan organisme mikro berwarna coklat tua untuk pengurai sampah organik), briket berbahan baku sampah. Tersebut pula sederetan penghargaan yang pantas dia raih: Kalpataru pada 1997, Asian Innovation Award dari Far Eastern Economic Review pada 1998, Hero for Today dari Reader’s Digest Hong Kong pada 1999, Emperor College di London pada 2001, dan bahkan tawaran menjadi warga negara kehormatan Swedia. Dia terima tiga yang pertama, dia tampik satu yang terakhir. Namanya pun terpampang di Museum Emperor Inggris—bersanding dengan Thomas Alva Edison—sebagai penemu solusi termurah dan ramah lingkungan untuk mengatasi limbah kotoran manusia.

Penemuan kakus gotong royongnya berawal dari bencana 17 tahun lalu. Kotoran manusia yang berserakan di mana saja telah membunuh 5 anak. Kala itu, rumah tidak satu pun punya kakus. Kotoran dibuang di mana saja: di got depan rumah dan lebih sering di aliran Sungai Brantas. Tak ayal, bila air sungai meluap, maka kotoran tadi kembali menyambangi permukiman warga setempat. Sebagai ketua Rukun Tetangga, solusi mulai dia gagas. Keterbatasan lahan memang memustahilkan membuat kakus sendiri-sendiri. Dia pun membuat kakus bersama. Cibiran datang, “Sopir bemo wae kok dipercoyo.”

Agus jalan terus. Modal Rp 6 juta. Dia buat bak seluas lapangan bulutangkis dan sedalam badan orang dewasa di ujung gang. Bak ini dibagi dua. Satu untuk menampung ampas padat. Satu untuk menampung ampas cair. Pada bagian ampas cair, dilepaskan ikan lele dan taburan eceng gondok untuk menutupi permukaan. Mulanya ikan lele dilepas untuk mengetahui kadar racun, tetapi ternyata ikan lele tersebut tetap hidup. Baru diketahui pula, bahwa ternyata eceng gondok dapat menyerap logam berat dan menguraikan kotoran, sehingga kotoran tadi bisa layak buang ke sungai.

Bagi warga yang berminat, cukup sambungkan pipa dengan biaya Rp 35 ribu. Mulanya hanya 3 pelanggan, kini sekitar 600. Sengaja dibiarkan tanpa hak paten agar dapat dimanfaatkan siapa saja secara cuma-cuma. “Harta ini cuma pinjaman dari Tuhan. Saya harus tahu diri,” katanya. Kini warga yang menghuni gang sempit di Jalan Keramat Malang mulai meraup untung sekaligus menghilangkan cemas wabah. Agus tak pernah belajar teknik. Pendidikan formalnya lulusan ekonomi dari Universitas Merdeka Malang yang dia susah payah selesaikan dalam waktu 5 tahun. Selepas kuliah, dia jadi sukarelawan Dinas Kebersihan Kota Malang sambil nymabi jadi sopir bemo untuk menafkahi istri dan 3 anak. Pada 1997, setelah dia diganjar Kalpatau, dia diangkat jadi pegawai negeri, lalu terakhir jadi Kepala Unit Pengolahan Persampahan dan Air Limbah pada jawatan yang sama.

Suara Petani Jawa Barat dan Ida Yurinda Hidayat (Tempo, 17 November 2002)

Terhitung sudah 20 tahun, Ida menyuarakan kepentingan petani di Lembang Bandung Jawa Barat melalui Suara Petani FM yang hanya berjangkau 6-7 km. Inilah salah satu bentuk kepeduliannya atas nasib petani. Sebelumnya, selama 8 tahun menjadi wartawati Kompas, dia sering menulis tentang kemiskinan yang diidap PSK dan buruh industri. Pada suatu waktu mulai terasa terbatas ruang geraknya, maka dia putuskan hengkang sebagai wartawati pada 1983. Ini hengkang yang kedua kali, setelah sebelumnya dia drop out dari Psikologi Universitas Indonesia.

Selepasnya, Ida tekuni masalah kemiskinan dan profil para pengidapnya. Pucuk dicinta ulam tiba. Dia dapat kepercayaan mengelola perkebunan keluarga di Sampirun Sumedang Jawa Barat seluas 500 ha. Dia ajak serta para petani menggarap lahan hak guna usaha PT Sampirun Agrobisnis Kokobit. Pernah pada suatu waktu, para petani penggarap menanam cabai setelah menyimak saran ahli. Keuntungan sebesar Rp 2 juta pun mereka dapatkan. Dia potong kompleksitas jalur pembelian pupuk untuk mempermurah harga dan kucuran kredit bank untuk menyicil motor.

Jalan tak selamanya mulus. Pada 1993, Ida membentuk Ikatan Keluarga Petani Mandiri. Tuduhan komunis segera diacungkan. Warna seragam pun dipermasalahkan. Keanggotaannya terus bertambah hingga mencapai 120 ribu orang. Merambah Indramayu, Cirebon, Banten, dan Purwakarta. Dari sinilah bermula keinginan membentuk komunitas melalui siaran radio. Rasa memiliki dipupuk melalui kupon seharga Rp 1.000 setiap lagu. Para pengelola juga siaran tanpa bayaran. Malang kembali tak dapat ditolak. Dia terpaksa hengkang dari Sampirun, karena sudah berganti pemilik. Tak menyerah, dia kini menetap di Lembang. Masih dengan cita-cita yang sama: mencerdaskan petani.

Laut Pangandaran dan Susi Pudjiastuti (Gatra, Januari 2006)

Ijazah SMA sekalipun memang Susi tak punya. Kemandirian dia jelang, sebagaimana Ajip Rosidi lakukan. Keduanya miliki kesamaan: hidup tanpa ijazah dan keberhasilan tiada kurang. Selepas dia tinggalkan bangku SMA tanpa tamat, dia mulai menekuni usaha budidaya ikan. Pada 1983, bermodalkan tabungan Rp 750, dia merintis sebagai pengepul. Dari satu kilogram, hingga terus bertambah. Kecewa terhadap pabrik yang suka memainkan harga, akhirnya dia bertekad melakukan ekspor sendiri.

Tigabelas tahun kemudian, pada 1996, Susi mendirikan PT ASI Pudjiastuti di atas tanah seluas 2 ha warisan orangtuanya. Tanpa bahan pengawet dan terutama selalu memperhatikan kelestarian lingkungan merupakan alasan utama mengapa banyak pihak yang akrab bermitra dengannya. Menggunakan amoniak untuk mengawetkan ikan alih-alih freon, semata karena tidak ingin merusak lapisan ozon; dan sama sekali tanpa limbah, karena semua sampah dapat dibuang begitu saja lalu diberikan sebagai pakan ternak; merupakan beberapa praktek ramah lingkungan yang dia lakukan.

Setahun  kemudian, pada 1997—ketika para pengusaha lain dapat hutang berlipat-lipat—krisis moneter justru meningkatkan pendapatan, bahkan Susi mampu mendirikan pabrik kedua seharga Rp 35 milyar. Tetap mengacu pada teknologi mustari, tanpa sekali-kali mengesampingkan praktek ramah lingkungan. Setiap hari, pabrik tersebut dapat menyimpan 15-20 ton ikan atau udang. Demi mengimbangi volume ekspor perusahaan yang terus meningkat, dia membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan—satu-satunya pesawat yang mampu menerobos Aceh untuk memberikan bantuan pertama kali dalam bencana tsunami—untuk bertolak menuju kawasan Asia, Eropa, Jepang, dan Amerika. Tak pelak, omsetnya pun meningkat tajam, dari US$ 2 juta menjadi US$ 5 juta. Hasil laut yang dia ekspor dapat mencapai 50-60 ton, bahkan hingga 80 ton setiap bulan.

Sadar akan tanggung jawabnya, Susi berucap, “Karena itu, meski ini bisnis, saya selalu berusaha tak pernah melupakan kepedulian sosial.” Tak pelit berbagi pengalaman dan tak sungkan bermitra, asal tetap ramah lingkungan. Atas kiprahnya, dia diganjar penghargaan Ernst & Young Enterpreneur of the Year 2005.

Teluk Buyat dan Surtini Paputungan (Tempo, 2 Januari 2005)

Satu kesamaan yang Surtini Paputungan dan Erin Brockovich miliki, yaitu kepedulian atas kelestarian lingkungan. Kesamaan lainnya adalah keduanya tak pernah menyerah menggugat kesewenang-wenangan. Apa yang membedakan keduanya, selain jenjang pendidikan? Surtini berasal dari Teluk Buyat Manado, sedangkan Erin Brockovich berasal dari Hinkley California.

Bermula pada 2004, Surtini dan dua temannya bersama-sama masyarakat sekitar Teluk Buyat menggugat PT Newmont Minahasa Raya, karena telah membuang limbah logam berat. Sebelumnya pada 1996, mereka juga pernah melakukan unjuk rasa. Hanya saja fenomena perusakan alam ini, baru mencuat setelah nyawa seorang bayi melayang. Dia ikut membuat film tentang pencemaran di Teluk Buyat untuk ditayangkan pada forum Bank Dunia.

Perjuangan terus berlanjut, tanpa henti hingga kini, meski jalan seolah tanpa ujung. Dia pun berkesempatan menjadi pembicara pada lokakarya Women and Globalization garapan United Nations yang berlangsung di Bali pada 2002. Dialah ensiklopedia hidup, penghidup semangat, dan jelas perempuan yang kulitnya bersisik karena sering mandi di muara Sungai Buyat. Kemiskinan memang mendera istri dan ibu dari empat anak ini, tetapi sogokan tetap dia tampik. Nilainya tidak sebanding, menurut suaminya.

Rumah Selaras Lingkungan dan Adi Purnomo (Tempo, 2 Januari 2005)

Sempitnya lahan bangunan di Jakarta, tidak serta merta membuat Adi memusuhi alam. Dia tetap memberikan porsi pada kehadiran alam di pekarangan, dalam rumah, dan atap rumah. Baginya, bahasa arsitektur tropis adalah memanfaatkan cahaya matahari dan kelembaban udara sebanyak mungkin. Bukaan hadir di mana-mana, di sekujur rumah. Pepohonan dan rerumputan tak ketinggalan. Sumur resapan turut mendampingi, sehingga rumah bisa mengelola limbah swa-mandiri.

Sebagai arsitek, Adi tak sungkan menolak proposal pembangunan yang memusuhi alam. Dia pun pernah dapat penghargaan Arsitek Muda dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pada 2002. Hasil rancangannya juga ikut dalam forum internasional, seperti pameran di van Allen Institute New York. Baginya, kesederhanaan memang jelas mematuhi alam. Bagaimanapun, tanpa abai terhadap modernitas, dia tegas menjejakkan posisinya.

Batako Lumpur, Pupuk, dan Juminta (Tempo, 19 Agustus 2007)

Pemuda Juminta berusia 25 tahun. Bersama teman-temanya dari Kampung Rawa Gaga Kumpeni di Kelurahan Kamal Jakarta Barat, mereka menyelesaikan sekaligus dua masalah akut kampungnya. Ya, masalah pengangguran dan masalah sampah merupakan dua masalah tersebut. Saluran air yang menggenang, semula berbau busuk dan menjadi sarang jentik nyamuk.

Usaha mulia tersebut bermula dari keikutsertaan dari pelatihan pengelolaan sampah dari Pemerintah Kota Jakarta Barat. Mulanya pula, Juminta hanya kuli serabutan. Sejak saat itulah, mereka mulai membuat batako dari lumpur dan sampah got. Abai begitu saja terhadap kendala, mereka menggunakan cetak manual. Walau sepintas terlihat kurang bagus dan tidak padat, batako lumpur ini lebih kuat daripada batako buatan mesin.

Bagaimana proses pembuatan? Hanya bermodalkan kerja keras dan kerja cerdas, mereka mula-mula menempuh beberapa proses sebelum mencetak batako. Melalui saringan besar dengan panjang dan lebar satu sentimeter, dipisahkan lumpur dan sampah dari bebatuan besar. Setelah itu, saringan halus digunakan untuk menahan pasir. Lalu, pasir dicampur dengan bahan kimia khusus dan diaduk dengan semen. Pasir saringan lumpur tadi juga dapat dijadikan batu bata dan paving block. Hasil cetakan tadi dijemur selama tiga hari atau tergantung cuaca. Bahan baku? Mudah saja didapat dan tentu saja murah biaya produksi. Berdampak murah pula pada harga jual. Batako jenis ini dijual seharga Rp 900, sedangkan batako biasa seharga Rp 1.200-1.500. Memang pangsa pasar masih meragukan kualitas, padahal produksi dapat mencapai 500 batako per hari. Sementara ini, hanya konsumen yang dekat dari tempat produksi, tetangga kampung untuk membuat taman seluas 25 meter persegi. Selain juga untuk pagar dan meja kompor.

Tak hanya batako lumpur, Juminta juga mengolah limbah menjadi pupuk. Butuh dua minggu untuk melakukannya. Mula-mula air limbah dicampurkan ke dalam bahan kimia bioaktivator dan molase, lalu diaduk selama empat hari. Selama sepuluh hari berikutnya, cairan hanya didiamkan di dalam tong. Pada hari ke-14, cairan hanya mengeluarkan bau asam dan sudah dapat digunakan sebagai pupuk.

Juminta dan kawan-kawan dari Kamal telah buktikan bahwa sekotor apapun, manfaat selalu dapat dimiliki, bahkan tersimpan banyak solusi. Tinggal bagaimana manusia berpikir agar selaras dengan alam, jangan hanya mampu memusuhi alam.

Nostalgia Hutan dan Johny Setiawan Mundung (Tempo, 30 Desember 2007)

Sudah merupakan hal biasa semasa kecil seusia SD, Johny berburu burung berkepala kuning seraya menenteng ketapel, memancing ikan gabus dan sepat, dan menyusuri sungai seraya menumpang perahu, lalu menembus belantara. Akan tetapi, kini semua menghilang. Menurutnya, kerusakan hutan kini mencapai 60.000 ha di Kecamatan Lirik, Provinsi Riau. Riau memang terkenal sebagai surga pembalakan liar dan juga legal.

Johny turut pula menyaksikan bagaimana suku Talang Mamak, penduduk asli Indragiri Hulu terpaksa merana karena rumah mereka yang terus-menerus dijarah. Dia berbuat: unjuk rasa ke kantor gubernur dan walikota, juga perusahaan. Tak heran, banyak musuhnya. Sepekan sekali dia pun terpaksa mengganti nomor ponselnya. Suatu ketika, dia dapat pilihan tawaran: 3,5 miliar dari perusahaan pengolahan bubur kertas atau nyawanya melayang. Hanya karena dia ingat akan keadaan hutan di Riau sekarang, dia menampik 3,5 miliar dan terus menjaga kelestarian hutan.

Pada 2005, Johny menggugat beberapa perusahaan hutan tanaman industri, antara lain: PT Riau Andalan Pulp and Paper; PT Indah Kiat Pulp and Paper; perkebunan sawit milik Grup Astra, Grup Salim, Grup Asian Agri, dan perusahaan asal Malaysia. Kandas begitu saja, karena menurut PN Pekanbaru salah alamat.

Pada 2006, Johny mendampingi suku Talang Mamak asal Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu melawan pemerintah dan perusahaan milik Grup Gandahera Hendana. Kasus ini sudah masuk PN Rengat, Indragiri Hulu. Masih pada tahun yang sama, dia mendampingi warga Kecamatan Lirik, Indragiri Hulu untuk meminta tanah ulayat yang tengah dikuasai PT Mitra Kembang Selaras, anak dari PT Riau Andalan Pulp and Paper.

Pada 2007, giliran Johny mendampingi suku Sakai di Kabupoten Bengkalis dan Kabupaten Siak. Kembali masalah tanah adat mengemuka. Kali ini tuduhan diarahkan kepada PT Arara Abadi, anak dari PT Asia Pulp and Paper. Masih pada tahun yang sama, dia mendampingi warga Pematang Pudu sebagai korban limbah dari PT Chevron Pacific Indonesia.

Johny tegaskan pilihan hidupnya selepas dari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Riau dengan segala resiko yang membentang. Kini dia menjabat sebagai Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Riau. Semata agar kelestarian hutan dan keragaman hayati, dapat nyata kembali, tidak hanya nostalgia belaka. Tak perlu sampai menyembah hutan, cukuplah menyayangi hutan.

Batako Sampah dan Sudarno (Tempo, 19 Agustus 2007)

Masih dari sampah. Masih pula tentang pemanfaatannya menjadi batako. Awalnya Sudarno sebagai karyawan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabya berniat membuat incinerator (alat pembakar sampah), tetapi banyak keluhan dari warga sekitar yang terganggu indra penciumannya sewaktu uji coba. Harap maklum, tong sampah ini menghembuskan bau busuk dan asap pekat. Dia pun berganti haluan. Dari hanya membakar sampah, hingga ‘menyimpan’ sampah.

Terhitung sudah delapan tahun, Sudarno membuat batem (batako dengan isi macem-macem). Isi macem-macem itulah yang tadinya merupakan 30 jenis sampah yang sulit terurai. Prosesnya pun tidak terlalu sulit: sampah yang akan dimasukkan ke dalam rongga batako lebih dahulu dicetak, kemudian dilapisi campuran pasir dan semen. Kualitas kekuatan batako sampah ini pun berani bersaing. Kekuatan menahan bebannya mencapai 2, 5 ton, sedangkan batako biasa hany mampu menahan beban 250 kilogram. Dia pun yakin saja membuat batako berukuran 10 x 20 x 15 cm dan ukuran yang lebih besar.

Atas dedikasinya, Juni 2007—pada Hari Bumi—lalu Sudarno dapat Kalpataru. “Ini adalah cara murah yang amat bermanfaat,” ucapnya pada acara penyerahan ketika itu. Kata siapa, manusia tidak dapat hidup berdampingan dengan sampah secara damai? Tak puas hanya dengan batem, dia kembali mencetuskan gagasannya. Penjernihan air lindi dan air domestik merupakan upaya ramah lingkungan dia selanjutnya. Bahan dasar semen yang terus-menerus diolah selama 14 jam, ternyata mampu menetralkan unsur-unsur beracun pada limbah B3, menyerap bau, deterjen, minyak, dan lemak.

Sudarno tidak hanya terjebak dalam rutinitas. Jelas, gaji bulanan yang dia terima memang tidak setimpal, tetapi bersikap ramah lingkungan jauh lebih dari cukup untuk terus-menerus melakukan terobosan. Hebatnya lagi, dia justru bersahabat dengan sampah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun