Mohon tunggu...
Raissa Anita
Raissa Anita Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pengenaan Pajak terhadap Restoran Franchise

4 Desember 2015   09:48 Diperbarui: 4 Desember 2015   10:30 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara, itu sebabnya setiap negara memiliki aturan sendiri terkait perpajakan. Di Indonesia pengenakan pajak dilakukan terhadap berbagai macam sektor, termasuk sektor usaha dalam bidang makanan seperti restoran.

Dalam Undang-Undnag perpajakan di Indonesia ketentuan tentang pengenakan pajak terhadap restoran telah ditentukan besarnya secara nasional, yaitu 10% dari omzet restoran yang di dapat. Namun banyak sekali restoran di Indonesia yang merupakan perpanjangan tangan dari usaha waralaba atau yang sering dikenal dengan Franchise. Sebagian besar Franchise dalam bidang makanan yang berkembang di Indonesia, pemilik aslinya merupakan orang asing. Seringkali mereka menanamkan modalnya di Indonesia untuk meraih untung besar, karena sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki daya konsumtif yang tinggi.

Beberapa hari lalu, saya melakukan penelitian terhadap salah satu restoran Franchise yang terkemukan di Indonesia. Restoran tersebut memproduksi makanan khas Italia yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Setiap bulan restoran tersebut membayarkan 10% dari omzet yang mereka dapat kepada Dirjen Perpajakan di Indonesia sebagai bentuk keapatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak.

Rata-rata tiap bulan restoran tersebut bisa mengahsilkan omzet hingga 300 juta. Dan pengenakan pajak atas omzet restoran tersebut hanya sebesar 10% atau 30 juta. Restoran tersebut membebankan biaya pajak yang mereka bayarkan kepada konsumen. Misal, harga jual per item adalah 50 ribu. Harga tersebut sudah termasuk pajak yang dibayarkan oleh konsumen. Jadi omzet yang diterima oleh pihak restoran murni adalah 45 ribu untuk per itemnya.

Sangat jelas dinamika perpajakan yang harusnya “dibayar” oleh pihak restoran, namun pada prakteknya konsumenlah yang dibebankan untuk membayar pajak. Secara kasat mata memang jelas bahwa yang menyetorkan pajak hasil usaha tersebut adalah pihak restoran, namun darimana pihak restoran tersebut mendapat hasil untuk membayar pajak tidaklah signifikan.

Seharusnya pengenakan pajak restoran murni dilakukan dan diperuntukan terhadap pihak restoran saja. Konsumen tidak perlu ikut ambil bagian dalam alur pengenakan pajak yang diperuntukan terhadap restoran. Karena dalam bidang perpajakan yang dikenakan pajak adalah suatu usaha yang memiliki untung(profit). Apabila pengenakan pajak dibebankan terhadap konsumen, dengan kata lain omzet dan profit yang diterima oleh pihak restoran tidak dikenakan pajak. Hal ini semakin menguntungkan pihak restoran dan berpotensi melemahkan usaha-usaha mikro dibawahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun